Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Umar berdiri di depan cermin kamar mandi, tangan kanannya menggenggam ponsel dengan canggung. Napasnya tertahan saat menekan nomor Nay, berharap mendapat kabar baik pagi itu.
“Apa yang sedang Nay lakukan sekarang? Semoga dia baik-baik saja...” gumamnya pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel.
Suara Nay terdengar ceria, sedang bersiap berangkat ke yayasan tempat dia mengajar.
Waktu seakan melesat cepat, membuat Umar sedikit terkejut menyadari betapa padatnya hari-hari Nay. Di sudut hatinya, lega menyelinap saat tahu Laksmi masih menemani Nay di rumah sederhana itu.
“Setidaknya Nay nggak sendirian,” pikirnya, bibirnya mengerut tipis.
Tapi di balik rasa lega itu, benih cemburu tiba-tiba menjalar, membelit dadanya. Umar menghela napas dalam-dalam, berusaha mengusir perasaan itu demi kebahagiaan Nay. Dia tahu, saat ini bukan saatnya mengekang, tapi memberi ruang dan dukungan, tak hanya dari dirinya, tapi juga dari teman-teman terdekat Nay.
Umar menelan ludah pelan, napasnya terasa berat meski mencoba menenangkan diri.
“Ini bukan saatnya buat cemburu, aku harus dukung Nay, kasih dia yang terbaik,” pikirnya dalam hati, berusaha meredam kegelisahan yang tiba-tiba menyeruak.
Tangannya kembali sibuk menyusun dokumen di depan layar laptop, tapi matanya sesekali menatap ponsel yang tergeletak di samping. Dengan suara tenang tapi penuh harap, ia mengangkat telepon.
“Pagi nanti jam sepuluh, pesawat yang bakal aku tumpangi siap berangkat, Nay. Semoga siang ini aku sudah sampai Jakarta dan langsung ke yayasan,” ucapnya sambil membayangkan wajah istrinya yang dirindukan.
Ia tersenyum kecil, membayangkan reaksi Nay saat ibu mengirimkan oleh-oleh istimewa.
“Semoga perjalanan lancar, dan nggak ada kendala apa pun.” Dari seberang, suara Nay terdengar sedikit keberatan,
“Kenapa harus ke yayasan, Mas? Sore juga bisa ketemu di rumah.” Umar menarik napas dalam, menyimpan rasa rindu yang semakin menggumpal.
“Aku cuma pengen lihat langsung kamu di sana, Nay. Biar semuanya berjalan baik.” Hati Umar berdetak cepat, berharap waktu bisa melaju lebih cepat agar jarak di antara mereka segera terhapus.
Rasa rindu ini makin membuncah di dada Umar, hingga tangannya tanpa sadar mengepal kuat.
"Kenapa sih takdir begini?" gumamnya dengan suara serak, menatap kosong ke kejauhan.
Setiap langkah kecil yang dia lalui seakan sia-sia, seolah dinding yang memisahkan mereka semakin tebal dan dingin. Bibirnya menegang, senyum pun tak kunjung hadir, hanya kerutan pilu yang menandai kelelahan hati.
"Hidup ini memang kejam," bisiknya pelan, sesenggukan hampir menyeruak, tapi tekadnya tak goyah.
Meski kecewa berulang kali, Umar tahu, hatinya tak bisa berhenti berjuang demi cinta yang benar-benar ia yakini.
Umar menatap layar ponsel dengan tangan gemetar, meski Nay tak bisa melihatnya karena ini bukan videocall. Sebuah kecemasan merayapi dadanya setiap kali panggilan itu berlangsung. Dia sengaja menolak video call Nay, takut rahasianya terbongkar. Umar tahu, bila Nay melihatnya sekarang, ia pasti tahu dia tidak di rumah di Semarang, tapi di pondok pesantren Darul Huda, tepatnya di kawasan keluarga Citra.
Nafasnya tercekat, berharap Nay tak curiga sedikit pun. Namun, dalam diam ia bertanya, sampai kapan kebohongan ini harus ia pertahankan? Di seberang sana, suara Nay terdengar ringan, namun ada getar makna yang terselip.
"Ya sudah, terserah Mas saja deh. Salam buat Ibu Bapak, ya Mas," katanya, senyum yang terdengar hangat tapi penuh arti.
Nay menutup telepon dengan wajah lega, hatinya berdebar lega setelah akhirnya bisa mendengar suara Umar. Semalaman ia gelisah, tak berhenti mencoba menghubungi Umar yang entah kenapa sulit dijangkau. Meski ada sisa takut yang menjalari, ketenangan itu perlahan menguat, menenangkan jiwanya yang resah.
Nay menarik napas panjang, menatap ponsel di tangannya.
"Dia baik-baik saja, kan?" pikirnya, meski kepala penuh oleh tumpukan pertanyaan. Mengapa Umar begitu sulit dihubungi akhir-akhir ini? Apakah dia terlalu sibuk, ataukah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan? Raisa ingin menghubunginya lagi, tapi dia tahu, rasa cemas itu tak akan berujung.
Tiba-tiba ketukan pintu kamar mandi memecah lamunannya. Dari balik pintu, suara Umar terdengar menghentikan pembicaraan di telepon. Nay menggigit bibir, berusaha meredam gelisah. Kini, yang terpenting adalah ia sudah mendengar kabar darinya.
Sementara itu, di dapur, Umar memperhatikan Citra yang dengan cekatan menyiapkan sarapan. Tangannya yang kuat menggenggam gelas kopi, sesekali melirik perempuan itu dengan pandangan campur aduk. Hatinya berbisik pelan, menghargai perhatian Citra yang tak kenal lelah. Namun, di balik rasa syukur itu, bayangan Nay masih mengisi ruang kosong di dadanya.
Umar menatap Citra yang sedang sibuk merapikan meja makan dengan senyum lembut di bibirnya. Hatinya bergejolak, serasa ada dua dunia yang saling tarik menarik di dalam dadanya.
“Apa lagi yang bisa kuberikan selain perhatian dan kasih sayang seorang istri seperti Citra?” gumamnya pelan, namun segera terasa getir saat bayangan Nay hadir dalam benaknya.
Setiap kali melihat cara Citra memandangnya penuh kelembutan, Umar seperti tertusuk jarum halus, rasa bersalah menyelinap masuk. Tangannya terkepal di pangkuan, berusaha menahan gelombang emosi yang kian menyesakkan.
“Kenapa hati ini tetap saja ingin Nay? Padahal dia yang memberi kasih itu, bukan Citra...” bisiknya dalam diam.
Di ujung telepon, suara Nay masih melekat di telinga. Umar menghela napas, menutup mata, mengingat kata-katanya. Perasaan itu seolah menempel erat, tak bisa ia buang, walau setiap hari ia paksa menutupinya dengan pura-pura tulus.
“Ya Tuhan, bagaimana aku harus menghadapi dilema ini? Aku mencintai Citra, tapi karena itulah aku merasa tak layak bahagia,” Umar menggumam lirih, dadanya sesak, terperangkap dalam simpul cinta dan kesetiaan yang belum bisa ia urai.
Umar melangkah pelan, matanya kosong menatap hamparan langit pagi yang mulai terang. Di dalam dadanya, tanya-tanya itu berputar tak henti. Rasa bersalah seperti bayang kelabu yang tak mau pergi, bergantian dengan kerinduan yang begitu dalam pada Nay. Tangannya tak sadar mengelus rambut basah yang masih meneteskan tetesan, berusaha menutup rasa gelisah yang tak terjelaskan itu.
“Ayo, Mas. Ganti baju, kita sarapan sama Abah, Ummi, sama Bapak-Ibu kamu,” suara Citra datang dengan nada ceria, tapi Umar hanya mengangguk pelan, menyembunyikan kegamangan yang belum bisa ia bagi.
Malam pertama mereka, seharusnya penuh kebahagiaan, ternyata menyisakan keheningan berbeda, membekas di hatinya seperti luka kecil yang tak terlihat.
Dalam hati, Umar bertanya lagi, siapa yang seharusnya ia setia? Cinta pada Citra, atau bayang Nay yang selalu menghantui? Semua itu seolah labirin tak berujung, dan hanya waktu yang bisa memberinya petunjuk ke luar.
Umar melangkah keluar kamar dengan langkah berat, matanya sesekali menyipit menahan kegelisahan yang membuncah di dada.
“Apa yang aku lakukan ini benar-benar tepat?” batinnya, suara hati yang berputar tanpa henti. Beberapa saat tadi, Citra ikut berkeramas di kamar mandi, mungkin agar Abah dan Ummi tak berprasangka buruk padanya. Padahal, Umar yakin benar, dia tak pernah menyentuh Citra sedikit pun. Di antara mereka sudah ada kesepakatan untuk saling menghormati batas dan tidak terburu-buru menapaki rumah tangga yang baru mulai ini. Namun rasa ragu itu masih membayangi.
“Apakah ini yang seharusnya kami lakukan? Ataukah malah membuat keluarga kecewa?” gumam Umar dalam hati, sambil menatap meja sarapan yang sudah penuh. Citra tersenyum pelan ketika Umar berkata,
“Nanti aku langsung ke tempat kerja Nay. Kamu pulang saja ke rumah baru, ya. InsyaAllah malam ini aku datang ke sana.”
Kata-kata itu membuat Citra merasa lega dan senang, karena Umar akan tidur di rumah barunya malam nanti, memberi harapan kecil yang menghangatkan hati mereka berdua.
"Baiklah, mas! Tapi, mas nggak lupa kan alamat rumah baru kita?"
Citra menatap Umar dengan sorot mata yang sedikit waspada, seperti ingin memastikan jawaban itu bukan cuma basa-basi.
Umar tersenyum lembut, sedikit mengangguk sambil menjelaskan,
"Enggak, Citra. Abah sudah bilang, rumah itu deket sama kampus tempat aku ngajar."
Senyum itu membuat bahu Citra agak rileks, dan dadanya terasa agak lega. Dalam hati, tanya-tanya yang selama ini mengganjal perlahan-lahan mereda.
"Ah, jangan-jangan aku terlalu banyak curiga," pikirnya pelan.
"Mungkin memang dia peduli sama aku, bukan cuma kata-kata."
Citra menutup matanya sebentar, menghela napas panjang, membiarkan rasa cemas yang menempel perlahan menguap.
Dia menarik napas dalam-dalam, matanya menatap lurus ke jendela rumah baru itu. Suasana asing perlahan berubah jadi nyaman, terutama sejak Umar berdiri di sisinya. Sesekali dia melirik pria itu, terasa hangat dan aman seolah ada perisai tak terlihat yang terus menjaga dirinya.
"Kalau ada Umar, aku nggak takut," bisiknya pelan dalam hati, senyum kecil menghiasi wajahnya..