NovelToon NovelToon
DUDA LEBIH MENGGODA

DUDA LEBIH MENGGODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Monica

:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."

"Ngelunjak!"

Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20

Langit Bandung kelabu saat mobil yang ditumpangi Teddy, Monica, dan Adrian memasuki gerbang rumah sakit tua di Dago Atas. Suasana terasa asing, meski udara pegunungan seharusnya menenangkan. Teddy mengamati bangunan itu—lusuh, namun kokoh. Di sinilah, kata Adrian, Dr. Bram menghilang dari dunia publik.

"Dia nggak mudah diajak bicara," ujar Adrian sambil mematikan mesin mobil. "Tapi dia kunci dari semua ini."

Monica mengangguk, "Kalau dia terlibat, kita harus buat dia bicara. Apapun caranya."

Mereka bertiga masuk ke ruang administrasi, lalu diarahkan ke bagian rehabilitasi neurologi. Seorang perawat muda menatap mereka heran saat mereka menyebut nama Dr. Bram.

"Beliau sudah nggak praktek umum," ujarnya ragu, "Tapi... tunggu sebentar."

Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu. Wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya, dengan rambut sebagian memutih dan sorot mata lelah. Tapi Teddy mengenali sosok itu—dr. Bram Santosa, mantan direktur operasional yayasan.

"Aku tahu kalian akan datang," ucap Bram datar, "Masuk."

Di ruang kantornya yang sempit, Bram duduk sambil memainkan pulpen di antara jari-jarinya. Ia tidak terlihat gugup, tapi juga tidak sepenuhnya tenang.

"Kalian mau apa?" tanyanya.

Adrian meletakkan flashdisk di meja, "Kebenaran."

Bram tertawa pendek, "Kebenaran nggak cukup. Kebenaran butuh perlindungan. Dan aku kehilangan itu sejak Nadira mati."

Monica maju, nada bicaranya tenang tapi tegas, "Kami tahu kamu bukan dalang. Tapi kamu tahu siapa yang menggerakkan semuanya. Dan kamu pegang data."

"Kenapa aku harus percaya sama kalian?" tanya Bram.

"Karena kalau kamu diam, kamu akan tetap jadi bagian dari mereka. Dan Nadira mati sia-sia," jawab Teddy tajam.

Sebuah keheningan panjang mengisi ruangan. Bram memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu berdiri dan membuka brankas kecil di balik rak buku. Ia mengeluarkan hard disk.

"Ini backup dari seluruh sistem keuangan yayasan tiga tahun terakhir. Termasuk rekening luar negeri, nama penyumbang fiktif, dan catatan internal Raline."

Ia meletakkannya di tangan Monica.

"Kalau aku menghilang lagi setelah ini, anggap saja ini pengakuanku."

Tapi saat mereka keluar dari rumah sakit, udara dingin pegunungan terasa jauh lebih menusuk. Di seberang jalan, Teddy melihat seseorang berdiri di balik kaca mobil hitam, menatap ke arah mereka.

Monica menggenggam lengan Teddy, "Kita diawasi."

Teddy mengangguk pelan, "Dan itu berarti... mereka tahu kita sudah terlalu dekat dengan kebenaran."

Langit mulai gelap saat mobil yang dikemudikan Adrian melaju keluar dari Dago, menuruni jalan berliku menuju tol. Monica duduk di kursi penumpang depan, menggenggam hard disk erat. Di belakang, Teddy memandangi mobil SUV hitam yang terus menjaga jarak.

"Mereka ngikutin dari tadi," gumamnya.

Adrian mengangguk, "Udah gue perhatiin sejak kita keluar parkiran."

"Kita nggak bisa langsung ke Jakarta," ujar Monica cepat. "Kalau mereka tahu kita bawa data ini, bisa-bisa kita nggak pernah sampai."

Teddy menatap ke depan, "Ambil jalan keluar sebelum tol. Kita harus cari tempat aman, transfer data ini dulu. Minimal backup ke cloud."

Beberapa menit kemudian, mereka menepi di warung kopi kecil di pinggiran Lembang yang sepi. Sinyal internet lemah, tapi cukup untuk mengakses jaringan. Monica membuka laptop dan menyambungkan hard disk.

Folder demi folder terbuka—jumlahnya ratusan. Data keuangan dalam mata uang asing, nama-nama yang terhubung ke rekening gelap, dan dokumen internal yang menunjukkan manipulasi angka dalam laporan donasi tahunan.

"Ini lebih dari cukup buat membongkar semuanya," kata Monica pelan.

Teddy mendekat, "Kirim ke tiga alamat email terpisah. Satu ke Mbak Tari. Satu ke kontak investigasi KPK. Satu lagi... kirim ke dirimu sendiri. Enkripsi pakai sandi yang cuma kita bertiga tahu."

Monica mengangguk, tangannya mulai bekerja.

Tapi dari kejauhan, suara mesin terdengar. Mobil SUV yang tadi mengikuti mereka kini melaju pelan, berhenti di seberang jalan. Dua pria keluar. Salah satunya mengenakan jaket kulit, tangan dimasukkan ke saku.

Adrian menutup laptop Monica dengan cepat, "Masuk mobil. Sekarang."

Mereka bertiga bergerak cepat. Teddy sempat menoleh, memastikan kedua pria itu belum mendekat, sebelum akhirnya ikut masuk ke mobil. Adrian memutar balik arah, ban berdecit di atas aspal basah.

Satu pria mengangkat walkie-talkie, "Target bergerak. Kita lanjut ekor."

Mereka berpacu keluar dari jalan kecil menuju jalur alternatif. Monica melirik layar ponselnya—upload data sudah mencapai 76%.

"Jangan sampai kita kehilangan sinyal sebelum ini selesai," desisnya.

Tiba-tiba, dari tikungan, satu mobil lain muncul—mengadang jalur depan.

"Jebakan," seru Adrian.

Teddy menarik rem tangan, dan mobil berputar tajam. Mereka kembali ke arah semula, memotong jalan kecil menuju permukiman.

Monica menggenggam kursi depan, napasnya berat, "Waktu kita nggak banyak."

"Upload selesai!" serunya beberapa detik kemudian.

Teddy menoleh, "Sekarang kita bisa bertarung."

Sementara itu, di Jakarta, Raline menerima panggilan telepon dari salah satu ‘operator’-nya.

"Mereka sudah dapat backup data. Dan sedang kirim ke luar."

Raline terdiam sejenak, lalu melirik layar TV yang sedang menyiarkan ulang wawancara dirinya dari seminggu lalu. Wajahnya tampak tenang di layar, tapi matanya kini bergetar.

"Kalau mereka sudah sampai di titik itu," katanya pelan, "kita hentikan permainan ini dengan cara paling bersih."

"Bersih, maksudnya?"

"Jadikan mereka kriminal. Bikin mereka terlihat seperti pemalsu. Dan pastikan publik lebih takut pada mereka... daripada pada kebenaran."

1
Wien Ibunya Fathur
ceritanya bagus tapi kok sepi sih
Monica: makasih udah komen kak
total 1 replies
Monica Pratiwi
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!