Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Pagi itu, ruang kerja Miko terasa begitu tenang, hanya suara jam dinding berdetak dan secangkir kopi yang sudah separuh dingin di atas meja. Miko duduk di kursi kulit hitamnya, menatap layar laptop, tetapi pikirannya jelas tidak sepenuhnya ada di sana.
Ketika pintu diketuk pelan, muncullah Ardi. Pria itu membawa sebuah map tipis di tangannya. Miko langsung menegakkan tubuh, sorot matanya tajam.
“Ardi,” suara Miko terdengar dalam, berwibawa. “Kau sudah kuperintahkan untuk mencari tahu tentang gadis bernama Chesna itu. Sampai sejauh mana hasilmu?”
Ardi berdiri kaku di hadapan majikannya. Tangannya sedikit berkeringat. Ia bahkan tidak melakukan pergerakan sama sekali, sebabi ia juga terikat janji pada Alan untuk menjaga rahasia besar itu.
Dengan napas tertahan, Ardi menjawab, “Saya sudah mencoba melacaknya, Tuan. Tapi… belum banyak informasi berarti. Anak itu… tampaknya hanya siswi biasa yang tidak terkait dengan putra Anda.”
Alis Miko mengernyit, tidak puas dengan jawaban itu. “Kau ini orang kepercayaanku. Tidak mungkin kau hanya memberi laporan dangkal begini. Aku ingin tahu siapa keluarganya, siapa orang tuanya.”
Ardi menunduk, mencoba mengatur kata-kata. “Saya… saya butuh waktu lebih lama, Tuan. Mungkin dalam beberapa hari saya bisa kumpulkan data lebih lengkap.”
Keheningan singkat memenuhi ruangan. Miko mengetuk meja dengan jarinya, tatapannya menusuk Ardi seolah berusaha menembus isi pikirannya.
“Aneh sekali,” gumam Miko dingin. “Biasanya kau selalu cepat, tepat, dan detail. Tapi kali ini… kau terlihat seperti menyembunyikan sesuatu dariku, Ardi.”
Jantung Ardi berdegup keras. Ia berusaha tetap tenang, meski keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Saya tidak menyembunyikan apa pun, Tuan. Mungkin hanya jalurnya yang lebih sulit kali ini.”
Miko menyipitkan mata, lalu bersandar kembali di kursinya. “Baik. Aku beri kau waktu. Tapi ingat, Ardi, jangan pernah coba-coba mengkhianatiku. Kau tahu betapa aku tak bisa menerima pengkhianatan.”
Ardi mengangguk cepat. “Tentu, Tuan. Saya mengerti.”
Ketika ia keluar dari ruangan itu, napas panjang terlepas dari dadanya. Dalam hati ia berbisik, Maafkan aku, Tuan…
___
Suasana sekolah sangat ramai. Derap langkah siswa bercampur suara tawa dan percakapan. Chesna melangkah pelan, menenteng buku-buku yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan. Matanya menunduk, memperhatikan langkahnya agar tidak tergesa-gesa.
Tiba-tiba, suara riuh terdengar dari arah berlawanan. “Tuh, Alan, Gideon sama gengnya, ya ampun gantengnya mereka…” setelah decak kagum terdengar beberapa siswa tampak berhamburan, memberi jalan. Chesna mengangkat kepalanya dan seketika dadanya berhenti berdetak.
Di ujung koridor, Alan berjalan bersama dua temannya, termasuk Gideon yang selalu terlihat mencolok dengan gaya percaya dirinya. Mereka bercakap ringan, langkah Alan tenang, tubuhnya menjulang gagah dengan seragam rapi.
Chesna terpaku di tempat. Buku di pelukannya nyaris jatuh. Jarak itu begitu dekat, hanya sekitar tiga meter, namun rasanya bagai dunia yang memisahkan mereka.
Mata Chesna membelalak. Itu… Alan…
Wajah yang sama persis dengan dirinya, namun tak ada yang menyadari hal itu selain dirinya sendiri. Sorot mata, garis hidung, bahkan cara Alan mengerutkan alis ketika mendengarkan temannya bicara, semuanya terlalu familiar. Seakan ia sedang bercermin, tapi bayangan itu hidup sebagai sosok yang berbeda.
Alan lewat tepat di depan Chesna. Sangat dekat. Begitu dekat sampai ia bisa mencium samar wangi parfum segar yang menempel di seragamnya. Namun, Alan tidak menoleh. Tidak sedikit pun. Seolah-olah dunia mereka benar-benar tidak bersinggungan.
Chesna menggenggam erat bukunya, menahan degup jantung yang begitu keras. Ada rasa ingin berteriak, memanggil nama kembarannya. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Alan tertawa kecil mendengar lelucon Gideon, kemudian terus berjalan, meninggalkan Chesna yang berdiri membeku di koridor itu.
Air mata tipis muncul di sudut mata Chesna. Ia cepat-cepat mengusapnya sebelum ada yang melihat. Hatinya terasa sesak. Dia di sini… begitu dekat… tapi kenapa rasanya jauh sekali?
Chesna harus berusaha menyembunyikan gejolak di dadanya. Itu adalah momen berharga sekaligus menyakitkan, melihat saudara kembar yang begitu ia rindukan, hanya bisa terdiam tanpa dikenali.
Alan yang sedang menyusuri koridor bersama dua temannya, tanpa sadar, langkahnya melambat. Ia berhenti sejenak, menoleh ke sekeliling.
“Kenapa, Lan?” tanya Gideon, mengernyit.
“Entah,” jawab Alan pelan. “Aku… merasa ada yang memperhatikan aku.”
Teman-temannya saling pandang lalu tertawa kecil, mengira Alan hanya bercanda. “Ya jelas lah! Satu sekolah juga tahu kamu murid favorit, Alan,” ujar salah satu dari mereka.
Alan ikut tersenyum, tapi di dalam dadanya ada rasa yang sulit dijelaskan. Tatapan itu terasa begitu dekat, begitu nyata. Sesaat ia bahkan seperti merasakan dentuman jantungnya sendiri semakin cepat, tanpa alasan.
Di sisi lain koridor, tersembunyi di balik kerumunan siswa, Chesna berdiri mematung. Matanya tidak bisa lepas dari sosok remaja tampan itu. Hanya beberapa meter jaraknya, namun terasa seperti ada dinding tebal yang memisahkan mereka.
Chesna menggigit bibirnya, menahan gejolak yang tak bisa ia ceritakan pada siapa pun. Itu dia… aku tidak salah lihat. Alan… kembaranku…
Alan, yang merasakan keanehan, kembali menoleh sekali lagi ke arah tempat Chesna berdiri. Namun sebelum tatapan mereka bisa bertemu, sekelompok siswa lain melintas, menutupi pandangan. Alan akhirnya menyerah, melangkah lagi sambil menggeleng pelan.
“Pelik sekali rasanya…” bisiknya lirih, terlalu pelan untuk didengar teman-temannya.
__
Kantin sekolah sore itu tidak terlalu ramai. Banyak siswa sudah pulang atau ikut les tambahan. Gideon duduk di meja pojok dengan satu nampan berisi seporsi nasi goreng dan es teh. Tak lama kemudian, Shenia datang dengan nampannya sendiri, memilih duduk berseberangan tanpa basa-basi.
“Kenapa ngajak aku makan berdua? Biasanya kan kamu rame-rame sama geng basketmu,” tanya Shenia sambil mengaduk jus jeruknya.
Gideon mengangkat bahu. “Ya… sekalian refreshing. Lagi males aja ketemu cowok-cowok ribut itu.”
Shenia mengangkat alisnya, jelas tidak percaya. “Bohong. Kamu pasti ada maunya.”
Gideon tersedak sedikit saat baru mau menyuap nasi gorengnya. “Heh? Enggak kok!”
“Please deh, aku udah kenal kamu lama, Gid. Kalau ngajak makan cuma berdua gini, pasti ada sesuatu yang mau kamu tanyain. Ya udah, bilang aja.”
Gideon menunduk sebentar, jari-jarinya mengetuk meja. Ia benar-benar ingin tahu tentang Chesna, si cewek yang membuatnya kesal beberapa hari lalu karena tabrakan fatal di lorong. Namun lidahnya kelu. Bagaimana caranya nanya tanpa kelihatan terlalu peduli?
“Aku cuma… eh… kamu temenan sama cewek baru itu, kan?” Gideon mencoba hati-hati.
Shenia langsung melotot. “Hah? Jadi ini toh alasannya! Dari tadi muter-muter cuma mau ngomongin Chesna?” suaranya agak meninggi.
Beberapa siswa di meja sebelah melirik, membuat Gideon buru-buru memberi isyarat tangan agar Shenia mengecilkan suara. “Eh, jangan teriak gitu lah! Aku cuma penasaran doang kok. Dia… aneh aja, soalnya.”
Shenia meletakkan sendoknya dengan bunyi cling di atas piring. “Aneh apanya? Dia baik, pinter, nggak rese. Yang rese itu malah kamu! Kalau tabrakan kemarin bikin kamu malu, ya jangan salahin dia. Itu murni karena kamu nggak lihat jalan.”
“Eh, bukan gitu.” Gideon berusaha membela diri, tapi Shenia sudah memotong.
“Gideon, kamu tuh beneran nyebelin. Kalau penasaran sama dia, ya tanya aja langsung. Jangan muter-muter ke aku. Lagian, kayaknya kamu nggak punya hak buat nge-judge dia.”
Gideon terdiam, menatap nasi gorengnya yang tiba-tiba tidak terasa enak. Ia memang tidak berani mengaku kalau sejak kejadian itu wajah Chesna sering muncul di kepalanya, antara rasa kesal, gengsi, dan penasaran.
Shenia menghela napas, meraih jusnya. “Chesna itu beda dari kita semua. Dia datang dari dunia yang gak mudah. Aku saranin kamu jangan ganggu dia, deh. Dia itu harus belajar dengan serius. Karna kalau niainya terganggu, bakal susah bertahan di sekolah ini.”
Kata-kata itu membuat Gideon semakin bungkam. Dalam hatinya, justru semakin banyak tanda tanya tentang Chesna yang tidak bisa ia jawab.