Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Bab 20. Luka yang belum pulih
Yogyakarta – Rumah Sharon
Mentari pagi menembus dedaunan yang rimbun, menciptakan bayang-bayang menari di halaman rumah Sharon. Hari libur membuat suasana rumah terasa lebih ramai. Tawa ceria Xaviera dan Xaviero menggema di udara, bersaing dengan kicauan burung.
Sharon tengah menyapu teras saat suara klakson pelan terdengar dari depan pagar rumah. Ia menengok dan mendapati sebuah mobil hitam terparkir rapi di carport depan rumah kontrakannya. Dari dalamnya, Dion keluar sambil tersenyum cerah dengan kedua tangan membawa dua tas besar berisi kotak mainan.
“Om Dion!” seru Xaviera sambil berlari menghampiri Dion, disusul Xaviero yang tampak tak kalah antusias. Dion langsung jongkok dan memeluk keduanya.
“Wah, Xaviera makin cantik, Xaviero makin tinggi aja ya! Nih, Om bawain hadiah!” ucap Dion sambil menunjukkan barang bawaannya.
Mata si kembar langsung berbinar. Dion mengeluarkan boneka unicorn besar untuk Xaviera dan mobil remote control untuk Xaviero. Anak-anak bersorak gembira.
Sharon yang berdiri di ambang pintu, tersenyum canggung. Ia sendiri sering merasa tak enak hati atas kebaikan Dion. Sharon pun segera menghampiri Dion, menyambutnya dengan anggukan sopan.
“Makasih ya, Dion. Tapi kamu nggak perlu repot-repot bawa mainan segala. Anak-anak jadi kebiasaan nanti.”
Dion tertawa pelan, “Gak apa-apa, Sha. Aku senang lihat mereka bahagia. Lagipula, aku punya banyak waktu luang sekarang.”
Mereka duduk di teras, menikmati teh dan cemilan ringan yang disiapkan Sharon. Anak-anak sibuk dengan mainan baru mereka di halaman. Sesekali Xaviero melirik Dion dengan mata bersinar, seolah ingin menunjukkan betapa ia mengidolakan pria itu.
Sharon memandangi interaksi mereka. Ia tak bisa menutupi rasa bersalah yang menggelayut. Dion begitu baik, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu saat Dion membantu membawa dirinya ke rumah sakit. Setelah itu, Dion sering datang, sekadar menjenguk atau membantu membawakan kebutuhan anak-anak. Bahkan selepas melahirkan, Dion memberikannya cuti selama 2 bulan sampai tubuhnya benar-benar sehat seperti sedia kala.
Tak cukup sampai di situ, Dion juga membantu mencarikan pengasuh untuk membantu menjaga kedua anaknya di kala ia bekerja. Dan jangan lupa satu lagi, Dion juga menyediakan satu ruangan di restoran khusus agar ia bisa membawa kedua anaknya tanpa perlu meninggalkannya di rumah. Perhatian Dion juga sangat tulus, bukan hanya pada anak-anak, tapi juga pada ibunya.
Namun, satu hal yang tak bisa ia lupakan, Dion bukanlah ayah dari anak-anaknya. Dan yang lebih rumit lagi, Sharon tahu bahwa perasaan Dion padanya perlahan mulai tumbuh. Ia bisa melihatnya dari tatapan Dion, dari caranya memperhatikan, dari bagaimana pria itu selalu mencari-cari alasan untuk mampir.
Sharon menghela napas. Ingatannya melayang pada Dirga, sosok masa lalunya yang sempat hadir, namun kemudian harus pergi. Pernikahan Dirga dengan Nadine atas permintaan sang ibu yang sedang kritis, menjadi alasan utama mengapa Sharon mundur. Ia tak ingin menjadi duri di antara Dirga dan ibunya. Ia tahu, bukan hanya cinta yang harus dipertimbangkan dalam sebuah hubungan, tapi juga restu dan luka lama yang belum sembuh.
Kini, Dirga pun sudah tak ada di cabang restoran tempat Sharon bekerja. Kabarnya ia dipindahkan ke cabang lain. Dan kini, Dion hadir mengisi ruang kosong itu … pelan tapi pasti.
Namun, hati Sharon belum pulih. Luka dari orang-orang di masa lalunya belum benar-benar hilang. Bahkan mungkin juga belum selesai dari bayang-bayang seseorang yang kerap membayangi setiap mimpi-mimpinya.
***
Kantor LXR Holdings – Ruang Khusus Eric
Malam semakin larut, gedung perkantoran sudah sepi, namun lampu di ruang kerja Eric masih menyala. Ia duduk di depan layar laptop dengan ekspresi serius. Jari-jarinya bergerak cepat membuka berkas-berkas lama—rekaman medis, laporan investigasi, serta database yang dulu sempat ia simpan sebelum diperintahkan menghentikan pencarian Sharon.
Suara notifikasi dari komputer berbunyi pelan. Sistem pencarian yang ia jalankan diam-diam akhirnya mulai menunjukkan titik terang. Beberapa catatan administrasi rumah sakit, data kelahiran bayi kembar dengan nama belakang unik, serta alamat di Yogyakarta mulai menyambung satu demi satu.
Eric menyandarkan tubuhnya, menarik napas panjang.
“Sharon … kau ternyata tidak pernah benar-benar bersembunyi, ya?” gumamnya. Eric bernafas lega. Setidaknya ia memiliki petunjuk mengenai keberadaan Sharon. Walaupun belum pasti apakah Sharon masih berada di kota itu, namun Eric berharap ia diberikan kemudahan untuk menemukan wanita itu.
Namun seketika Eric teringat dengan Meylania. Ia tahu, jika sampai Meylania mengetahui pencarian ini dilanjutkan, posisinya bisa sangat terancam. Tapi melihat kondisi Leon yang semakin memburuk, ia tak bisa lagi diam. Terlebih saat mendengar Leon menyebut nama Sharon dan anak-anak dalam tidurnya. Nama yang selalu terucap di alam bawah sadarnya. Nama yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
“Xaviera … Xaviero ….”
Aneh tapi nyata. Nyatanya nama itu kini menjadi kunci. Eric tahu, waktunya sudah tidak banyak.
---
Kediaman Keluarga Meylania
Di ruangan bernuansa hangat, Metha duduk dengan gelisah. Gaun tidurnya berkilau lembut diterpa cahaya lampu gantung. Di depannya, Meylania menuangkan teh ke dalam cangkir porselen sambil tetap memperhatikan ekspresi Metha yang jelas menunjukkan kekhawatiran.
“Apa Aunty yakin Leon nggak akan tiba-tiba membatalkan pernikahan kami, Aunty?” tanya Metha, suaranya pelan tapi sarat kecemasan.
Meylania meletakkan teko teh dengan gerakan tenang. “Kau pikir aku akan membiarkan itu terjadi setelah semua yang sudah kita lakukan?”
“Tapi akhir-akhir ini dia aneh. Kadang melamun, kadang tiba-tiba kesakitan seperti ada yang menghantui pikirannya. Aku takut ... dia mulai mengingat masa lalunya, Aunty. Bagaimana kalau dia ingat tentang wanita yang pernah dicarinya itu? Bagaimana kalau dia kembali melakukan pencarian sebelum kami sempat menikah? Bagaimana kalau dia tiba-tiba membatalkan pernikahan ini karena ingatannya yang mendadak kembali?" Metha benar-benar cemas setiap mengingat hal tersebut.
Meylania memejamkan mata sejenak, menahan kekesalan yang perlahan menyusup. “Leon tidak akan mengingatnya sepenuhnya. Dokter yang kutugaskan sudah memberinya obat penghambat. Tapi ... kamu benar akan satu hal."
Meylania menjeda kata-katanya. Metha menatapnya dengan penuh tanya maupun harap.
“Kita harus mempercepat pernikahan kalian. Semakin cepat kalian resmi menikah, semakin sulit bagi siapa pun untuk menggoyahkan posisimu di sisi Leon," putus Meylania membuat Metha tersenyum puas.
“Benar, Aunty. Kalau perlu minggu depan kita langsung adakan pemberkatan. Aku sudah siapkan semua. Gaun, gedung, undangan, tinggal Leon yang harus diyakinkan.” Mata Metha berbinar saat mengatakan itu.
Meylania tersenyum tipis—senyum yang lebih seperti strategi, obsesi, dan ambisi daripada kasih sayang.
“Biarkan Aunty yang atur. Leon tidak perlu diyakinkan. Dia hanya perlu diarahkan," ucap Meylania sambil mengambil cangkir teh miliknya. Sambil minum, ia pun tersenyum menyeringai.
To be continued…
Bismillahirrahmanirrahim, semoga aja retensinya bagus, ya! Biar makin semangat update. ☺️
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho