Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku... Aku cuma...
“Ki-ki-ki-kissuuu…”
“Iyaaaa~!!” Zara berguling-guling di atas kasur sambil memeluk guling erat-erat. Wajahnya merah padam seperti tomat rebus. “Astaga… Pak Guru Kaya… Pak Guru Kaya cium pipi Dalian!!”
(Nyata: dia baru saja mengalami kecelakaan ciuman sama Haru. Tapi yang dia pikirkan? Webtoon kesayangannya yang nggak pernah update. Aneh tapi relatable.)
“Ini nanggung banget, sumpah! Komiknya tiba-tiba tamat di slide terakhir. GUE KAYAK DIGHOSTING TIAP HARI! Bunda Nara, pleaseee UP lagi dong komiknyaaaa…”
Tapi bukan komik yang sebenarnya bikin deg-degan. Tragedi "cium-darurat" tadi bikin jantung Zara tak karuan. Apalagi dia dipaksa untuk memperdengarkan detak jantung si empu juga.
“Aku nggak mau jatuh cinta! Nggak mauuu!! Jatuh cinta tuh… NANGGUNG!! Cowok sialaaaannn!!”
Dia memeluk gulingnya lebih erat.
“Kenapa deg-degannya kayak abis lari dari singa? Untung tadi ada Pak Dosen yang lewat, jadi gue bisa langsung laporin tuh. Tapi... kenapa GUE yang lari? Harusnya dia dong yang malu. GUE YANG DIPERK*SA VISUAL!”
Zara menjerit dalam hati, lalu buru-buru menarik selimut dan menyembunyikan wajahnya.
“Ya ampun, kalau bisa gue mau ngumpet di bawah kasur sampai semester depan.”
Sementara itu di sisi lain, Haru masih duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia bertelanjang dada. Tangannya menyentuh detak jantungnya sendiri. Masih berdegup. Masih hidup.
Hangat.
Manis.
Menggelikan.
Dan tentu saja menyakitkan… tapi dengan cara yang menyenangkan. Itulah yang dia rasakan. Bahkan, bibirnya tak berhenti untuk terus tersenyum-senyum malu tak karuan.
“Ugh!”
Haru menggertakkan gigi sambil menahan dadanya. Tapi bukan karena ingin mengeluh. Dia malah tertawa kecil. “Perasaan ini… memacu adrenalin jantungku,” gumamnya. Bibirnya melengkung membentuk senyum yang sulit dia tahan.
Tok tok tok.
"Haru?"
"Masuklah, Yah."
Pintu dibuka pelan. Sang ayah melangkah masuk dengan kacamata sedikit miring di batang hidung. Tangannya langsung melepasnya dan mengelap lensa dengan sudut bawah kemejanya yang terlihat kusut. Jelas, baru pulang dari kampus.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik." Jawab Haru singkat, tanpa menoleh.
Ayahnya mendekat dan bersandar di meja belajar, menggulung lengan kemejanya perlahan. Raut wajahnya mencerminkan sosok pria yang dulu mungkin setampan putranya, kini mulai terlihat guratan usia dan letih.
Tatapannya hangat, seperti sedang menimbang waktu, seolah menanti saat Haru akan memperkenalkan gadis yang akan menjadi masa depannya.
"Ayah denger dari gadis tadi..." ucapnya membuka pembicaraan dengan nada datar, namun penuh makna. "Katanya kalian tidak sengaja... berbaring berdua di sana."
Haru langsung menegakkan tubuhnya, namun ayahnya tetap santai melanjutkan.
"Dan kau tahu? Kau hanya diam mematung di tempat. Dia yang heboh, cerita panjang lebar sambil... yah, mendramatisir reka adegan. Serius, itu seperti... melihat ayah dulu waktu muda. Penuh alasan, tapi ekspresi panik nggak bisa bohong."
"Ayah, nggak perlu bahas itu lagi."
"Oh, perlu." Ayah menyelipkan kacamatanya kembali. Tatapannya menukik tajam. "Karna ayah tahu. Melihat kalian berdua... seperti melihat aku dan Nuuha dulu. Haru, kau... sedang PDKT, ya?"
Deg.
Haru berdiri dari kursinya. Refleks. Gugup. Sangat jelas. Wajahnya sedikit pucat, dan napasnya sedikit memburu karena jantungnya kembali berpacu.
Ayahnya mengalihkan pandangan ke bekas luka operasi yang samar di dada Haru, lalu tersenyum penuh arti. "Sepertinya, putraku sedang jatuh cinta."
Ia melangkah hendak keluar.
"Ti–tidak. Ayah!" Haru buru-buru menyangkal. "Bukan seperti itu. Aku... aku cuma..."
"Iya, iya. Ayah mengerti." sahut ayahnya tenang, tapi suara itu terasa menembus dinding pertahanan Haru. "Tapi ingat, Haru... Banyak hal yang masih kau kejar. Impianmu, masa depanmu. Ayah tak ingin semua yang sudah kau rancang runtuh hanya karena kau kehilangan arah."
Haru terdiam.
"Dan tentang gadis itu..." lanjut sang ayah dengan jeda yang dalam. "Ayah hanya ingin kau berhati-hati. Jangan terlalu menaruh harapan besar... karena ayah tak ingin kau mengulangi kesalahan yang ayah lakukan dulu ke bundamu. Dan kau, kau lebih mengerti tentang jantungmu sendiri."
Haru menunduk, menahan sesuatu dalam dadanya yang bukan hanya debar jantung, tapi juga rasa sesak yang tak tahu apakah karena cinta... atau ketakutan akan kehilangan.
"Satu lagi, Haru..." Suara ayahnya berubah ringan, seolah ingin menutup percakapan dengan gurauan kecil. "Gadis itu... unik. Dia selalu min di bidang akademik, tapi sangat jago di bidang kinestetik. Tapi... yah, ini yang membuat ayah khawatir. Ayah ragu, dia bakal tahan menghadapi tahun kedua kuliah nantinya." ujarnya sambil mengangkat alis menggoda.
"Apa peduliku." Haru membuang muka.
"Nah, itu saja yang ayah butuh dengar." Ayahnya terkekeh pelan sebelum benar-benar menutup pintu. Kekehan yang mengandung makna.
Memang, Ayahnya berniat memancing. Ia ingin tahu seberapa besar reaksi Haru terhadap gadis itu. Jika Haru benar-benar tak menunjukkan kepedulian, maka bisa jadi… perasaannya hanyalah sekadar rasa penasaran yang dangkal, bukan ketulusan.
Tinggal Haru sendirian. Tapi pikirannya… penuh dengan suara Zara, dan debaran itu...
Rui Naru mencari istrinya.
Ia mendapati wanita cantik yang tak pernah tampak menua itu tengah sibuk di dapur, menuangkan coklat bubuk ke dalam cangkir.
"Aku udah lama nggak lihat bekas vertikal itu di dada Haru. Tapi tadi... aku lihat dari sorot matanya. Seperti sedang menyimpan sesuatu di sana."
"Naru, kamu mau coklat juga? Kita bisa minum berdua sambil nonton film." sahut Nuuha sambil membuka termos. Aliran air hangat mengucur lembut, mengisi ruangan dengan aroma manis dan nyaman.
Naru mendekat dan memeluk istrinya dari belakang. "Kamu ini, selalu pura-pura nggak dengar aku ngomong, Sayangku."
Nuuha tersenyum, berbalik, lalu melingkarkan tangannya ke leher suaminya. "Aku dengar, kok. Cuma memilih nggak menanggapi."
"Hmm... appetizer dulu, kali ya." Naru mengecup lembut bibir istrinya.
Ciuman itu bersambut, disusul senyum yang sama-sama merekah dan menghangatkan hati.
"Naru," ucap Nuuha perlahan. "Aku ingin bertemu dengan seseorang. Boleh, nggak?"
"Kamu ingin ketemu siapa? Tumben."
"Zara. Gadis yang Haru ceritakan waktu itu. Dia... punya bakat yang mirip denganku. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi Haru nggak ngizinin."
Naru mendengus pelan, lalu mengecup kening istrinya. "Astaga... emangnya siapa yang suami di rumah ini, hmm?"
"Kamu donk, suamiku."
"Kasih izin nggak yaa..." godanya, sambil mencubit gemas pinggang istrinya.
"Kasih izin dong... nanti hadiahnya, kamu bisa lihat karya Tuhan dari ujung kaki sampai ujung kepala tanpa sehelai benang pun," goda Nuuha sambil mengguratkan jari telunjuknya perlahan di dada suaminya.
"Mana tahan, suami digoda begini, Sayang."
"Makanya, bolehin yaa..."
"Oke deh. Aku bakal buatin jadwalnya. Tapi janji ya, jangan sampai tremor pas kita main ke rumahnya nanti."
Nuuha mengernyit. "Maksudmu... kita sekalian temui keluarganya juga?"
"Tentu saja. Ini momen penting. Bisa jadi awal hubungan baik kita dengan keluarga Zara."
Glek.
Nuuha menelan ludah. Mendadak tenggorokannya terasa kering. Sekelebat bayangan masa lalu menyelinap masuk saat pertama kali Rui datang ke rumahnya, menghadap keluarganya.
Ia masih ingat jelas bagaimana kakaknya menentang keras hubungan mereka, menolak restu dengan dingin dan sorot tajam di mata.
Hati Nuuha sedikit tercekat. "Naru, aku cuma ingin ketemu sama gadis itu. Bukan sama keluarganya."
../Facepalm/