di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Valerian berdiri dari tempat duduknya, masih memegang nampan yang tadi dibawa Alaric. Tatapan matanya mengeras sedikit, namun suaranya tetap tenang.
“Aku tidak ingin mengulanginya,” ucap Valerian pelan namun tegas. “Kalian bukan budak. Kalian dipilih karena kemampuan kalian, karena kecerdasan kalian, dan karena kalian percaya padaku. Jadi mulai sekarang, hilangkan kata budak dari kepala kalian. Kalian adalah orang-orangku. Mengerti?”
Kesepuluh anggota itu saling pandang, ragu, namun tidak berani membantah.
Raven yang berdiri sedikit di depan menunduk lebih dalam.
“Kami mengerti, Master,” jawab Raven mewakili yang lain.
Valerian mengangguk puas.
“Bagus. Ayo.”
Ia berbalik dan berjalan terlebih dahulu. Langkahnya pelan namun penuh wibawa. Anggota lain mengikuti dari belakang dengan lebih teratur, tidak lagi setegang sebelumnya.
Di ruang makan istana Phoniks
Meja besar sudah dipenuhi hidangan hangat yang disiapkan Alaric. Aroma sup dan roti panggang memenuhi ruangan, membuat suasana terasa sedikit lebih hangat dan tidak terlalu formal.
Valerian duduk di posisi tengah, tempat yang biasa ia gunakan. Namun kali ini ia memberi isyarat pada anggota lain untuk duduk.
Awalnya mereka ragu—sangat ragu.
Seorang anak laki-laki berambut hitam mencoba duduk, tapi tubuhnya kaku seolah setiap gerakan adalah dosa.
“Duduk saja,” ujar Valerian sambil menuang air ke gelasnya sendiri. “Kalian tidak akan mati hanya karena makan bersama denganku.”
Nada santainya membuat beberapa dari mereka menghela napas lega.
Alaric berdiri di sisi Valerian, mengawasi mereka seperti pengawas yang ingin memastikan mereka berperilaku sopan.
Mereka mulai makan, diam-diam, perlahan. Tidak ada yang berani menimbulkan suara terlalu keras.
Valerian memperhatikan mereka sebentar—wajah-wajah yang terbiasa diperlakukan rendah, dipaksa tunduk, tidak terbiasa menerima kebaikan tanpa balasan. Hatinya sedikit mengeras. Akan butuh waktu lama untuk mengubah pola pikir mereka… tapi ia akan melakukannya.
“Setelah makan,” ujar Valerian, memecah keheningan, “aku ingin melihat laporan latihan pagi kalian. Raven, setelah itu datang ke ruanganku. Ada hal yang perlu kuberikan padamu sebagai wakil.”
Raven menunduk. “Baik, Master.”
Valerian kembali menyantap makanannya, tenang, penuh perhitungan.
Di dalam kepalanya, satu hal terlintas:
Ini baru awal.
Setelah makan bersama, para anggota kembali ke ruang pelatihan, sementara Valerian berjalan kembali ke ruang kerjanya dengan langkah tenang. Alaric mengikuti beberapa langkah di belakang, seperti bayangan yang setia.
Begitu Valerian duduk di kursi kerjanya, ia membuka beberapa lembar dokumen dan buku catatan yang tadi pagi ia susun. Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok. Tok.
“Masuk,” ujar Valerian tanpa mengalihkan pandangannya.
Pintu terbuka, dan Raven masuk dengan langkah teratur. Ia langsung membungkuk dalam-dalam.
“Master, Anda memanggil saya.”
Valerian menutup buku catatannya, menatap Raven dengan mata emas yang tajam namun tenang.
“Ya. Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui sebelum aku masuk ke akademi,” ucapnya.
Raven diam, fokus sepenuhnya.
Valerian melanjutkan, suaranya rendah namun setiap kata terasa seperti perintah yang tak bisa diganggu gugat.
“Pertama, aku ingin kau mengawasi seluruh pergerakan bangsawan yang selama ini berhubungan dengan istana pusat. Jika ada yang mencurigakan, catat dan laporkan dalam laporan mingguan.”
Raven mengangguk.
“Baik, Master.”
“Kedua,” Valerian mengambil sebuah buku tipis dari laci dan menyerahkannya, “ini adalah struktur awal organisasi yang akan kita kembangkan. Gunakan buku ini sebagai panduan. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.”
Raven menerimanya dengan kedua tangan, memandang sejenak sampul hitam polos itu seolah itu adalah sesuatu yang berharga.
“Dan terakhir,” Valerian bersandar sedikit ke kursi, tatapannya lebih dingin.
“Pastikan semua anggota mematuhi aturan yang kutetapkan. Jika ada yang membangkang… kau tahu apa yang harus dilakukan.”
Raven menunduk lebih rendah, memahami makna di balik kata-kata itu.
“Tentu, Master.”
Valerian mengangguk tipis, menunjukkan ia puas.
“Sekarang, pergi dan mulai tugasmu.”
Raven mundur selangkah, membungkuk dalam-dalam sekali lagi sebelum keluar dari ruangan, menutup pintu dengan hati-hati.
Begitu pintu tertutup, Valerian kembali menatap catatannya. Tatapan itu bukan lagi tatapan seorang pangeran—melainkan seorang pemimpin yang sedang membangun kekuatan dalam diam.
Siang hari itu, saat matahari mulai condong ke barat, istana Phoniks kembali kedatangan tamu. Suara derap kuda dan simbol burung elang berwarna perak di kereta memberi tahu semua orang:
Duke Ravion datang.
Alaric segera menghampiri Valerian yang sedang menulis laporan di ruang kerjanya.
“Pangeran, Duke Ravion meminta izin bertemu.”
Valerian menutup bukunya. “Biarkan dia masuk.”
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya dengan rambut hitam dan mata tajam memasuki ruangan. Ia membungkuk penuh hormat.
“Yang Mulia Pangeran Valerian. Sudah lama saya tidak melihat Anda.”
Valerian berdiri. Tatapannya tenang namun kuat.
“Duke Ravion. Terima kasih sudah datang.”
Duke Ravion memperhatikan sang pangeran. Ada sesuatu yang berbeda—Valerian terlihat lebih matang, lebih berbahaya.
Setelah Alaric menutup pintu dan memastikan tak ada yang mendengar, Valerian memulai pembicaraan.
“Aku memanggilmu kemari bukan untuk basa-basi, Duke. Ada hal penting yang harus kubicarakan.”
Nada suaranya dingin, langsung pada inti pembahasan.
Duke Ravion mengangguk. “Silakan, yang mulia.”
Valerian berjalan mendekati jendela, melihat ke arah pelatihan anggota di halaman.
“Aku akan masuk ke akademi. Selama aku di sana, mereka membutuhkan pelatihan dari seseorang yang lebih berpengalaman.”
Ia menatap Duke Ravion.
“Aku ingin kau melatih mereka selama aku tidak ada. Aku ingin mereka menjadi pasukan elit yang tidak bisa disentuh siapa pun.”
Duke Ravion menatap para anggota di luar, lalu kembali pada Valerian. “Sebuah permintaan berat untuk seorang pangeran yang baru kembali dari kematian.”
Valerian tersenyum miring—senyum seorang pemain catur yang sebentar lagi menang.
“Aku tidak berencana tetap berada di posisi ini untuk selamanya.”
Ruang itu terasa lebih sunyi. Bahkan udara pun seolah berhenti.
Valerian menatap Duke Ravion dengan mata emas yang tajam dan penuh tekad.
“Aku akan mengambil alih tahta. Bukan sebagai pangeran ketiga yang terlupakan, tapi sebagai raja yang akan membangun ulang kerajaan ini dari akar-akarnya.”
Duke Ravion membeku sejenak. Lalu perlahan, ia tersenyum kecil—senyum seseorang yang telah menunggu kata-kata itu bertahun-tahun.
“Saya bertanya-tanya kapan Anda akan mengatakannya, Yang Mulia.”
Valerian mengangkat alis. “Oh?”
“Saya sudah melihat potensi Anda sejak Anda masih kecil. Jika bukan Anda yang naik tahta… kerajaan ini akan runtuh di tangan para bangsawan serakah itu.”
Duke Ravion menunduk dalam.
“Jika Anda serius mengambil alih tahta, maka saya—Duke Ravion—akan mendukung Anda sepenuhnya.”
Valerian mendekat, suaranya rendah namun penuh otoritas.
“Kalau begitu, latih mereka untukku. Bentuk mereka menjadi bayangan yang akan menopang kekuasaanku.”
Duke Ravion menepukkan tangan ke dada sebagai tanda sumpah.
“Dengan kehormatan keluarga Ravion, saya akan melakukannya.”
Valerian mengangguk puas.
“Bagus. Kita akan mulai menggerakkan dunia dalam diam. Ketika waktunya tiba… semua akan berlutut.”
Duke Ravion tersenyum tipis, aura gelap Valerian membuatnya merinding.
“Kerajaan ini tampaknya akan memiliki raja yang sangat… berbeda.”
Valerian hanya tersenyum, senyum dingin yang seperti memprediksi masa depan.