Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Pelindung yang Perlahan Berubah
Lampu temaram menyala lembut di ruang tengah rumah. Rumi baru saja selesai membersihkan diri dan kini duduk di sofa, mengenakan piyama longgar. Rambutnya yang setengah basah digelung seadanya. Di tangannya, segelas susu hangat yang dibuat oleh Radit sendiri.
Dari dalam kamar, Radit muncul membawa bantal kecil dan selimut tipis, lalu duduk di sampingnya.
Ia berkata dengan lembut sambil menyodorkan sebuah bantal ke arah Rumi.
"Nih, buat sandaran perut kecil kamu. Katanya mulai suka pegel, ya?"
Rumi tersenyum kecil, matanya masih tampak sembab sisa tangis tadi siang. Ia menerima bantal itu dan menyandarkan tubuhnya pelan ke Radit.
"Makasih, ya, Mas. Berkat kamu juga, aku akhirnya bisa berdamai dengan Bapak."
Radit membelai lembut kepala Rumi. Tak lupa, ia meninggalkan satu kecupan lembut di sana. "Padahal pas kamu bilang mau ke rumah Bapak, aku udah was-was banget. Tapi kamu berani. Kamu kuat."
"Karena aku tahu, kamu nungguin aku pulang," jawab Rumi yang semakin menyandarkan kepalanya pada dada Radit. Tempat paling nyaman, yang tak akan pernah hilang.
Radit diam sejenak. Tatapannya jatuh pada perut Rumi yang masih datar. Tapi di baliknya, ada nyawa kecil yang kini jadi pusat dunianya.
"Rum, aku pikir, kamu sebaiknya berhenti kerja dulu. Fokus jaga kesehatan kamu dan anak kita."
Rumi tampak kaget, lalu menatap Radit dengan cepat. "Tapi pekerjaanku, aku suka ngajarin anak-anak, Mas."
“Iya, aku tau. Tapi ini tentang kamu dan bayi kita. Aku nggak akan tenang kalau kamu terus capek, stres, atau pulang pergi," jawab Radit dengan tenang, tapi ada ketegasan yang tak mampu dibantah.
"Jadi, Mas larang aku keluar rumah?" tanya Rumi dengan suara pelan.
Radit tersenyum lembut, menatap Rumi dengan penuh cinta. Tangannya yang kekar, membelai rambut Rumi secara perlahan.
"Bukan. Aku cuma pengen kamu lebih hati-hati. Aku jadi lebih takut kehilangan. Aku udah kehilangan banyak hal dalam hidup, Rum. Kamu dan anak ini, jangan sampai jadi salah satunya."
Rumi menatap Radit lama. Ada kelembutan dalam mata itu, juga ketegasan yang ia punya.
Alhasil, Rumi menganggukkan kepala.
"Baiklah. Aku istirahat dulu, sampai nanti benar-benar siap untuk mengajar kembali."
Radit menghela napas lega, lalu mencium kening Rumi dengan penuh sayang. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang perempuan terkuat yang pernah aku temui."
Dan malam itu, mereka hanya diam dalam pelukan. Tak ada suara kecuali detak jam dinding dan napas mereka yang tenang. Di luar sana mungkin ada badai. Tapi di rumah ini, ada cinta yang menguat.
...****************...
Rumi duduk di meja makan, mengenakan daster panjang dan mengikat rambutnya asal-asalan. Di depannya, piring berisi roti gandum, telur rebus, dan segelas susu. Di sisi lain meja, Radit tampak sibuk—bukan sarapan, tapi mengatur vitamin, mengecek suhu ruangan dengan remote AC, dan menyiapkan bantal di kursi.
"Nih, biar duduknya nyaman. Roti jangan lupa dikunyah 32 kali, ya. Telur jangan banyak garamnya, dan vitamin ini kamu minum abis makan."
Rumi terdiam, lalu menatap Radit yang tengah meletakkan bantal di belakang punggungnya dengan tatapan geli. "Mas yakin belum daftar sekolah bidan diam-diam?"
Radit tersenyum, tidak marah walaupun Rumi menyindirnya secara terang-terangan. Sambil menyuapkan telur ke mulut Rumi, ia menjawab, "Bidan nggak cukup, Sayang. Aku mau jadi satpam, perawat, bahkan CCTV hidup kamu."
"Mas, di rumah ini ada Bi Yani. Dia bisa jagain aku."
"Bi Yani nggak tahu kalau kamu suka lupa minum vitamin kalau lagi nonton drama. Bi Yani juga nggak bisa baca ekspresi wajah kamu kayak aku."
Rumi tertawa kecil, lalu mengusap tangan suaminya dengan penuh cinta.
"Terus gimana dengan kerjaan Mas? Dua hari ini selalu masuk agak siang."
Radit melihat jam, wajahnya berubah panik. "Astaga! Pagi ini aku meeting, Sayang. Nauval pasti udah kayak ayam kehilangan induk!"
...****************...
Ruangan CEO terlihat rapi. Nauval masuk sambil membawa berkas, lalu berhenti sejenak melihat Radit duduk di balik meja lagi video call sama Rumi.
"Napas kamu agak berat, deh. Kamu abis naik tangga, ya?"
"Enggak, aku cuma barusan narik bantal buat sandaran. Duh, Mas parno banget sih?"
"Aku kan nggak mau kamu kenapa-kenapa, Sayang. Begini saja, gimana kalau aku bikin lift di rumah?"
"Nggak usah berlebihan, deh, Mas. Mendingan Mas fokus kerja, ya. Cari uang yang banyak buat aku dan anak kita."
Nauval baru berani tertawa saat panggilan vidio itu dimatikan secara sepihak oleh Rumi. Wajah cemas Radit membuatnya tak kuasa menahan geli.
"Dit, kamu itu CEO atau suster pribadi, sih? Tiap aku masuk ruangan, suara istrimu doang yang kedengeran."
Radit menyimpan ponselnya dan tersenyum dengan bangga. "Suster pribadi. CEO bisa dicari, istri kayak Rumi? Cuma satu di dunia."
"Gile .... CEO nyambi jadi bidan. Jangan lupa, tuh, rapat jam dua. Jangan sampai kamu bawa stetoskop ke ruangan meeting."
Mereka tertawa bersama, meski Nauval tahu, sahabatnya sedang jatuh cinta begitu dalam pada kehidupan barunya. Dan mungkin, terlalu dalam.
...****************...
Rumi sedang duduk santai di ruang keluarga. TV menyala, tapi dia tak terlalu memperhatikan. Tangannya sibuk memainkan jari, gelisah. Tiba-tiba, suara bel rumah terdengar. Bi Yani membukakan pintu.
"Bu, sepertinya teman yang Ibu tunggu sudah datang."
Rumi tersenyum kecil. "Suruh masuk aja, Bi."
Novi masuk dengan gaya santai, mengenakan kemeja longgar dan jeans. Ia menyodorkan kantong buah ke Rumi.
"Kalau ibu hamil, katanya harus makan yang sehat-sehat. Aku bawa apel sama pir. Buah cinta dari sahabatmu yang kere ini."
Rumi tertawa singkat. Kedatangan Novi membawa kebahagiaan tersendiri untuknya. "Thanks, Nov. Duduk sini, dong."
Mereka duduk di sofa. Setelah basa-basi sebentar, Rumi akhirnya menghela napas panjang.
"Nov, Mas Radit makin hari makin ketat. Aku jalan ke dapur aja dia tanya, aku naik tangga dia langsung heboh. Bahkan aku buka jendela aja dia larang. Katanya takut aku masuk angin."
Novi tertawa ngakak sambil berkata, "Itu sih bukan masuk angin, Rum. Itu masuk ke mode 'suami panik'."
"Dia baik, aku tahu. Tapi, kadang aku jadi ngerasa kayak enggak punya ruang. Padahal di rumah juga ada Bi Yani, tapi dia tetap aja ngecek aku tiap sejam. Kayak CCTV portable."
Novi tak langsung menjawab. Ia menggigit apel yang dibawanya sendiri. "Ya iyalah. Namanya juga laki-laki yang baru tahu artinya sayang banget. Dia takut kehilangan kamu, Rum."
"Kadang aku ngerasa kasihan juga. Dia sampai susah kerja, dikata aku orang cacat apa gimana?"
"Ya udah, kamu kasih dia waktu buat adaptasi. Cowok itu biasanya panik duluan kalau pasangannya lagi hamil. Apalagi kayak Mas Radit, yang tadinya hidup sendiri, bebas, sekarang harus belajar jadi pelindung. Tenang aja, lama-lama juga dia bisa seimbangin."
Rumi tersenyum tipis, lalu bersandar di bahu Novi. "Untung ada kamu, Nov."
Novi tersenyum bangga. Tangannya mengusap bahu Rumi dengan penuh sayang. "Selama bukan Mas Radit yang bersandar di bahuku, aku oke aja, bestie."
Keduanya tertawa, hangat. Di luar rumah, langit mulai mendung. Tapi di dalam, Rumi sedikit lebih tenang. Karena tahu, ia tak sendiri.
Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Sisa buah di meja sudah tinggal beberapa. Rumi tampak lebih rileks, lalu menoleh ke arah Novi sambil mengerling jahil.
"Ngomong-ngomong, kamu belum cerita kelanjutan kamu sama Mas Nauval."
Novi mencoba cuek, pura-pura menatap ke arah luar. "Kelanjutan apaan sih? Biasa aja, Rum."
"Ya nggak mungkin biasa kalau matamu langsung ngelak ke jendela gitu. Ayolah, Nov, cerita!"
Novi tertawa gugup, pipinya memerah sedikit. Ia memainkan jari-jarinya, lalu menghela napas pendek.
"Hm, dia sempat bilang mau ngajak aku pacaran, sih."
Kedua mata Rumi membesar, bahkan cara duduknya pun langsung berubah. "Hah? Serius? Terus kamu jawab apa?"