Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Twenty
Pagi itu,
Ada yang berbeda.
Semua menatap Kara sinis.
Dari atas ke bawah, ke atas lagi ke bawah lagi.
Sampai Kara bolak-balik memeriksa penampilan-nya di kaca dan jendela yang membiaskan bayangannya.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan penampilannya.
Ia balas menatap ke salah satu karyawan yang sedang memperhatikannya.
“Apa?” tanya Kara sedikit menantang.
“Jual diri demi jabatan ya. Alasan basi.” Sahut si karyawan itu. Bahkan Kara tidak mengenalnya.
Dan dia pun bengong.
Karyawan itu meninggalkannya dan diiringi dengan kekehan teman-temannya yang juga menatap Kara dengan sinis.
“Waduuuh, ini pasti gara-gara Tante Cat kemarin nih.” Kara menggelengkan kepalanya.
Ini bukan pertama kalinya dia di-sinisin orang-orang seantero wilayah.
Ini yang ketiga... atau keempat ya?
Terakhir pas dia diangkat jadi kartab padahal belum lulus kuliah, dia malah dijudge orang-orang menjual dirinya ke setan alias pakai susuk.
Tapi bukan pandangan orang-orang ini yang membuatnya takut.
Tapi... Puspa dan Eris.
Karena Puspa waktu dulu itu memusuhinya, dan mulai termakan hasutan orang lain. Si Puspa itu memang orangnya sensitif. Mereka juga menuduhnya memakai susuk, atau penglaris, atau bahkan pesugihan. Sementara Eris adem anyem karena alasannya dia tidak melihat hawa buruk di Kara. Jadi Eris malah tidak percaya hasutan orang-orang dan tetap mendekati Kara.
Kara memang diangkat duluan jadi Kartab, Karyawan Tetap, karena menurut Bu Gita kalau langsung bertiga sekaligus malah akan menarik perhatian. Apalagi kinerja Puspa dan Eris tidak sebaik Kara.
Untuk mengangkat Puspa danEris jadi Karyawan tetap, mereka harus mendapatkan kuota tertentu dari penjualan produksi. Dan karena Kara risih didiamkan oleh Puspa terus menerus, jadilah ia dari pagi ke pagi lagi sampai menginap di kantor mengerjakan pekerjaan Puspa dan Eris sekaligus.
Paginya terkapar di ruangan Bu Gita karena dehidrasi.
Hal itu berlangsung selama seminggu sampai Bu Gita harus merogoh koceknya sendiri untuk Kara infus vitamin.
Hasilnya, berkat Kara, Puspa dan Eris diangkat jadi karyawan tetap.
Dan saat tahu Puspa terus mendiamkan Kara, Bu Gita barulah bicara “Kenapa kamu jadi sahabatnya Kara sudah lama, tapi perasaan kamu tidak sensitif sih? Memangnya mudah kalian jadi kartab dengan kemampuan pas-pasan?! Seharusnya kamu berpikir dong Puspa, kenapa kamu bisa diangkat. Seingat kamu, kuota penjualan yang kamu sudah kerjakan itu berapa heh? Kepikiran nggak, kenapa bisa melejit? Siapa yang mengerjakan pekerjaan kamu selama ini hah? Coba kamu pikirkan baik-baik.”
Dan jawaban Puspa sungguh di luar dugaan.
“Kara. Saya tahu. Dia memang begitu. Sok Pahlawan. Padahal saya tidak minta. Selama ini saya mendiamkannya karena saya harus fokus ke pekerjaan saya, meneliti apa yang salah. Saya tidak mau terpengaruh sehingga saya malah tidak bisa menilai kemampuan saya sendiri. Selalu melihat ke atas itu lama-lama bikin saya capek, dan Kara itu ada di atas. Buat apa dia mengerjakan pekerjaan saya? Jadi saya ini Kartab KW dong bu? Saya ingin status saya dicabut kembali, bukannya tidak berterima kasih ya bu. Tapi perlakuan Kara terhadap saya, malah membuat saya merasa tidak dipercaya.”
Kara bengong mendengarnya.
Eris hanya senyum-senyum karena sudah tahu. Kalau dia sih tak masalah karena sudah tahu. Mau diangkat mau tidak, dia tetap bekerja sekemampuannya.
Bu Gita yang pijat-pijat jidat, hanya menggelengkan kepalanya.
“Itu namanya kamu tidak profesional, Puspa. Sebuah pekerjaan tidak seharusnya dinilai berdasarkan perasaan. Tapi pakai logika. Kalau kamu terlalu sensi, terlalu drama, kamu selamanya akan terperangkap di pikiran kamu sendiri. Justru kalau status kamu dicabut, perusahaan akan menilai kamu tidak konsisten. Kamu sudah jadi kartab, kamu malah ingin dicabut jadi internship lagi, terus kamu berusaha lagi, dan berikutnya kamu minta diangkat lagi. Kamu pikir kami hanya tandatangan terus kamu otomatis jadi kartab? Tidak, Puspa. Prosesnya panjang pertimbangannya harus matang! Dari awal plin-plan sendiri, tidak akan ada kesempatan kedua. Yang ada kamu malah akan dipecat. Orang seperti kalian , orang seperti kita, bisa dicari dimana saja. Dengan bayaran lebih murah, dan kemampuan sama persis, No. drama-drama. Nggak usah jual mahal, kamu yang rugi.”
Saat itu kondisi mereka bertiga, Puspa, Kara dan Eris dalam ketegangan.
Bu Gita yang memang sudah lama bekerja dan mengerti kondisi dalam perusahaan hanya bisa memaklumi.
Dia sudah pernah memperingatkan Kara, kalau tidak selamanya Kara akan dihargai karena membatu orang lain.
Di dalam perusahaan, dimana sifat orang beda-beda, orang yang kamu kenali sejak lama bisa saja berubah perangainya karena tekanan pekerjaan.
Karena ini masalah perut.
Masalah uang.
Uang bisa mengubah watak seseorang
Kelaparan bisa membuat manusia jadi pembunuh.
Dan sebuah pekerjaan, akan menghasilkan uang.
“Puspa, gunakan kesempatan yang sudah dihasilkan Kara untuk kamu manfaatkan sebaik-baiknya. Tidak usah merasa berhutang budi karena kara melakukannya tanpa pamrih. Kara juga harus konsekwen seperti yang sudah saya peringatkan dari awal ya Kara, kalau kamu melakukan semuanya dengan risiko yang harus kamu tanggung sendiri karena tidak ada yang memintamu. Benar?” Bu Gita menatap Kara yang sedang merengut.
“Benar bu. Saya hanya ingin Puspa dan Eris diangkat seperti saya. Tapi kini terserah mereka.”
“Yang mana pun, perusahaan tetap untung. Kalau saya kapitalis, saya tak akan peduli pertemanan kalian. Kalian bertiga ini hanya pion. Saya tidak butuh, saya repot, saya tendang.”
Namun, Puspa menangis saat itu.
Membuat Bu Gita menarik nafas panjang.
“Akui saja Puspa, kamu senang Kara membantumu. Kamu bisa bantu dia lain kali kalau kamu berasa berhutang budi.”
“Hukk...” terdengar isakan Puspa. “Brengsek bener lo Ra, udah tahu mau nikahan, bukannya diem di rumah malah nginep di kantor ngerjain produk atas nama gue! Gila apa lo?!” seru Puspa.
“Puspaaaa!!” Kara langsung lari dan memeluk Puspa. “Pleaaase maafin gue, nggak lagi-lagi gue begini!”
“Dahlah habis ini mendingan lo pisah divisi dari gue, bosen gue bareng lo melulu!!” seru Puspa.
Dan malam itu dihiasi dengan tangisan terharu mereka.
“Kamu nggak ikutan peluk-pelukan?” Tanya Bu Gita ke Eris.
“Nggak ah Bu, panas begini peluk-pelukan, mending saya masuk ke dalam lagi, ngadem.” Desis Eris cuek.
Dan begitulah masa lalu persahabatannya bersama Puspa dan Eris.
Yang membuat Kara deg-degan.
Semua menatapnya sinis pasti karena dugaan kalau Kara memiliki hubungan spesial dengan Pak Yudhis A.K.A Om Raka. Dan bahwa Kara bisa menjadi Personal Assistant karena hal itu juga.
Dia takut, Puspa akan termakan juga dengan-
“Heh, pe cun sini lo!” sebuah tangan melingkari lehernya dan langsung tanpa babibu menggeretnya ke arah samping gedung.
“Eeeekkk!” Kara sampai kesulitan bernafas karena cekikannya tanpa ampun.
ketahuan
udahhhh
gas.. dapat restu dr sahabat dan seng mantan gebetan
jutek, g senyum, ngomong asal2an. dari novel ini saya belajar cara bersikap, belajar bahasa2 gaul, singkatan gaul yg saya juga g paham bahasa anak muda sekarang.
keren bagus novelnya
buaaagusssss
Beraninya sm perempuan? di depan umum lagi? Waahhh kasus inih! 😠🤨🧐