Melati, mantan atlet bola pingpong, menjadi tersangka pembunuhan sepupunya sendiri yang adalah lawan terakhirnya dalam turnamen piala walikota. Setelah keluar dari tahanan, ia dibantu teman baiknya, Aryo, berusaha menemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Namun ternyata Melati bukan hanya menghadapi licik dan bengisnya manusia, namun juga harus berurusan dengan hal-hal gaib diluar nalarnya.
"Dia, arwah penuh dendam itu selalu bersamamu, mengikuti dan menjagamu, mungkin. Tapi jika dendamnya tak segera diselesaikan, dibatas waktu yang ditentukan alam, dendam akan berubah menjadi kekuatan hitam, dia bisa menelanmu, dan mengambil kehidupanmu!" seru nenek itu.
"Di-dia mengikutiku?!" pekik Melati terkejut.
Benarkah Aryo membantu Melati dengan niat yang tulus?
Lalu, siapa pelaku yang telah tega menjejalkan bola pingpong ke dalam tenggorokan sepupunya hingga membuatnya sesak napas dan akhirnya meninggal?
Mari berimajinasi bersama, jika anda penasaran, silahkan dibaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Tersembunyi Apa Sebenarnya
Dokter Nita tersenyum menatap teduh ke arah Melati. "Mungkin dua atau tiga jam, terpaksa aku harus membuatnya tertidur."
"Jadi itu obat bius?" Melati memberanikan diri bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya.
Dokter Nita tersenyum lagi, "Hanya obat biasa untuk menenangkan pikirannya. Kamu tidak perlu khawatir," ucapnya tanpa menyebutkan jenis obat yang dipakainya, seolah sengaja atau mungkin ia menyadari kecurigaan Melati.
Dokter Nita menatap keluar, lalu melanjutkan ucapannya, "Tapi bukankah ini sudah saatnya kamu ke ruang pelatihan, lihatlah, para siswa bola pingpong sudah keluar dari ruang kelas," ujarnya sembari menunjuk keluar jendela.
Melati tidak percaya sepenuhnya, dia masih merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Ah, benar. Kalau begitu saya pamit dulu, Dok. Saya akan kembali nanti untuk melihat Mika lagi."
Melati kembali berjalan menuju ke ruang latihan, ia sudah ditunggu oleh beberapa siswanya.
"Kak, aku dengar kamu berasal dari keluarga atlet, apa benar begitu?" tanya salah satu siswanya penuh minat.
"Apa benar, Kak Sita itu adiknya Kak Aryo, mantan atlet renang yang pernah menjuarai turnamen walikota beberapa tahun lalu?" celetuk siswi lainnya.
Melati tersenyum menghadapi berondongan pertanyaan penuh antusias dari siswa-siswinya. "Benar, aku saudaranya Aryo, kalian sepertinya sangat mengidolakan dia ya?" tukas Mela.
Namun ada pertanyaan lain di benaknya. 'Keluarga atlet? Apa maksud mereka? Apa orang tua dan adiknya adalah atlet semua, tapi kenapa aku tidak tahu?'
Melati tersenyum sambil menjawab pertanyaan siswa-siswanya, "Ya, aku memang berasal dari keluarga yang cukup dekat dengan dunia olahraga. Aryo memang kakakku, dan kurasa dia memang pernah juara di turnamen walikota beberapa tahun lalu."
Siswa-siswanya terus bertanya dan mengagumi Aryo, membuat Melati merasa sedikit kewalahan. Namun, di dalam hatinya, dia masih penasaran tentang apa yang siswa-siswanya maksudkan dengan 'keluarga atlet'. 'Apa yang dimaksud Dokter Nita tadi, tentang asal usulku itu juga tentang keluarga Aryo?'
"Baiklah, teman-teman, sesi tanya jawabnya cukup sekian saja ya, aku rasa sudah waktunya kita mulai latihan hari ini. Siapkan diri kalian, kita akan mulai dengan pemanasan," kata Melati sambil mencoba mengalihkan perhatian dan pikirannya.
.
.
.
Di ruang kepala sekolah, pelatih Man tampak duduk bersama dengan dokter Nita.
"Aku kembali mendengar desas-desus tentang tumbal itu, baru saja salah satu siswa membicarakannya langsung denganku, apa tahun ini akan ada lagi siswa dari sekolah kita yang meninggal?" celetuk dokter Nita dengan tatapan tajamnya.
Pelatih Man mendengus menyandarkan punggungnya dengan kasar pada sofa di ruangan itu. "Aku rasa Banu belum menemukan cara untuk menghapus kutukan untuk sekolah ini, terpaksa kita harus bersiap lagi dengan semua pertanyaan wartawan. Bukankah begitu, Banu?" cercanya tanpa basa-basi.
"Kalian hanya menyalahkanku, apa aku harus mati agar kalian tahu semua itu terjadi bukan karena ku?" balas Pak Banu merasa tersinggung.
"Aku hanya mengatakan yang aku tahu," sahut pelatih Man ketus.
Kepala sekolah, Pak Banu, berdiri dari tempat duduknya, wajahnya merah karena marah. "Aku tidak menyalahkanmu, Man. Tapi kamu tahu, aku sudah muak dengan semua ini. Setiap tahun, ada saja siswa yang meninggal. Aku tidak bisa terus-menerus menutupi kebenaran ini."
Pelatih Man tersenyum sinis, "Kamu tahu apa yang akan terjadi jika kebenaran ini terungkap. Sekolah ini akan bubar, dan kita semua yang akan menjadi tumbal yang sebenarnya."
Dokter Nita berdiri, "Cukup. Kita tidak perlu bertengkar sekarang. Yang penting adalah bagaimana kita bisa mencegah agar hal itu tidak terjadi lagi. Tapi apakah kita sudah menemukan siswa yang akan menjadi tumbal berikutnya?"
Pelatih Man menoleh ke arah dokter Nita, "Belum. Tapi aku yakin, kita akan menemukannya. Dan ketika kita menemukannya, kita harus siap untuk melakukan apa saja untuk melindungi sekolah ini."
"Aku sudah mengatakan berulang kali, berhentilah bermain-main dengan siswamu! Mereka jadi terus berpikir bahwa kitalah yang menyebabkan kematian seseorang setiap tahunnya!" gertak pak Banu menunjuk tajam pada pelatih Man.
"Kau menyalahkanku? Aku menekan mereka seperti itu, hanya untuk melihat seberapa keras mereka ingin bersaing untuk menang, dan juga mempermudahkan ku untuk memilih siswa mana yang pantas kubawa ke turnamen nasional!" kilah Pelatih Man tak ingin disalahkan sendirian.
"Tapi bukan dengan mengancam lalu meminta uang pada orang tuanya! Bagaimana kita akan menghadapinya jika mereka melapor!" Dokter Nita pun ikut menunjuk pelatih Man.
"Kau ikut menyalahkanku? Kau pikir semua peralatan UKS mu itu dari mana, kalau bukan dari para wali murid yang berlomba memberikan sumbangan agar anak mereka terpilih menjadi atlet utama, Hah?!" gertak balas pelatih Man penuh amarah.
"Kamu pikir pemerintah memperhatikan kita? Semua itu karena jasaku, sadarlah kalian berdua!" imbuhnya penuh kesombongan.
Suasana di ruang kepala sekolah menjadi semakin panas, ketiga orang itu saling berteriak dan menuding satu sama lain. Pak Banu semakin marah, "Kamu pikir kamu bisa terus-menerus melakukan hal-hal seperti ini tanpa konsekuensi? Aku tidak akan membiarkanmu merusak reputasi sekolah ini!"
Pelatih Man tertawa sinis, "Reputasi sekolah? Ha! Sekolah ini sudah menjadi sarang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Aku hanya bermain sesuai dengan permainan yang sudah ada."
Dokter Nita mengangkat suara, "Cukup! Ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus bekerja sama untuk menemukan solusi, bukan saling menyalahkan."
Tiba-tiba, pintu ruang kepala sekolah terbuka, dan Melati berdiri di sana, wajahnya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit takut. "Apa yang sedang terjadi di sini?" tanyanya dengan suara yang lembut. "Maaf saya tidak...."
Situasi mendadak hening, ketiga orang dewasa itu menatap dingin ke arah Melati yang berdiri canggung di ambang pintu.
...****************...
Bersambung
mika digondol PK man... 🤣🤣🏃🏃🏃
ahh semua masih misteri deh
ayo melati.. akting yg bagus y..