Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AWAL PETUNJUK
Setelah berhasil melarikan diri dari hotel dan teror kerasukan di Lantai Tujuh, Aryan segera membawa Rima dan Dina kembali ke rumah Dina. Rima masih terlihat pucat dan kelelahan, tetapi ia bersikeras untuk tetap sadar. Mereka tahu, kotak kayu yang mereka bawa adalah petunjuk paling penting.
Mereka bertiga duduk melingkar di lantai ruang tamu Dina. Di tengah-tengah mereka, tergeletak kotak kayu kecil yang diambil dari bawah ubin rahasia Kamar 5, dan buku harian Anggun yang berdebu.
"Kita harus buka ini sekarang, Yan," desak Dina, nadanya penuh rasa ingin tahu dan urgensi.
Aryan mengangguk. Ia memegang kotak kayu itu. Kotak itu tidak terkunci, hanya ditutup oleh kait sederhana. Dengan tangan gemetar, Aryan membukanya.
Isi di dalam kotak itu tersusun rapi, terasa seperti kapsul waktu yang menyimpan rahasia selama seperempat abad.
Sebuah Cincin Perak: Cincin itu sederhana, tetapi di bagian dalamnya terukir inisial 'A & B'.
Kumpulan Foto Lama: Foto-foto polaroid yang sudah agak pudar.
Sebuah Kartu Tanda Penduduk (KTP) Anggun.
Sebuah Catatan Kertas Tua: Kertas itu lusuh dan terlipat rapi.
Mereka mulai memeriksa satu per satu.
Cincin Perak Berinisial 'A & B'
Cincin perak itu segera menarik perhatian Rima. "Ini pasti cincin Anggun," bisiknya. "Tapi inisial 'B' itu siapa? Di buku harian dia juga menyebut nama 'B' dengan penuh cinta."
"Bisa jadi pacarnya, atau tunangannya," duga Dina. "Seseorang yang sangat dekat dengan Anggun, yang dia ingin kita hubungi, tapi dia terbunuh sebelum sempat memberi tahu."
Aryan memutar cincin itu di tangannya, merasakan dinginnya logam yang menyimpan kisah cinta tragis.
Kumpulan Foto Lama
Mereka melihat foto-foto itu dengan teliti. Sebagian besar adalah foto Anggun, tersenyum ceria, namun ada satu foto yang sangat mencolok.
Foto itu menunjukkan Bu Indah, pemilik hotel yang sangat berwibawa, sedang berada di sebuah restoran mewah. Namun, di foto itu, Bu Indah terlihat jauh lebih muda dan ekspresinya sangat berbeda; dia terlihat mesra, berpelukan erat dengan seorang pria. Pria itu adalah pria yang tampan, dengan senyum yang menawan.
Di bagian belakang foto polaroid itu, tertulis sebuah tulisan tangan yang manis: "Beni and Indah, Forever."
Dunia terasa berputar bagi Aryan, Rima, dan Dina.
"Beni..." Aryan bergumam. "Nama inisial di cincin Anggun adalah 'B'. Dan pria di foto Bu Indah juga bernama 'Beni'."
"Tunggu dulu," sela Dina, raut wajahnya dipenuhi kebingungan. "Jadi, Bu Indah, pemilik hotel, dulunya adalah kekasih atau mungkin istri dari Beni, yang kemungkinan besar adalah kekasih Anggun, yang hilang 25 tahun lalu?"
Asumsi itu terasa terlalu sinetron, namun di hotel yang dipenuhi hantu pembunuh dan ritual sajen, semua hal menjadi mungkin.
"Ini mungkin kunci semua rahasia," tegas Aryan. "Cinta segitiga, perselingkuhan, dan pengkhianatan. Mungkin Beni berselingkuh dengan Anggun, atau Bu Indah cemburu buta, dan Lia terlibat di dalamnya. Itu menjelaskan kenapa Lia tidak bisa dipecat dan kenapa Anggun terbunuh di Kamar 5."
Rima menyentuh foto itu. "Jika Anggun ditahan di Kamar 5 dan menyebut Lia di buku hariannya, dan sekarang Bu Indah ada di sini... ini pasti kejahatan karena rasa cemburu. Bu Indah membunuh Anggun karena Anggun adalah kekasih Beni."
KTP Anggun dan Catatan Kertas Aneh
Mereka memeriksa KTP Anggun. Identitasnya sudah final. Anggun adalah wanita yang menghilang.
Terakhir, mereka membuka lipatan kertas tua itu. Kertas itu berisi dua hal:
Rangkaian Simbol Aneh: Ada beberapa simbol yang digambar dengan tangan, terlihat seperti huruf-huruf kuno, seperti aksara Raja, dan beberapa lambang yang menyerupai mantra atau ritual tertentu.
Sebuah Alamat Lengkap: Tertulis sebuah alamat yang sangat spesifik, termasuk nama sebuah desa terpencil di luar kota.
"Ini bukan kode biasa," ujar Dina, yang pernah belajar sedikit tentang simbolisme. "Ini terlihat seperti simbol yang digunakan dalam ritual atau ilmu hitam. Anggun mungkin mencatatnya dari sesuatu yang dia lihat di Kamar 5."
"Dan kenapa ada alamat?" tanya Rima.
Aryan melihat alamat itu, lalu kembali ke asumsi mereka tentang perjanjian dan ritual. "Ingat, Bu Indah merawat hantu Anggun. Dia melakukan ritual agar hotelnya sukses. Simbol-simbol ini adalah bagian dari perjanjiannya, dan alamat ini... mungkin ini adalah lokasi tempat ritual itu berasal, atau tempat yang sangat penting bagi Anggun, Bu Indah, atau bahkan Beni."
Mereka bertiga diliputi kebingungan yang bercabang:
Aspek Emosional (Cinta Segitiga): Hubungan Beni, Anggun, dan Bu Indah (Indah, pemilik hotel). Cemburu adalah motif awal penahanan Anggun.
Aspek Mistik (Ritual dan Perjanjian): Simbol-simbol Raja dan mantra yang pasti berhubungan dengan perjanjian Bu Indah dengan Anggun, yang kini menjadi hantu yang menjaga hotel.
Aspek Tindakan (Jejak Terakhir): Alamat lengkap di kertas itu yang kemungkinan adalah kunci untuk mengungkap keseluruhan jaringan ini.
"Kita enggak bisa cuma berasumsi lagi," putus Aryan. "Kita punya buku harian yang membuktikan Nyonya Lia terlibat dan Bu Indah berbohong. Kita punya motif: cemburu dan perjanjian bisnis."
"Dan kita punya lokasi," timpal Dina, menunjuk alamat itu. "Anggun, melalui kerasukan, menyuruh kita menemukan kotak ini dan membacanya di rumah. Dia memberi kita petunjuk untuk membebaskannya."
"Kalau begitu, langkah kita sudah jelas," ujar Rima, kini tatapannya penuh tekad. "Kita harus mencari tahu siapa Beni, dan kita harus pergi ke alamat ini. Ini adalah satu-satunya cara kita bisa membebaskan Anggun, membongkar kejahatan Bu Indah, dan menghentikan pembunuhan di hotel."
Mereka kini tidak lagi hanya menjadi staf hotel biasa. Mereka adalah penyelamat yang memegang rahasia paling kelam, dengan waktu tujuh hari sebelum hotel dibuka kembali.
Meskipun hotel ditutup, Aryan, Rima, dan Dina sepakat untuk kembali ke The Grand Elegance Residency pagi itu. Mereka harus menghadapi Bu Indah dan Nyonya Lia, menggunakan temuan mereka sebagai umpan untuk memancing kebenaran, atau setidaknya, mendapatkan lebih banyak kebohongan yang bisa mereka bongkar.
Mereka tiba di lobi hotel yang sepi. Hanya ada petugas keamanan dan Nyonya Lia yang bertugas di front desk untuk mengawasi tim pembersih hama yang sedang bekerja.
"Nyonya Lia, kami ingin bertemu Bu Indah. Ini sangat mendesak," ujar Aryan, nadanya tidak lagi seperti karyawan biasa, melainkan seperti seseorang yang menuntut jawaban.
Nyonya Lia, seperti biasa, tampak tenang, namun matanya menyipit penuh kecurigaan. "Hotel sedang ditutup, Aryan. Bu Indah sedang sibuk. Ada masalah apa?"
"Masalah yang berhubungan dengan penutupan hotel, Lantai Tujuh, dan pembunuhan teknisi kemarin," jawab Dina tegas.
Melihat desakan yang tidak biasa ini, Nyonya Lia menghela napas dan menghubungi Bu Indah. Tak lama kemudian, Bu Indah turun. Wajahnya keras dan tidak ramah. Ia meminta mereka bertiga untuk berbicara di kantornya yang mewah di lantai mezzanine.
Di dalam kantor yang tertutup rapat itu, dengan pandangan penuh ketidakpercayaan, Bu Indah memulai. "Saya sudah memperingatkan kalian. Kalian melanggar larangan saya dan kalian harusnya sudah dipecat. Apa yang kalian mau?"
Aryan langsung ke intinya. Ia meletakkan buku harian Anggun di meja. "Kami tahu tentang Lantai Tujuh. Kami tahu tentang ritual. Dan kami tahu siapa yang terbunuh di sana, 25 tahun yang lalu."
Wajah Nyonya Lia dan Bu Indah seketika membeku. Senyum tipis Nyonya Lia hilang total, dan mata Bu Indah memancarkan amarah yang dingin.
"Siapa Anggun?" tanya Aryan, menatap tajam. "Dan kenapa Kalian melarang kami ke sana dan kemudian mengancam akan memecat kami, padahal yang ada di sana adalah rahasia pembunuhan yang belum terungkap?"
Bu Indah mengambil napas dalam-dalam, mengendalikan emosinya. Ia melihat buku harian itu, lalu mengembalikannya ke meja. Sikapnya tiba-tiba berubah; ia tidak lagi mengancam, melainkan bersikap seperti seorang korban yang terluka dan terpaksa membela diri.
"Baik," ujar Bu Indah, suaranya pelan dan penuh penyesalan palsu. "Saya akan katakan kebenaran yang tidak pernah terungkap kepada siapa pun. Anggun... dia memang ada. Dia adalah seorang pelacur yang dulu beroperasi di hotel ini. Dan dia adalah selingkuhan suami saya."
Pengakuan itu mengejutkan Rima dan Dina.
"Anggun menginap di Kamar 5, Lantai Tujuh, di sayap lama. Dia tidak hanya mengoda suami saya, Beni. Dia ingin lebih. Dia berencana mengambil alih aset hotel ini dengan memeras suami saya," lanjut Bu Indah, air mata mulai menggenang di matanya, membuat kisahnya terdengar semakin menyentuh.
"Saat itu, saya belum menjadi pemilik tunggal seperti sekarang. Saya sedang membangun hotel ini dari bawah bersama Beni. Ketika saya tahu tentang perselingkuhan itu, saya sangat terpukul. Saya mencari mereka. Dan saya mempergoki mereka, berduaan di Kamar 5, Lantai Tujuh."
Bu Indah bangkit dari kursinya, mulai berjalan mondar-mandir, memainkan peran sebagai korban trauma.
"Saya sangat marah. Saya memaki-maki suami saya. Tiba-tiba, Anggun yang panik dan ketakutan karena rahasianya terbongkar, mengambil pisau yang ada di meja. Dia ingin menusuk saya untuk membungkam saya."
Bu Indah menunjukkan bekas luka samar di lengannya. "Saya menangkisnya. Saya lari. Dia mengejar saya di lorong. Dia tetap ingin menusuk saya. Saat saya jatuh, dia sudah ada di depan saya. Saya ditendang, dan entah bagaimana, saya berhasil menendang wajahnya hingga dia terhuyung."
Bu Indah berhenti di depan jendela besar kantornya, menatap ke luar.
"Dia kemudian berlari kembali ke Kamar 5. Saat itu, anak saya yang masih kecil sedang bermain di koridor. Dia mengambil anak saya, lari ke balkon Kamar 5—kamar itu dulunya punya balkon, sebelum saya renovasi—dan mengancam akan terjun bersama anak saya!"
Dina dan Rima menahan napas. Nyonya Lia berdiri diam, mendukung setiap kata dari Bu Indah dengan tatapan mata yang dingin.
"Saya panik. Saya memohon, saya berteriak, saya memaksa untuk mengambil anak saya. Saat saya mencoba menarik anak saya, saya sedikit terkena sabetan pisau yang masih dipegang Anggun, dan dia... dia kepeleset. Dia kehilangan keseimbangan, dan jatuh dari balkon itu. Dia tewas di bawah."
Bu Indah berbalik, air matanya sudah mengalir deras. "Itu bukan salah saya! Itu murni kecelakaan! Saya membela diri dan melindungi anak saya! Saya tidak terbukti membunuh Anggun, bukan? Polisi menutup kasus ini sebagai bunuh diri yang tidak disengaja karena tekanan emosi!"
Versi cerita Bu Indah memutarbalikkan semuanya: Anggun bukan korban yang ditahan, melainkan pelacur yang mengancam. Bu Indah bukan pembunuh, melainkan ibu yang membela diri dan korbannya adalah Anggun.
Meskipun kisahnya terasa terlalu dramatis dan sinematik, detail yang ia sampaikan tentang Anggun, Beni, dan Kamar 5 (termasuk balkon yang kini tidak ada) mengonfirmasi bahwa ia adalah orang yang tahu persis apa yang terjadi.
Rima dan Dina, meskipun merasa ada yang janggal, terpengaruh oleh kisah tragis yang disampaikan dengan air mata oleh seorang pemilik hotel. Mereka mulai meragukan buku harian itu.
Namun, Aryan masih curiga. Jika Anggun bunuh diri atau kecelakaan, kenapa dia sekarang bergentayangan dan memaksa mereka membebaskannya? Kenapa Nyonya Lia harus merawatnya dengan sajen?
Aryan melihat Bu Indah, lalu Nyonya Lia. Ia tahu mereka berbohong.
"Baik, Bu Indah. Kami mengerti," ujar Aryan, memasang wajah mengalah. "Kami mengerti betapa beratnya trauma Anda. Saya akan berhenti menyelidiki Anggun."
Aryan kemudian mengeluarkan kartu KTP Anggun dan catatan aneh dari sakunya (tidak menunjukkan buku harian Anggun).
"Kami menemukan ini. Kami juga sempat melihat Anda melakukan ritual sajen. Kami berasumsi Anda melakukan ritual adat untuk menenangkan arwahnya."
Bu Indah mengangguk, kembali pada peran sebagai pebisnis yang percaya takhayul. "Ya. Itu benar. Hanya ritual untuk menenangkan. Saya merasa bersalah karena dia tewas di properti saya. Kami ingin dia tenang."
Aryan kemudian menunjuk alamat di catatan itu. "Kami akan mencari info lebih kuat lagi. Kami akan menelusuri ke alamat ini. Siapa tahu ada keluarga Anggun di sana yang bisa kami hubungi untuk memastikan bahwa arwahnya sudah tenang. Kami ingin membantu," ujar Aryan, memberikan alibi yang sempurna untuk melanjutkan penyelidikan mereka.
Bu Indah mengernyitkan dahi mendengar nama alamat itu. "Alamat apa itu? Saya tidak tahu. Itu mungkin alamat lama Anggun."
"Terima kasih atas informasinya, Bu Indah," tutup Aryan, bangkit. "Kami akan mencari tahu di alamat ini. Kami ingin hotel ini aman."
Aryan, Rima, dan Dina meninggalkan kantor Bu Indah. Mereka tahu, Bu Indah baru saja memberi mereka versi kebohongan yang sangat detail, dan mereka harus membuktikan bahwa cerita itu palsu dengan pergi ke alamat yang diberikan Anggun.