Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IALAH DALANGNYA
Setelah memeriksa Livia dengan teliti, Dokter Rita menarik napas pelan lalu memandang Mateo yang berdiri tidak jauh dari tempat tidur.
“Bisa kita bicara sebentar di luar, Tuan Mateo?”
Mateo menurut tanpa suara. Ia melangkah mengikuti dokter itu ke lorong yang sunyi. Setelah memastikan jarak cukup jauh dari kamar, Dokter Rita langsung menatapnya dengan serius.
“Saya sudah memeriksa Livia. Secara medis, kandungannya masih dalam keadaan stabil. Namun, saya harus jujur Livia sedang berada di kondisi yang sangat lelah, baik secara fisik maupun mental,” ujar dokter itu tegas.
Mateo hanya menatap lurus, rahangnya mengeras, namun ia tetap diam.
“Saya tidak akan bertanya lebih jauh tentang kehidupan pribadi kalian, tapi saya minta dengan sangat tolong jangan menyakiti dia, terutama dalam hubungan suami istri.”
Mateo menaikkan satu alis, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Wanita hamil di trimester pertama sangat rentan. Jika hubungan terlalu kasar atau emosinya terlalu tertekan, bukan hanya fisik Livia yang terdampak, tapi juga janin yang dikandungnya. Saya bukan hanya berbicara sebagai dokter, Tuan Mateo saya berbicara sebagai manusia yang peduli. Jika Anda terus seperti ini, risikonya bukan main-main.”
Mata Mateo sedikit menyipit, namun wajahnya tetap dingin.
“Saya akan kembali minggu depan untuk pemeriksaan lanjutan. Saya harap kondisi Livia jauh lebih baik saat itu.”
Tanpa menunggu jawaban, Dokter Rita berbalik dan melangkah pergi, menyisakan Mateo yang terdiam dengan pandangan kosong ke arah pintu kamar.
Untuk pertama kalinya, ucapan seseorang seperti menusuk ketenangan yang selalu ia banggakan.
Bukannya kembali ke kamar, Mateo justru melangkah turun ke ruang bawah tanah dengan langkah berat namun penuh amarah yang ditahan. Pikirannya kalut. Ucapan Dokter Rita masih menggema di kepalanya, tetapi rasa benci dan dendamnya pada Dion tak bisa diredam begitu saja.
Ketika pintu besi itu terbuka, bau lembap dan anyir menyambutnya. Lampu redup menggantung di langit-langit, memperlihatkan tubuh Dion yang terikat dan terbaring lemah di lantai dingin. Tubuhnya penuh luka, wajahnya lebam, dan napasnya satu-satu.
Frans dan Sebastian berdiri di pojok ruangan, menegakkan tubuh begitu Mateo masuk.
"Keluar," perintah Mateo pelan namun tajam. Tanpa banyak bicara, keduanya keluar, menutup pintu dari luar.
Mateo melangkah pelan, berhenti di depan Dion yang kini hanya bisa mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat pria itu.
“Kau masih hidup,” gumam Mateo dengan nada datar, nyaris dingin.
Dion hanya terbatuk pelan, darah menetes dari sudut bibirnya. Ia terlalu lemah untuk menjawab.
Mateo jongkok, menatap Dion dari dekat.
“Kau tahu, Dion,” ucapnya pelan, “kadang aku bertanya-tanya… kenapa semua orang yang dekat denganku berakhir menghianatiku? Mungkin karena mereka berpikir aku tidak akan tahu. Tapi aku selalu tahu.”
Dion mencoba bicara, namun suaranya nyaris tak terdengar, “Saya… tidak… mengkhianati Anda…”
Mateo tertawa kecil, suara tawanya hampa.
“Kau teman masa kecil Livia. Kau yang memasukkannya kerja di kantorku. Lalu tiba-tiba semua dokumen penting diakses dari akunmu. Uang raib. Dan sekarang dia memohon untuk menyelamatkanmu? Lucu sekali.”
Ia bangkit berdiri, memutar lehernya yang tegang, lalu menendang kursi yang ada di dekatnya hingga membentur tembok.
“Aku butuh alasan untuk tidak menghabisimu sekarang juga, Dion. Beri aku satu saja,” desisnya tajam.
Dion hanya bisa memejamkan mata, menahan nyeri yang begitu menyiksa. Dalam benaknya hanya ada satu harapan yaitu semoga Livia baik-baik saja.
Siang itu, sinar matahari menembus jendela besar ruangan modern di lantai tertinggi sebuah gedung pencakar langit. Seorang pria duduk santai di kursi kulit hitam, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku. Di tangannya ada secangkir kopi hitam yang masih mengepul.
Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya tajam dan menyimpan rencana licik.
Di layar monitor besar di hadapannya, data-data milik perusahaan Mateo terpampang jelas grafik keuangan menurun, laporan kerugian, dan berita internal tentang seorang staf yang kabur dan kini dituduh sebagai pencuri.
Pria itu menyeringai.
“Mateo Velasco... akhirnya kau merasakannya juga. Hancur pelan-pelan.”
Ia berdiri, melangkah ke jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dengan langit cerah membiru. Tangannya menggenggam cangkir kopi sambil menatap keluar dengan penuh kemenangan.
“Dan kau bahkan tak sadar, Dion hanyalah umpan dalam permainan ini.”
Ia menoleh ke layar lainnya, menampilkan rekaman CCTV dari kantor Mateo dan salinan pesan internal yang berhasil ia sadap. Semua bukti kejatuhan Mateo tersusun rapi.
“Ini baru permulaan. Aku belum selesai.”
Senyumnya melebar, dan dengan tenang ia menyobek foto Mateo dan melemparkannya ke tempat sampah, lalu kembali duduk dengan santai seolah hari itu seperti hari biasa.
Pria itu adalah Samuel Adrien, seorang pria berkharisma, berusia 38 tahun. Dulu, ia adalah rekan bisnis Mateo Velasco bahkan bisa dibilang seperti saudara. Mereka membangun usaha dari bawah bersama, namun satu kejadian lima tahun lalu mengubah segalanya.
Mateo, dengan ambisinya yang membabi buta, menjebak Samuel dalam kasus pencucian uang. Seluruh reputasi, saham, dan harta Samuel lenyap dalam sekejap. Ia dipenjara selama dua tahun, kehilangan segalanya.
Sejak bebas, Samuel hidup dalam bayang-bayang, membangun kembali kekuatannya diam-diam. Ia menanti saat yang tepat untuk membalas bukan sekadar membalas dendam pribadi, tapi menghancurkan semua yang Mateo miliki kekayaan, reputasi, hingga orang-orang yang ia sayangi.
“Aku akan rampas semuanya, Mateo... Termasuk wanita yang kau sakiti itu.”
Senyum penuh perhitungan menghiasi wajah Samuel, saat ia menatap gambar Livia di layar terlihat lemah dan menyedihkan di ranjang rumah Mateo.
Samuel masih menatap layar tablet di tangannya ketika suara pintu terbuka pelan menggema di kamar hotel mewah itu. Tanpa menoleh, ia sudah tahu siapa yang datang. Langkah kaki yang tenang dan wangi parfum maskulin yang khas membuatnya tak perlu menebak.
"Nathan," ucap Samuel datar namun penuh makna.
Nathan, pria tampan dan cerdas yang selama ini dikenal sebagai sahabat dekat Mateo Velasco, masuk dengan senyum miring. Di balik senyum itu, tersimpan luka dan dendam lama yang tak pernah sembuh.
“Wanita yang malang,” ucap Nathan sambil duduk santai di sofa seberang Samuel. “Padahal ia begitu cocok bersanding dengan Mateo.”
Samuel mengangguk pelan, “Dia mempermainkan orang yang tidak seharusnya dia injak. Termasuk kau... dan sekarang dia sedang mencicipi rasa kehilangan.”
Nathan tersenyum pahit. “Mateo lupa bahwa tidak semua sahabat akan tetap diam saat diinjak. Dulu aku tutup mata, sekarang tidak lagi. Dia harus belajar bahwa pengkhianatan akan selalu berbalik.”
Keduanya bertukar pandang. Dua pria yang pernah ada di lingkaran terdekat Mateo, kini bersatu untuk menjatuhkannya.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Nathan tenang.
Samuel mengangkat alisnya sambil memutar layar yang menampilkan data perbankan milik Mateo.
“Kita mulai dari fondasinya... lalu kita goyahkan semuanya. Termasuk Livia. Dia akan jadi kunci terakhir.”
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/