Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melenyapkan Plaga
Lampu fluoresen di langit-langit laboratorium menyala terang, memantulkan cahaya pucat ke lantai logam dan dinding steril yang terasa dingin.
Di tengah ruangan berdiri sebuah ranjang pasien, dikelilingi alat-alat medis: lampu operasi, kabel-kabel sedikit terbuka, layar monitor berkedip, serta beberapa tabung oksigen.
Ashley terbaring di atas ranjang, tubuhnya kejang hebat saat mesin aktif. Matanya tertutup rapat, wajahnya basah oleh keringat, dan giginya bergemeretak menahan rasa sakit luar biasa.
"Ugh... Argh... Aaah..." keluhnya lirih, seolah ada sesuatu yang mengoyak dari dalam.
Tangan Ashley mencengkeram kuat sisi ranjang, jemarinya memutih. Getaran di tubuhnya makin hebat, Plaga dalam dirinya tengah dipaksa keluar dengan metode brutal.
Di sisi ranjang, Luis memantau layar monitor dengan ekspresi tegang. Keningnya berkerut dalam, sementara jemarinya bergerak cepat di atas panel kontrol yang setengah rusak.
Kabel dan elektroda tersambung ke mesin yang menyerupai lampu laser alat untuk radiation therapy: menghantarkan panas UV dan gelombang energi ke tubuh Ashley.
Setiap detik berlalu terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati.
“Bertahanlah, princesa…” gumam Luis dengan suara rendah. “Ini akan segera selesai... sedikit lagi. Radiation therapy lebih aman dari oprasi pembedahan."
"Argh... "
Jeritan tak tertahan dari Ashley terdengar, membuat jantung Luis berdegup kencang. Mesin memancarkan dengung berat, alarm kecil berbunyi sesaat, lalu senyap lagi.
Luis tak mengalihkan pandangannya dari pembacaan layar. Tubuhnya tegang, namun tatapannya tetap fokus pada layar monitor, memperhatikan kehancuran Plaga dalam tubuh Ashley.
Di sisi lain ruangan, di balik tumpukan peralatan medis yang setengah rusak dan meja logam yang sedikit tertutup debu, Rian berdiri dalam senyap.
Kedua tangannya tengah membungkus sebuah objek lonjong dengan lapisan pelindung tambahan, beberapa lapis kain, kain tahan air, lalu diikat dengan tali dan lakban.
Itu adalah Amber, sumber dari segala malapetaka ini. Sebongkah objek biologis purba yang menyimpan DNA dan spora Plaga. Dan sekarang, Rian sedang mempererat isolasi Amber.
Menurut spekulasi para penggemar, Plaga diduga berasal dari spora yang dipancarkan oleh Amber.
Dugaan ini semakin kuat ketika Saddler berhasil mengakses reruntuhan gua kuno Plaga disegel, berkat bantuan tim penggali, hasil manipulasi Saddler pada Salazar.
Awalnya, Saddler hanya berharap menemukan sisa-sisa fosil atau bangkai. Namun mereka justru dikejutkan oleh fakta bahwa, bertahun-tahun kemudian, para penggali ternyata terpapar oleh spora dan mulai menunjukkan gejala aneh.
Hingga akhirnya diketahui bahwa spora itu telah beregenerasi menjadi Plaga dewasa di dalam tubuh mereka.
Dari peristiwa itulah kesimpulan mengenai asal-usul Plaga mulai terbentuk.
Untuk Amber sebesar ini Rian dapatkan sebelum mereka mencapai lab penelitian Luis dari sebuah gudang yang ternyata merupakan tempat penyimpanan seluruh Amber hasil tambang. Bahkan, Luis tidak menyangka hal itu.
Tak lama setelah Rian mengambil sampel Amber dalam jumlah besar, Sadler dan Krauser muncul bersama beberapa Ganado untuk menghadang mereka.
Namun, Rian sudah menduganya lebih dulu lewat Six Eyes, dan di dalam kepalanya ia telah mensimulasikan beberapa skenario penghindaran terbaik.
Alhasil, Rian, Luis, Leon, dan Ashley berhasil melarikan diri setelah sempat menembaki Sadler. Rian bahkan sempat menancapkan Sadler ke dinding, meski tidak cukup untuk membunuhnya, setidaknya itu memberi mereka waktu untuk kabur.
Namun di sisi lain, mereka akhirnya dikejar oleh Krauser.
Krauser bukanlah lawan yang mudah dihindari, bukan karena Rian tidak mampu melawan, melainkan karena prioritas utama mereka adalah menjaga keselamatan Ashley. Luis dan Leon setuju dengan keputusan Rian.
Leon pun memutuskan untuk menghadapi Krauser dalam duel satu lawan satu. Krauser menyetujui tantangan itu, memberikan jalan bagi Rian dan Luis membawa Ashley menuju laboratorium.
Kini, selain melakuan prosedur operasi untuk Ashley menggunakan mesin terapi radiasi yang memaparkan sinar UV, mereka juga menunggu kedatangan Leon di lab penelitian Luis.
Tatapan Rian tenang, namun Six Eyes dari balik kacamata hitam berkilat pelan. Tanpa melirik, Six Eyes Rian dapat memantau Plaga dari tubuh Ashley mempelajarinya dan tanpa berkata apa-apa.
Suara mesin tiba-tiba meninggi, Luis menegang. “¡Vamos! Jangan mati sekarang…” desis Luis.
Ashley kembali menggeliat, tubuhnya menegang sekali lagi… lalu perlahan melonggar. Detik berikutnya, grafik pada layar monitor menurun drastis, dan Plaga hancur sepenuhnya.
Luis menghela napas panjang, menghampiri dan meletakkan tangannya di dahi Ashley untuk memeriksa suhu tubuhnya.
“Plaga… sudah mati.”
"Haaah, haaah..." helaan nafas memburu Ashley terdengar jelas, memenuhi ruangan.
Selanjutnya Ashley terdiam, napasnya mulai kembali teratur. Tubuhnya masih lemah, namun wajahnya tak lagi menegang dalam kesakitan. Perlahan, matanya terbuka, menatap buram ke arah langit-langit, sebelum akhirnya Ashley kehilangan kesadaran.
Di pojok ruangan, Rian berdiri perlahan, kemudian menyimpan Amber didalam salah satu tas pinggangnya.
Dengan suara datar namun jelas, Rian berkata tanpa menoleh, “Satu nyawa diselamatkan, malapetaka digagalkan. Hari yang lumayan.”
Luis menoleh perlahan, senyum lelah tergurat di wajahnya. “Masih belum selesai, Amigo… Tapi setidaknya, kita bisa bernafas lega."
Namun sejurus kemudian, senyuman itu memudar. Alis Luis mengerut kekhawatiran.
“Leon... Belum sampai ke sini," ujar Luis dengan nada berat, "Aku harap dia menang melawan Krauser… dan Plaga di tubuhnya masih bisa dihancurkan.”
Rian tidak langsung menjawab. Ia menoleh sedikit ke arah lorong gelap di sisi timur ruangan, lalu tersenyum tipis. Matanya yang tersembunyi di balik kacamata hitam berkedip samar, Six Eyes-nya menangkap siluet mendekat dari kejauhan.
Namun Rian memilih menahan komentarnya yang tadi, dan hanya berkata dengan nada tenang namun berat: "Benar... aku cuma berharap laki-laki dengan wajah galau abadi itu bisa sampai ke tempat ini dalam keadaan utuh."
Rian memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan sorot tajam. "Tapi Luis, jangan remehkan agent spesial itu. Dia survivor Raccoon City, bukan pria biasa."
Luis mendengus pelan, mengangkat alis dengan senyum tipis. Tapi Rian belum selesai.
“Laki-laki tampan ini tahu… Leon bukan hanya pernah menghadapi B.O.W. sekali, dua kali. Dia sudah hidup lebih lama dari kebanyakan orang dalam medan seperti ini.”
Luis tertawa pendek, tapi tidak seperti biasanya, kali ini terdengar jujur, dan sedikit pahit. “Aku setuju, Amigo. Seharusnya Leon tidak aku anggap remeh.”
Ia menarik napas dalam, kemudian menatap layar monitor singkat sebelum bergumam, “Kemampuannya… meski tubuhnya seperti itu…”
Luis terdiam sejenak.
Dengan pandangan mata melayang ke dinding seolah mencari kenangan yang samar, Luis berkata, “…Dia luar biasa, apalagi untuk seseorang yang tidak pernah disuntik modifikasi biologi.”
Dan seakan menjawab harapan mereka, pintu laboratorium terbuka.
Suara langkah berat terdengar menggema, menyeret, namun penuh tekad. Leon berdiri di ambang pintu, tubuhnya terhuyung. Satu tangannya menekan sisi perut, sementara napasnya memburu.
Kulitnya pucat. Sklera matanya memerah seperti darah membeku di balik bola mata. Urat-urat berwarna ungu gelap menyebar dari leher hingga ke ujung lengan, tanda jelas Plaga telah hampir sepenuhnya mengambil alih.
Namun, tatapan Leon tetap sama, dingin, penuh perlawanan.
Dia belum menyerah. Belum.
Luis menatapnya dengan mata melebar, lalu buru-buru bergerak menghampiri Leon.
Begitu sampai, Luis segera melangkah cepat dan menangkap tubuh Leon yang limbung.
"Leon..." desisnya, menahan beban pria itu di bahunya. "Ini sudah gawat... Ayo, aku bantu."
Leon hanya mengangguk lemah, langkahnya berat, napas terputus-putus.
Di sisi lain, Rian berjalan tenang menuju ranjang tempat Ashley sebelumnya berbaring. Ia menunduk, lalu dengan lembut mengangkat gadis itu dalam pelukan gaya princess carry. Napas Ashley tenang meski tubuhnya masih lemas, tak sadarkan diri.
Kasur pasien itu sekarang kosong, dan akan segera digunakan kembali.
"…Ashley," gumam Leon, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa… terapi… berhasil?"
Matanya yang buram mencoba mencari gadis itu dan akhirnya tertuju pada sosok Rian yang berdiri dengan tenang, menggendong Ashley.
Rian menatap Leon dengan senyum tipis penuh percaya diri.
"Berhasil dengan sukses," jawab Rian dengan ringan. "Selama ada laki-laki tampan ini, semua akan baik-baik saja."
Luis terkekeh sambil mengatur posisi Leon ke arah ranjang.
"Ya, begitulah," katanya, lalu menambahkan dengan nada menggoda, "terlepas dari semua dialog absurd Sir Tristan di sana, Plaga di tubuh Princess sudah musnah."
Leon mendengar itu. Untuk pertama kalinya, wajahnya sedikit mengendur. Pandangannya kembali ke arah Ashley: tenang, damai dan nanapasnya berat… tapi lega.
Tubuh Leon limbung, seluruh ketegangan dalam dirinya akhirnya runtuh. Luis segera membaringkan Leon ke tempat tidur pasien, bersiap untuk memulai prosedur berikutnya.
Luis segera bergegas ke monitor di dekat ranjang pasien. Di layar, citra sinar-X memunculkan sosok mengerikan: Plaga di dalam tubuh Leon telah tumbuh dewasa.
Luis menyipitkan mata, membaca grafik detak jantung, lalu tersenyum tipis.
"Meski sudah menyerang saraf, tapi masih bisa kita hancurkan..." gumam Luis.
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?