Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Tetap Papanya Keenan
Keesokan paginya aku sudah bersiap untuk berangkat kerja. Kevin pun sudah lebih dulu memanaskan motornya di depan rumah. Udara pagi masih terasa dingin, aroma embun pagi sungguh menyejukkan.
Seperti biasa, Keenan akan dibawa Ibuk bekerja di rumah Tante Ratna. Kadang aku kasihan juga sama Ibuk yang harus repot mengurus Keenan, tapi beliau selalu bilang gak apa-apa. Lagi pula, kalau Ibuk sedang sibuk, Tante Ratna juga sering ikut nemenin Keenan main. Untungnya Keenan anaknya gak rewel, malah cenderung aktif dan ceria.
Sejak subuh aku sudah masak supaya bisa bawa bekal buat kerja. Sekalian juga buat Kevin, biar hemat dan gak perlu jajan di luar.
Aku baru saja hendak naik ke motor Kevin ketika sebuah mobil berhenti di depan rumah. Alisku langsung mengernyit. Pagi-pagi begini siapa yang datang?
Mobil itu tampak mencolok, dan begitu pintunya terbuka, jantungku serasa berhenti berdetak sejenak. Dari dalam turun Della dengan dandanan yang bikin mataku sakit tentunya dia bersama Bang Rendra. Aku spontan menghela napas panjang, menahan emosi yang mulai memanas. Bisa-bisanya dia datang ke rumah Ibukku bawa gundiknya meskipun sudah dia nikahi. Untung saja Ibuk sudah berangkat ke rumah Tante Ratna, kalau enggak, pasti sudah ribut besar.
Kevin langsung mematikan motor dan berdiri di sebelahku dengan wajah tegang.
“Kevin!” tegurku cepat, mengingatkan dia agar gak tersulut emosi.
“Tapi, Mbak…” Kevin menatapku, nadanya berat. Aku menggeleng pelan, memberi isyarat supaya dia tenang. Kevin akhirnya mengangguk, meski aku tahu dari rahangnya yang mengeras, dia sedang menahan diri.
“Aini, kami ke sini...” ucap Della, tapi aku langsung memotong.
“Kalian mau ngapain ke sini?” tanyaku dingin tanpa sedikit pun niat mempersilakan mereka masuk.
“Harusnya kamu suruh kami masuk dulu, baru tanya,” sahut Della dengan nada tinggi, senyum sinisnya bikin darahku mendidih.
Aku menatap mereka tajam. “Kalian kira aku sudi membiarkan kalian memijakkan kaki ke rumah ini?”
“Yang… mulut Aini,” rengek Della manja pada Bang Rendra, sengaja bikin aku makin muak.
Bang Rendra menarik napas panjang. “Aini…” suaranya kali ini lebih lembut, seperti mencoba menahan sesuatu.
“Apa?” sahutku ketus.
“Abang kangen sama Keenan. Izinkan Abang ketemu dia,” katanya lirih, matanya tampak tulus, dan untuk sesaat aku melihat sosok ayah dalam dirinya dan bukan laki-laki yang menghancurkan rumah tanggaku.
Aku masih diam.
“Abang mohon, Aini. Nanti kalau kita benar-benar cerai, Abang yakin Abang bakal jarang bisa ketemu Keenan.”
Nada suaranya seperti memohon sungguh-sungguh.
Dari belakang, Kevin bersuara pelan, “Mbak…”
Aku menoleh sedikit. “Gak apa-apa, Vin. Bagaimanapun juga, Bang Rendra itu papa kandungnya Keenan. Dia punya hak buat ketemu anaknya.”
Aku menarik napas panjang. “Tunggu sebentar, aku jemput Keenan dulu.”
Aku bergegas menuju rumah Tante Ratna. Ibuk awalnya gak setuju, wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.
“Bilangin sama si Rendra, hati-hati bawa Keenan! Kalau anak itu lecet sedikit aja, Ibu botakin kepalanya!” gerutu Ibuk dengan wajah garang.
Aku gak bisa menahan tawa kecil. “Iya, Buk. Aku sampaikan.”
Aku menggendong Keenan keluar dari rumah Tante Ratna. Begitu melihat mobil Bang Rendra, mata Keenan langsung berbinar. Belum sempat aku bicara, dia sudah minta turun dari gendongan dan berlari kecil ke arah ayahnya.
“Papa!” serunya riang, langsung memeluk kaki Bang Rendra erat-erat.
Aku terdiam. Ada perasaan campur aduk di dada. Antara kesal, sedih, tapi juga gak bisa memungkiri bahwa Keenan memang merindukan sosok papanya.
Bang Rendra menunduk, mengusap kepala Keenan penuh kasih. Della hanya berdiri di sampingnya, memainkan rambutnya sendiri seolah bosan.
“Abang bawa Keenan jalan-jalan dulu, ya. Nanti sore Abang anterin lagi,” ucapnya hati-hati.
Aku menatap Keenan yang tersenyum ceria di pelukan ayahnya. Akhirnya aku mengangguk pelan.
“Jangan lama-lama.”
Bang Rendra mengiyakan, lalu masuk ke mobil bersama Keenan dan Della. Aku hanya berdiri di depan pagar, menatap mobil itu menjauh sampai hilang di tikungan.
Kevin menghampiriku, wajahnya masih penuh kekesalan. “Mbak, kenapa juga ngasih izin dia bawa Keenan? Orang itu udah jelas-jelas nyakitin Mbak!”
Aku hanya tersenyum miris sambil menatap langit yang mulai cerah. “Kadang, Vin… gak semua hal bisa kita ukur pakai rasa sakit. Buat Keenan, dia tetap papanya.”
Kevin mendesah, lalu menyalakan motor lagi. “Ya udah, ayo berangkat. Tapi nanti kalau anak itu kenapa-kenapa, aku gak bakal diem aja.”
Aku terkekeh kecil. “Siap, bodyguard.”
Kami pun berangkat kerja. Di sepanjang jalan, Kevin masih aja menceramahiku panjang lebar, sementara aku hanya mendengarkan dengan senyum kecil. Entah kenapa, pagi ini malah terasa panjang sekali.
**
Sesampainya di perusahaan, aku langsung mengambil sapu, kain pel, dan kemoceng. Setelah itu, aku bergegas menuju ruangan Pak Arsya. Pagi-pagi begini suasana kantor masih sepi, hanya terdengar suara langkah kakiku dan deru pendingin ruangan. Untung saja aku dari rumah sudah memakai seragam kerja, jadi gak perlu lagi ganti pakaian di kantor.
Tanpa buang waktu, aku langsung menuju ruangan Pak Arsya dan mulai membersihkannya. Aku berusaha sebaik mungkin agar gak ada yang terlewat. Debu di meja, laci, bahkan sudut-sudut kecil pun kuperhatikan. Sampai akhirnya mataku tertuju pada jendela kaca besar yang agak kusam. Aku pun mulai membersihkannya, tapi bagian atasnya terlalu tinggi, gak bisa aku jangkau meski sudah sedikit berjinjit.
Aku akhirnya memutuskan kembali ke pantry untuk mengambil kursi plastik. Kursi itu kuletakkan tepat di depan jendela, lalu aku naik perlahan dan kembali fokus membersihkan bagian atas kaca.
Siapa sangka, lantai yang licin membuat kursi itu tiba-tiba bergeser.
“Astaga..!”
Aku kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh, tapi sebelum tubuhku benar-benar menyentuh lantai, seseorang sudah lebih dulu menangkapku. Seketika napasku tercekat. Saat aku menoleh, pandanganku langsung bertemu dengan mata tajam Pak Arsya.
Beberapa detik kami saling berpandangan. Posisi kami benar-benar... canggung. Serius, ini kayak adegan di drama-drama yang sering aku tonton tapi bedanya, aku yang jadi pemeran utama tanpa latihan dulu.
Aku buru-buru berdiri sendiri, menunduk dalam-dalam. Degup jantungku masih belum tenang. Sumpah, aku takut banget kalau tiba-tiba dia marah atau malah memecatku di tempat.
“J-jangan pecat saya, Pak! Saya gak bermaksud apa-apa. Saya cuma mau bersihin jendela kaca itu,” ucapku terburu-buru sebelum dia sempat bicara.
Alisnya sedikit terangkat. “Siapa yang mau pecat kamu?” tanyanya datar.
Aku langsung menatapnya, masih belum percaya. “Jadi… Bapak gak akan memecat saya?”
Dia menggeleng pelan, lalu melangkah ke meja kerjanya dan duduk santai. “Tidak.”
Aku mengembuskan napas lega. Tapi belum sempat benar-benar tenang, suaranya kembali terdengar.
“Kamu bikinin saya teh. Dan gak usah bersihin bagian atas itu lagi, nanti saya suruh cleaning service yang laki-laki buat ngerjain.”
“Baik, Pak,” jawabku cepat, hampir seperti prajurit yang dapat perintah dari komandannya.
Aku segera membereskan kain pel dan kemoceng, lalu membawa semuanya kembali ke pantry. Sekalian aku siapkan teh seperti yang beliau minta.
Sambil menuang air panas ke cangkir, aku tersenyum kecil. Ternyata, Pak Arsya gak sekejam yang diceritain orang-orang di kantor. Malahan, kalau dilihat-lihat, dia cukup tenang dan… ya, bisa dibilang agak humble juga.