Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepanikan yang Tersembunyi
Zahir menegak, otot-otot di lehernya menegang. Rasa putus asa di matanya tergantikan oleh api liar harapan. Ia melihat Utusan Kota Agung sebagai tali penyelamat dari jurang yang ia gali sendiri.
“Tepat pada waktunya,” bisik Zahir, senyum licik mulai terbentuk di sudut bibirnya. Ia akan mengandalkan Al-Mustafa untuk membatalkan semua otoritas anak kecil di depannya.
Yasmeen menoleh sedikit ke arah ayahnya, matanya menyempit seperti elang yang menghitung mangsa. “Bukan, Abī. Mereka datang terlalu cepat. Waktu yang kuminta dua tahun, bukan dua hari.”
Ia memberi isyarat kepada Wazir. “Katakan kepada Al-Mustafa, dia harus menunggu. Aku tidak akan menerima tamu penting seperti itu di Ruang Audiensi Kecil, dan apalagi tanpa persiapan yang layak.”
Wazir itu menatap Zahir, lalu kembali menatap pewaris yang sepuluh tahun itu, dan keraguan menguap dari wajahnya. “Baik, Yang Mulia. Saya akan memberitahu mereka. Namun, Al-Sharif dikenal sebagai orang yang sangat tidak sabar.”
“Dia akan sabar,” potong Yasmeen dengan nada finalitas. Ia berbalik sepenuhnya dari Zahir, mengabaikan Ayahnya yang tiba-tiba kembali merasa kuat itu. “Khalī Tariq, tugaskan tiga pengawal terkuat untuk menemani Wazir. Pastikan Utusan itu merasakan sambutan yang sehangat mungkin di ruang tunggu yang sejuk. Kemudian, kemari.”
Tariq mengangguk dengan loyalitasnya mutlak, dan bergegas mengikuti Wazir. Zahir ditinggalkan sendiri, tegak dan pucat, menyaksikan putrinya mengendalikan segalanya.
“Kau tidak bisa melakukan ini, Yasmeen!” desis Zahir. “Utusan Kekaisaran tidak bisa dipermainkan. Kau akan mempermalukan Nayyirah dan membuat kita semua dalam bahaya. Kau harus menerima mereka, dengan segala hormat, dan mengikuti protokol! Mereka datang untuk membawamu!”
Yasmeen akhirnya menghadap Zahir. Kelelahan yang ia rasakan setelah semalam penuh drama Ruqayyah tak terlihat sedikit pun. Yang ada hanyalah baja dingin seorang pemimpin yang terlatih dalam intrik.
“Kau salah, Abī,” kata Yasmeen. “Aku adalah Emirah yang memerintah. Utusan datang ke Emiratku. Jika aku datang sebagai anak kecil yang siap dibawa pergi, aku akan diperlakukan sebagai budak yang tidak berdaya. Nayyirah adalah Provinsi yang penting, dan Utusan Permaisuri harus menghormati almarhum Jaddī dan juga wasiatnya. Kau sudah kalah. Jangan merusak upaya diplomatikku dengan kegagalan emosionalmu.”
Yasmeen melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Umm Shalimah, yang bergegas meraih pakaian formal di sayap pribadi.
Satu jam kemudian, suasana di Aula Tahta yang biasanya diselimuti oleh debu dan kesunyian mendiang Emir, kini penuh dengan aktivitas tegang. Pelayan bergegas membersihkan lantai marmer dan memasang sulaman tebal. Segalanya harus terlihat sempurna—kuat, mewah, dan terawat.
Di Ruang Ganti Pribadi, Yasmeen sedang mengenakan Qamis formal yang telah disesuaikan ukurannya oleh para penjahit terbaik istana, dipandu oleh instruksi cermat Umm Shalimah. Qamis itu adalah warisan: jubah berlapis yang terbuat dari sutra biru safir, warna yang mewakili kemakmuran oasis Nayyirah, dengan sulaman perak rumit yang menandakan koneksi kekaisaran, tetapi yang paling penting, sulaman itu dulunya milik Jaddīnya.
Saat Umm Shalimah memasangkan ikat pinggang kulit lebar di pinggang mungilnya, Yasmeen merasakan beratnya. Ini bukan pakaian untuk anak-anak bermain boneka. Ini adalah baju perang tanpa pedang.
“Kau terlihat seperti pewaris sejati, Sayyidah,” bisik Umm Shalimah, suaranya dipenuhi rasa bangga. “Jaddīmu pasti tersenyum melihatnya.”
Yasmeen menatap pantulannya. Sepuluh tahun, tetapi matanya menampung kekejaman dan kelelahan tiga puluh tahun. Ia tahu penampilannya adalah separuh pertempuran.
“Ini adalah penolakan paling sopan yang bisa kita berikan, Shalimah,” kata Yasmeen. “Al-Sharif Al-Mustafa bukanlah negosiator biasa. Dia adalah tangan kanan Permaisuri Hazarah. Keras, cepat marah, dan menjunjung tinggi adab (etika) istana. Jika aku menunjukkan ketidakhormatan sekecil apa pun, dia akan menggunakannya sebagai alasan untuk mengambil alih Nayyirah sepenuhnya.”
Yasmeen menyelesaikan persiapannya dan melangkah keluar menuju Aula Tahta, Khalī Tariq telah menantinya di pintu, siap untuk menjadi satu-satunya pendukung militernya di dalam ruangan.
Pertemuan itu berlangsung di Aula Penerimaan utama, ruang yang dingin dan lapang yang dihiasi permadani tebal. Al-Sharif Al-Mustafa duduk di seberang, seorang pria berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jubah sutra yang dicelup dengan warna biru kerajaan dari Kota Agung. Di sisinya, duduk seorang juru tulis dengan wajah kaku dan dua pengawal istana yang tampak angkuh.
Mustafa memiliki janggut terawat dan mata yang tajam, matanya menatap Yasmeen seolah sedang mengukur sepotong barang dagangan yang mengecewakan. Sikapnya tidak kasar, tetapi jelas tidak ramah, hanya kesabaran yang dingin.
Yasmeen duduk di kursi yang terlampau besar untuknya, kakinya menggantung. Ia harus memaksa dirinya untuk mempertahankan kontak mata.
Mustafa memulai tanpa basa-basi. Nadanya, meski formal, tidak mengizinkan debat.
“Yang Mulia Sayyidah Yasmeen, hamba datang mewakili Permaisuri Hazarah. Kami telah menunggu kabar mengenai kepindahan Anda sejak wafatnya Emir lama. Kehadiran Anda di Istana Kesultanan adalah hal yang sangat mendesak. Pendidikan, penyiapan untuk pernikahan Anda dengan Yang Mulia Emir Harith, dan tentu saja, keamanan Anda, harus diprioritaskan.”
Yasmeen membungkuk sedikit di kursinya, isyarat hormat yang diajarkan oleh Jaddīnya.
“Al-Sharif, selamat datang di Nayyirah. Hamba meminta maaf atas keterlambatan sambutan. Kematian Jaddī membuat seluruh administrasi Emirat terguncang, seperti yang mungkin sudah Anda ketahui dari surat-menyurat dengan Ayahanda.”
Mustafa mengangguk, senyum tipis, mencela, tersampir di wajahnya. “Kami memahami kebingungan administrasi. Tepat mengapa Permaisuri mengutus saya. Kami ingin meringankan beban Anda, Sayyidah, dengan membawa Anda ke lingkungan yang aman. Kehidupan di ibu kota jauh lebih sesuai untuk seorang gadis bangsawan yang berpendidikan tinggi.”
Yasmeen merasakan darahnya mendidih, tetapi ia memaksakan napas tenang. Ia tidak boleh marah. Marah adalah kerugian. Ia harus memutar narasi.
“Hamba sangat berterima kasih atas tawaran belas kasih dari Permaisuri. Namun, Al-Sharif, ada satu masalah yang harus saya sampaikan dengan segala hormat. Wasiat Jaddī bukan hanya tentang pewarisan takhta, tetapi juga tentang tanggung jawab yang mengikat.”
Mustafa mencondongkan tubuh ke depan, minat yang baru dan berbahaya muncul di matanya. “Wasiat yang bagaimana, Sayyidah?”
“Jaddī berwasiat bahwa selama masa transisi setelah kepergiannya, Emirah yang baru harus memimpin pemulihan Nayyirah secara pribadi, karena adanya potensi kekacauan dan penyelewengan di perbatasan utara,” jelas Yasmeen, nada suaranya tegas dan faktual, bukan merengek. Ia menyuntikkan masalah politik eksternal agar penolakannya terlihat penting bagi Kekaisaran.
“Beliau tidak hanya menunjuk saya sebagai pewaris, tetapi juga sebagai Wali Administrasi hingga saya genap dua belas tahun, atau sampai stabilitas pajak dan perbatasan kembali normal.”
Mustafa tertawa kecil, tawa yang kering dan tidak sopan.
“Yang Mulia Emirah kecil,” katanya, penekanan pada kata ‘kecil’ terdengar menusuk. “Anda sepuluh tahun. Bisakah Anda menjamin keamanan perbatasan dari balik tumpukan dokumen yang tidak Anda mengerti? Urusan perbatasan adalah urusan Sultan. Kami tidak membutuhkan anak kecil yang mencoba meniru kebijakan kakeknya.”
Yasmeen menjawab, tanpa sedikit pun emosi terlihat. “Justru karena ini urusan Sultan, Nayyirah tidak boleh menunjukkan kelemahan, Al-Sharif. Jika Nayyirah terguncang dan saya tidak hadir untuk memimpin para Wazir, Provinsi ini dapat dengan mudah jatuh ke dalam anarki. Dan anarki berarti pajak nol untuk Sultan. Anarki berarti musuh dari Timur dapat masuk melalui pintu yang terbuka lebar.”
Dia menjeda, membiarkan ancaman kerugian finansial bergema. Dia tahu itulah bahasa yang dipahami oleh Kota Agung.
“Oleh karena itu,” lanjut Yasmeen, “saya meminta waktu penundaan selama dua tahun penuh. Setelah Nayyirah stabil dan menunjukkan angka ekspor perak yang menjanjikan lagi, barulah saya bisa memenuhi panggilan Permaisuri Hazarah untuk dididik di ibukota. Penundaan ini bukan penolakan. Ini adalah strategi bisnis yang menjaga stabilitas kekaisaran.”
Mustafa bersandar, menghela napas panjang. Wajahnya yang tegang kini terlihat sedikit frustrasi. Ia terbiasa menekan bangsawan kecil yang ketakutan, bukan bernegosiasi dengan ahli strategi dalam bentuk anak kecil.
“Anda telah mengunci Ayah Anda, Sayyid Zahir, di dalam kediamannya atas tuduhan yang... meresahkan. Apakah ini juga bagian dari ‘strategi bisnis’?” tanya Mustafa, nadanya penuh sindiran, mencoba menyerang titik lemah moralnya.
“Pengkhianatan dan penyelewengan adalah penyakit yang harus dihilangkan, Al-Sharif, baik itu dalam bentuk pelayan curang, maupun dalam bentuk anggota keluarga sendiri,” jawab Yasmeen datar. “Saya telah membersihkan rumah Nayyirah, untuk memastikan bahwa ketika saya pergi, warisan Jaddī saya tidak dicuri dari belakang.”
Mustafa terdiam. Ia memandangi Yasmeen. Lalu ke jubah sutra biru safir, yang tampak begitu dewasa. Lalu ke Tariq, kepala pengawal yang berdiri kaku di belakangnya.
“Permaisuri akan murka karena penundaan ini, Sayyidah,” ujarnya, akhirnya.
“Sampaikan padanya, murka dari provinsi yang stabil lebih baik daripada dukungan dari provinsi yang ambruk. Saya akan berjanji, jika saya harus menikah, saya akan menjadi pengantin yang kuat dan membawa aset yang besar ke meja Emir Harith, bukan pengantin miskin yang ditinggalkan oleh ayah yang korup,” tukas Yasmeen, menggunakan ambisi Kekaisaran sebagai janji.
Setelah hening sejenak yang terasa seperti seribu tahun, Mustafa mengambil napas dalam-dalam, mengangguk perlahan, dan mengejutkan Yasmeen dengan responsnya.
Ia menyeringai dingin. Senyumnya tidak menunjukkan kekalahan, melainkan kepuasan yang sinis.
“Baiklah, Yang Mulia Emirah kecil. Permintaan penundaan ini dapat saya pertimbangkan untuk disampaikan kepada Permaisuri. Keputusan ada di tangan beliau. Namun, ini datang dengan harga yang telah disepakati sebelumnya oleh Sayyid Zahir.”
Jantung Yasmeen mencelos, rasa dingin yang jauh lebih mengerikan daripada udara Aula Tahta merayapi tulang punggungnya. Ia tahu akan ada kompensasi atas penolakan ini, tetapi ia berharap Zahir hanya menawarkan emas. Bukan aset strategis.
“Harga apa, Al-Sharif?” tanya Yasmeen, suaranya dipaksakan setenang mungkin.
Al-Mustafa menyandarkan punggung, wajahnya tenang. Ia meraih gulungan kecil yang dipegang juru tulisnya dan menyentuhnya.
“Sayyid Zahir telah menjanjikan kompensasi tertentu jika putri Emirat tetap tinggal di Nayyirah untuk sementara. Permaisuri setuju untuk membiarkan Anda 'bermain Emirah' sedikit lebih lama. Sebagai gantinya, saya akan menunggu penyerahan surat jaminan atas hak perairan di oasis Azhar.”
Yasmeen tercekat. Otoritas atas air Oasis Azhar, itulah jalur kehidupan seluruh Emirat! Itu adalah pengkhianatan terparah yang tidak ia lihat dalam dokumen Zahir.
Mustafa menatapnya, menikmati kepanikan tersembunyi Yasmeen. “Tanpa Oasis Azhar, Nayyirah akan menjadi sebidang tanah gurun yang mati. Sayyid Zahir mengatakan itu adalah harga yang layak dibayar untuk melindungi putrinya dari kewajiban.”
Mustafa kemudian menjentikkan jari ke arah juru tulis.
“Saya tunggu penyerahan surat jaminan atas hak perairan di oasis Azhar.”