Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.
Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.
Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Izara sakit
Hujan turun begitu deras sore itu. Jalanan basah, langit kelabu. Di bawah payung hitam besar, Kael berjalan di samping Izara, langkah mereka cepat namun tetap dalam diam. Setelah sampai di depan rumah, Kael menatapnya sebentar, lalu pergi tanpa sepatah kata.
Pintu terbuka perlahan.
“Izara, kau dari mana saja?” tanya Kai dengan nada khawatir. Matanya langsung menelusuri wajah gadis itu yang terlihat sedikit basah dan pucat.
“Maaf, Kak. Aku pergi tanpa izin,” ucap Izara pelan. “Tadi aku lihat Kak Kai sedang sibuk, jadi aku takut mengganggu.”
Kai menatapnya dengan lembut. “Tidak apa-apa, tapi lain kali beri tahu aku, ya. Aku jadi khawatir.”
“Iya, Kak. Maaf,” jawab Izara sambil menunduk.
Setelah itu, Izara masuk ke kamarnya. Ia duduk di atas tempat tidur dan menatap jendela. Hujan masih turun di luar.
Ia terdiam sejenak. Pikirannya kembali pada Kael.
Tadi Kael tidak berkata apa-apa, tapi ia memayungi Izara dan mengantar sampai depan rumah. Wajahnya tampak berbeda. Tidak dingin, tidak marah. Hanya diam… tapi terasa tenang.
“Sikapnya tadi... aneh,” bisik Izara. “Biasanya dia kasar, tapi hari ini tidak.”
Ia memeluk lututnya dan menatap lantai.
“Apa maksud semua ini?”
• • •
Kael berdiri diam di dalam kamarnya. Suasana ruangan begitu tenang. Hanya suara hujan di luar yang terdengar samar.
Pandangan Kael tertuju pada sebuah foto besar yang tergantung di dinding. Wajah perempuan dalam foto itu tersenyum lembut. Karina.
Ia menatap foto itu lama, seolah sedang berbicara lewat pikirannya.
"Sayang... maaf. Aku masih belum yakin dengan perasaanku," ucapnya pelan.
Kael menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak. Ia sendiri bingung dengan apa yang dirasakannya akhir-akhir ini.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu.
Tok… tok…
“Tuan, ini saya. Martez,” terdengar suara dari luar.
Kael tidak langsung menjawab. Ia masih menatap foto Karina beberapa detik, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu.
“Masuk,” ucapnya pelan.
Pintu terbuka perlahan. Martez masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah map berwarna cokelat di tangannya.
“Maaf mengganggu, Tuan,” ucapnya sambil menunduk sedikit.
Kael mengangguk pelan. “Ada kabar?”
Martez maju beberapa langkah dan menyerahkan map itu. “Ini hasil penyelidikan saya tentang Moreno, seperti yang Tuan minta.”
Kael mengambil map itu, membukanya perlahan. Beberapa lembar dokumen dan foto ada di dalamnya.
“Moreno punya banyak catatan tersembunyi. Beberapa tahun lalu, dia pernah terlibat kasus penggelapan dana yayasan anak, tapi kasus itu ditutup tiba-tiba.”
Kael menatap salah satu foto. Di sana terlihat Moreno sedang berbicara dengan seorang pria yang wajahnya tampak familiar.
“Siapa ini?” tanya Kael sambil menunjuk foto itu.
“Namanya Darlan. Mantan polisi. Sekarang bekerja sebagai pengaman pribadi Moreno.”
Kael menyipitkan mata. “Apa mereka punya hubungan dengan kasus lama... tentang Karina?
Martez terdiam sejenak, lalu menjawab hati-hati, “Saya belum menemukan bukti langsung. Tapi ada beberapa nama yang muncul kembali di dokumen lama dan dokumen Moreno sekarang. Termasuk nama pria itu… Darlan.”
Kael menutup map itu perlahan, wajahnya dingin tapi serius.
“Teruskan penyelidikannya. Jangan sampai ada yang tahu kita sedang mengawasi.”
“Baik, Tuan,” jawab Martez mantap. “Saya akan hati-hati.”
Sebelum keluar dari ruangan, Martez tampak ragu. Ia menoleh kembali ke arah Kael.
“Maaf, Tuan. Bagaimana dengan senjata yang dicuri oleh Pramana? Senjata itu kita perlukan untuk akses ke ***,” ucap Martez hati-hati.
Kael tidak langsung menjawab. Ia menatap kosong ke arah meja, lalu berkata pelan, “Aku akan cari cara lain. Sekarang, fokus saja pada Moreno dulu. Masalah senjata itu... biar aku yang pikirkan.”
“Baik, Tuan,” jawab Martez, lalu menunduk sedikit. Namun sebelum benar-benar pergi, ia kembali bicara.
“Oh iya, satu lagi... Ini adalah permintaan dari para pembeli yang sudah memberikan deposit. Tapi barangnya belum bisa kita kirim karena akses ke *** masih terkendala tanpa senjata itu.”
Martez meletakkan dokumen nya di atas meja.
Kael hanya melirik sekilas. “Baiklah, simpan saja di situ. Aku akan membacanya nanti.”
Wajahnya tampak lelah. Bahunya sedikit turun, dan matanya kembali tertuju pada foto Karina di dinding. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan.
Martez mengangguk pelan, lalu keluar.
• • •
Keesokan harinya.
Kael duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Matanya sembab karena kurang tidur, pikirannya masih dipenuhi laporan tentang Moreno dan senjata yang hilang.
Tiba-tiba, Kael terpikir tentang Izara. Wajah gadis itu muncul begitu saja di benaknya. Tanpa pikir panjang, ia segera mengambil kunci mobil dan melajukan kendaraannya menuju rumah Kai.
Sesampainya di sana, Kael tidak langsung turun. Ia hanya duduk diam di dalam mobil, memperhatikan halaman rumah dari kejauhan.
Pandangan matanya tertuju pada Izara, yang sedang menyiram tanaman di taman kecil samping rumah. Gadis itu tampak tenang, meski gerakannya lambat. Entah mengapa, hanya dengan melihatnya, Kael merasa sedikit tenang... sejenak.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Wajah Kael berubah cemas saat melihat Izara tiba-tiba berhenti menyiram. Tubuhnya goyah, dan tangannya terangkat memegang kepalanya.
Karena khawatir Kael turun dari mobil menghampirinya
"Izara," panggil nya.
Kael semakin panik, melihat wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya.
“Izara? Kau kenapa?”
"Aku tidak apa-apa, kau kenapa ada disini?" Izara berusaha untuk terlihat kuat tapi justru tubuhnya hampir saja terjatuh jika Kael tidak menahannya.
"Aku antar ke dokter sekarang. Ini sudah tidak bisa dibiarkan.”
Izara ingin menolak, tapi tubuhnya terlalu lemah.