Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silat dan Para Perundung
Malam itu, mencoba minta izin pada Papa agar bisa mengikuti ekstrakurikuler pencak silat. Tentu saja, beliau mengizinkannya, selama tidak mengganggu pelajaran. Geng enggak jelas itu lebih mengganggu pelajaran sih.
Hari Sabtu tepat pukul setengah 8, aku datang dan bergabung dengan murid-murid dari ekstrakurikuler pencak silat. Hari pertama latihan, rasanya sulit menyesuaikan gerakan. Tidak boleh menyerah tentunya, ini baru awal bukan?
Sesudah latihan, guru silat berkata, “Silat bukan sarana untuk berkelahi atau menjadi jagoan, justru di sini kita diajarkan untuk menghindari perkelahian.”
“Lalu bagaimana jika dipukul?” tanya seorang murid.
“Jika dipukul sekali maka balas pukul dua kali. Dipukul dua kali, balas pukul empat kali. Dipukul tiga kali, tendang satu kali, yang pasti kita jangan memulainya, itu saja,” kata kakak bersabuk merah yang menjadi guru silat kami. Beliau masih terlihat muda.
Salam penutup mengakhiri latihan pertama ini. Meski singkat, menyempatkan diri untuk mulai berkenalan dengan beberapa murid dari ekstrakurikuler pencak silat ini. Hiban, dia teman pertama di sini. Disusul dengan mengenal kakak senior yang ternyata sekolah di SMP yang sama denganku. Mulai sekarang harus latihan rutin, tidak boleh bolos.
Suatu hari di kelas, para sampah: Erik, Gon, Samur, Ewan, serta berandalan lain datang mengganggu lagi. Kirain mereka kapok karena kejadian beberapa hari yang lalu.
Mereka justru bertingkah makin keterlaluan. Kali ini, mereka menyuruh membelikan makanan di kantin, yang paling aku benci adalah mereka menyuruh saat sudah masuk jam pelajaran.
Tentu awalnya menolak tapi mereka terus mengganggu selama jam pelajaran berlangsung. Memukul punggung, menendang bangku dan meja, menjitak kepala, sambil terus-menerus menyodorkan uang untuk beli makanan di kantin dengan maksud agar aku segera membelikannya.
Tangan ini sudah geram, ingin memukul mereka semua tapi tidak bisa memulai perkelahian, lagi pula diri ini masih baru belajar silat, tidak mungkin langsung bisa melawan mereka.
Akhirnya harus menuruti keinginan mereka walaupun Deco menyuruh untuk tidak usah pedulikan mereka tapi jika seperti ini terus, sulit banget untuk bisa mengikuti pelajaran dengan tenang. Pergi, meminta izin ke guru dengan alasan mau ke toilet.
Setelah berhasil, harus lewat jalan rahasia menuju kantin agar tidak ketahuan guru karena kelasku berhadapan dengan jalan menuju kantin. Harus mengambil jalan memutar arah. Lewat belakang kelas, tembus melewati kelas anak SD, hingga akhirnya sampai juga di kantin. Sesampainya di kantin langsung saja mencari makanan-makanan pesanan para makhluk yang lebih buruk dari binatang itu.
Lidi-lidian, cimol, air mineral gelas, serta molen, setelah selesai mendapatkan semua, langsung saja disembunyikan di kantong celana, sebagian ada yang di dalam seragam sekolah, tepatnya di antara kaus kutang dan baju seragam dengan maksud agar tidak ketahuan guru.
Bergegas kembali ke kelas dengan berlari. Takut dicari guru karena tadi izinnya hanya ke toilet. Sudah lima menit di luar kelas, harus lebih cepat berlari. Akhirnya sampai juga, selamat kali ini, gurunya sedang ke luar kelas.
Dengan malas memberikan pesanan dari manusia-manusia terkutuk itu secepatnya. Lalu kembali duduk, tiba-tiba guru matematika yang bernama Pak Roni datang.
“Valda kamu ke mana saja tadi?” tanya Pak Roni.
Gawat apa aku ketahuan tadi ke kantin?
“Val, kok diam?” tanya Pak Roni lagi.
“Eh, iya Pak, tadi saya ke toilet SD, saya lagi buang air besar. Soalnya di toilet belakang, pintu toilet bagian atas semuanya kebuka. Saya tidak tenang buang air besar di situ Pak,” jawabku.
“Oh iya iya, Bapak mengerti,” jawab Pak Roni sambil tertawa kecil.
Beberapa teman tertawa mendengarnya. Tumben Pak Roni bisa tertawa. Baru banget melihatnya seperti itu. Ini semua gara-gara mereka, para geng terkutuk. Jadilah aku berbohong. Tidak bisa dibiarkan, tidak mau disuruh lagi.
Semakin serius untuk berlatih silat, hingga menjelang ujian kenaikan kelas. Saat itu terpaksa tidak latihan sementara karena libur. Sial, masih sedikit sekali jurus yang aku tahu, meski begitu tubuh ini terasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya.
Setiap dua kali seminggu dilatih dengan beberapa latihan fisik seperti lari, memukul, menendang, push up, sit up, back up, dan lain-lain. Badan jauh lebih fit dan sepertinya sedikit demi sedikit berhasil mengatasi binatang-binatang yang ada di kelas.
Dengan bangga, mulai bisa menolak jika disuruh-suruh, entah kebetulan atau tidak tapi rasanya kelas satu akan berakhir dengan lancar. Pernah sekali menolak untuk membelikan molen di kantin, saat itu aku sedang sibuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikan saat itu juga.
Tidak menyangka aku sudah berani membentak, dengan menendang kursi yang berada di hadapan. Ini sedikit melanggar peraturan dunia persilatan, karena jujur cukup termakan emosi, tapi sudahlah lagi pula diri ini tidak memukulnya. Terlalu sibuk untuk mencari gara-gara.
Saat istirahat juga tidak diam di kelas, lebih baik pergi ke kantin. Biasanya bersama Hiban, Deco, serta Frisly, agar tidak menjadi bulan-bulanan binatang-binatang berandalan di kelas.
Mungkin aku sering diganggu karena terlihat pendiam, sehingga mudah menjadi sasaran empuk binatang-binatang berandalan yang sok jagoan itu. Selama sebulan ini, mereka seperti hilang dari peredaran, mereka sudah tidak mengganggu lagi.
Aku rasa binatang-binatang berandalan itu lenyap atau sembunyi, setiap istirahat mereka pergi, mungkin membuat onar di tempat lain. Apa itu tandanya aku bisa tenang di kelas dua SMP nanti? Semoga saja.
Ujian kenaikan kelas pun selesai, rencananya setelah ini mau langsung mengikuti latihan lagi. Hari Selasa dan Kamis aku datang ke sekolah, tidak sesuai harapan, tidak ada yang latihan pencak silat saat itu.
Hari Sabtu kembali lagi untuk latihan, tapi hasilnya sama saja, tidak ada yang latihan. Akhirnya pulang lagi. Hari Seninnya, sebenarnya hanya ada class meeting, tapi aku sempatkan untuk datang ke sekolah menanyakan kapan latihan pencak silat dimulai kembali.
Akhirnya bertemu dengan Hiban, dia bilang latihan dimulai besok, dan katanya besok ada latihan serta persiapan untuk ujian kenaikan tingkat. Keesokan harinya, entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuh ini terasa susah untuk bergerak, lemas, dan hanya ingin tidur.
Dengan amat terpaksa, lagi-lagi tidak ikut latihan hari ini. Hari Sabtunya, saat berniat ingin latihan, dapat kabar latihan hari ini bukan di sekolah kami melainkan di SMP yang berbeda.
Ketinggalan lagi, informasi itu diberi tahu hari Selasa kemarin saat tidak ikut latihan. Entah apa yang merasuki hati saat itu, rasanya malas latihan lagi. Aku memutuskan untuk berhenti latihan silat.
Sekarang sudah berada di kelas dua. Sepertinya murid di sini banyak yang asing, hanya beberapa orang yang kutahu, itu juga tidak begitu kenal.
Sifat pendiam dan tertutup ini terbilang akut, sampai teman kelas satu SMP yang selama setahun bersama, tidak begitu aku kenal. Bagaimana pula dengan kelas lain yang tidak pernah ketemu sama sekali? Hari pertama di kelas dua dimulai, aku masuk kelas F.
Sepertinya sih tidak ada keganjilan di awal masuk kelas dua. Hingga selang beberapa minggu, mulailah mengenal satu sama lain, ternyata ada dua murid di kelas yang tidak jauh beda dengan di kelas satu. Hanya beda nama saja, kali ini nama binatangnya: Geder dan Rahmas. Geder dengan badan agak tinggi, sedangkan Rahmas yang badannya pendek. Mereka masih satu geng dengan kelompok berandalan sebelumnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...