Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Menunggu
Lestari tersenyum puas, merasa senang karena berhasil menghindari penangkapan polisi. Ia merasa Zulfikar telah melakukan hal yang benar dengan melindunginya. Ia yakin, Zulfikar akan selalu berada di sisinya, tidak peduli apa pun yang terjadi.
"Mereka tidak akan pernah bisa menangkapku," gumam Lestari, senyum licik menghiasi wajahnya. "Aku terlalu pintar untuk mereka."
Zulfikar menghela napas panjang, ia merasa terbebani dengan semua ini. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan menyembunyikan Lestari, tetapi ia merasa bertanggung jawab atas keguguran Lestari.
"Lestari, aku harap kamu tahu, apa yang kamu lakukan itu salah," ucap Zulfikar, suaranya lemah. "Kamu telah menyakiti anak-anakku."
"Aku tidak peduli," balas Lestari, matanya berkilat penuh kebencian. "Aku hanya ingin Mutia menderita. Dia telah merebut kebahagiaanku, dan aku akan merebut kebahagiaannya juga."
"Tapi kamu tidak perlu menyakiti anak-anaknya, Lestari," ucap Zulfikar, suaranya meninggi. "Mereka tidak bersalah."
"Mereka adalah bagian dari Mutia, Zulfikar. Jika aku menyakiti mereka, aku akan menyakiti Mutia," balas Lestari, suaranya dingin.
Zulfikar terdiam, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa ngeri dengan kebencian Lestari, tetapi ia juga merasa tidak berdaya untuk menghentikannya.
"Aku punya rencana yang lebih besar, Zulfikar," ucap Lestari, senyum licik menghiasi wajahnya. "Aku akan membuat Mutia menderita lebih dari ini. Aku akan menghancurkan hidupnya."
Zulfikar menatap Lestari dengan tatapan ngeri. Ia tahu bahwa Lestari tidak main-main dengan ucapannya. Ia merasa takut dengan apa yang akan Lestari lakukan selanjutnya.
"Lestari, jangan lakukan itu," mohon Zulfikar, suaranya bergetar. "Jangan sakiti Mutia lagi."
"Kamu tidak bisa menghentikanku, Zulfikar," ucap Lestari, matanya berkilat liar. "Aku akan membalas dendam, dan tidak ada yang bisa menghentikanku."
Zulfikar menghela napas panjang, ia merasa putus asa. Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan besar dengan melindungi Lestari. Ia telah membiarkan wanita jahat itu lolos, dan ia takut Lestari akan melakukan hal yang lebih buruk lagi.
****
Sephia dan Sania tertawa riang, bermain bersama kakek dan nenek mereka di ruang tamu. Mereka merasa bahagia karena akhirnya bisa berkumpul kembali dengan keluarga mereka. Mutia menatap kedua anaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, hatinya dipenuhi rasa syukur.
"Kalian berdua baik-baik saja, kan?" tanya Mutia, mengusap rambut Sephia dan Sania.
"Kami baik-baik saja, Bunda," jawab Sephia, tersenyum lebar. "Kami senang bisa pulang."
"Kami merindukan Bunda," tambah Sania, memeluk Mutia erat.
Mutia memeluk kedua anaknya erat, air mata haru mengalir di pipinya. Ia merasa lega dan bahagia karena akhirnya bisa memeluk Sephia dan Sania kembali.
Ahmad dan Leha menatap cucu-cucu mereka dengan tatapan penuh kasih sayang. Mereka merasa sangat marah dengan apa yang Lestari lakukan pada Sephia dan Sania. Mereka tidak akan membiarkan wanita itu lolos begitu saja.
"Wanita itu benar-benar jahat," geram Ahmad, matanya berkilat marah. "Dia harus membayar atas perbuatannya."
Sephia dan Sania menatap ibu mereka dengan tatapan bingung. Mereka tidak mengerti mengapa kakek mereka begitu marah.
"Ibu, ada apa?" tanya Sephia.
"Wanita itu telah menyakiti kalian," jawab Mutia, suaranya lembut namun tegas. "Kita harus membuatnya membayar atas perbuatannya."
Sephia dan Sania mengangguk mengerti. Mereka tahu bahwa ibu mereka hanya ingin melindungi mereka. Mereka merasa aman dan dicintai, berada di pelukan keluarga mereka.
Malam itu, mereka semua tidur bersama di kamar Mutia. Mereka saling berpelukan, merasa hangat dan aman. Mereka tahu bahwa mereka akan menghadapi Lestari bersama-sama, dan mereka akan menang.
****
Lestari duduk di sebuah ruangan remang-remang, wajahnya penuh kebencian. Ia menatap seorang pria berbadan tegap yang duduk di hadapannya. "Aku punya pekerjaan untukmu," ucap Lestari, suaranya dingin dan mengancam. "Aku ingin kamu mencelakai seorang wanita. Namanya Mutia."
Pria itu menatap Lestari dengan tatapan dingin. "Berapa bayarannya?" tanyanya, suaranya kasar.
Lestari tersenyum sinis. "Kamu akan mendapatkan bayaran yang mahal," jawabnya, mengeluarkan sebuah amplop tebal dari tasnya. "Ini uang muka. Sisanya akan kamu dapatkan setelah pekerjaan selesai."
Pria itu mengambil amplop itu dan menghitung uang di dalamnya. Matanya berbinar melihat jumlah uang yang besar itu. "Baiklah, aku terima pekerjaan ini," ucapnya, menyeringai. "Kapan aku harus mulai?"
"Secepatnya," jawab Lestari, matanya berkilat liar. "Aku ingin wanita itu menderita."
Lestari memberikan foto Mutia kepada pria itu, serta alamat dan jadwal kegiatan Mutia. Ia menjelaskan secara detail bagaimana pria itu harus mencelakai Mutia, memastikan bahwa Mutia akan merasakan sakit yang luar biasa.
"Pastikan dia menderita," ucap Lestari, suaranya penuh dendam. "Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan."
Pria itu mengangguk mengerti. Ia akan melakukan apa pun yang Lestari inginkan, selama ia mendapatkan bayaran yang sesuai. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang akan Mutia rasakan.
Setelah pria itu pergi, Lestari tertawa puas. Ia merasa bahwa rencananya berjalan dengan lancar. Ia yakin, Mutia akan segera merasakan penderitaan yang ia inginkan.
"Mutia, kamu akan membayar mahal atas apa yang kamu lakukan," gumam Lestari, matanya berkilat penuh kebencian. "Aku akan menghancurkan hidupmu."
Lestari tidak akan tinggal diam. Ia akan terus merencanakan kejahatan, sampai Mutia benar-benar menderita. Ia tidak peduli dengan konsekuensi yang akan ia hadapi, ia hanya ingin membalas dendam.
****
Setelah lama menghilang karena urusan pekerjaan di luar negeri, Dito akhirnya kembali. Ia segera menemui Mutia, wanita yang selalu ada di hatinya. Wajahnya berseri-seri, penuh harapan.
"Mutia, aku kembali," ucap Dito, suaranya lembut. "Dan kali ini, aku datang untuk melamarmu."
Mutia terkejut, matanya membulat. Ia tidak menyangka Dito akan melamarnya. Ia merasa bahagia, tetapi juga ragu. Trauma dari pernikahan sebelumnya masih menghantuinya.
"Dito, aku tidak tahu," jawab Mutia, suaranya bergetar. "Aku masih belum yakin. Aku masih takut untuk menikah lagi."
Dito meraih tangan Mutia, menatapnya dengan tatapan tulus. "Mutia, aku tahu kamu terluka. Aku tahu kamu takut. Tapi aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan mencintaimu dengan sepenuh hati."
"Aku tidak ingin kamu terluka lagi, Mutia. Aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin membangun keluarga bersamamu," lanjut Dito, suaranya penuh keyakinan.
Mutia terdiam, air mata haru mengalir di pipinya. Ia merasa terharu dengan ketulusan Dito. Ia merasa dicintai dan diinginkan.
"Dito, aku juga mencintaimu," ucap Mutia, suaranya lirih. "Tapi aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan lukaku."
Dito mengangguk mengerti. Ia tidak akan memaksa Mutia. Ia akan sabar menunggu, sampai Mutia siap untuk menikah dengannya.
"Aku akan menunggumu, Mutia," ucap Dito, tersenyum lembut. "Aku akan menunggumu selama apa pun yang diperlukan."