NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Lansia
Popularitas:883
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Mata Yanti hanya tertuju pada Iman. Ingin rasanya ia balas menonjok Iman. Tapi seperti Mumu, hanya mulutnya yang terlatih untuk adu mulut.

"Suami Kamu ini nggak ngehargain Abangnya! Udah tau Bang Mumu lagi mabok, pakai dilayanin omongannya!"

"Orang mabok ngapain dihargain?" gerutu Iman sebal.

"Pah?"

"Kamu nggak boleh begitu sama Bang Mumu. Dia itu lebih tua dari Kamu! Bilangin Suamimu dong, Nisa?" pelototan marah Yanti berubah menjadi pelototan kaget setelah ia berpaling pada Nisa.

"Pipi Kamu kenapa, Nisa?" Nisa tersenyum kecut. Apa yang dapat ia katakan?

"Ini semua gara - gara Bang Mumu!" Yanti terkaget kaget mendengarnya. Bang Mumu hanya mengatakan pipinya biru karena ditonjok Iman, apa masalahnya, ia tidak mau menceritakannya.

"Kamu nggak papa, Nisa?" sikapnya berubah lebih lunak. Ia lalu duduk di depan Nisa. Ia merasa iba melihat Nisa seperti itu.

"Nggak papa, Teh. Ini udah dikompres sama Iman."

"Bang Mumu yang nonjok?" tanyanya tidak percaya. Sekasar - kasarnya Mumu, ia tidak pernah main tangan padanya. Apalagi pada Nisa yang selalu ia bela di saat istrinya merasa cemburu sosial pada Nisa.

"Iya!" sentakan Iman membuatnya tak enak hati.

'Masa', sih?" hatinya terus bertanya - tanya.

"Nggak, Teh. Bukan.." Nisa menegur Iman dengan tatapan dan alisnya yang sedikit terangkat. Iman membalasnya dengan senyum tertahan. Ia geli melihat raut wajah Yanti yang kehilangan kegarangannya.

"Aku pulang dulu ya, Nis. Mudah - mudahan ini bisa cepat hilang." Yanti meraba perlahan pipi Nisa yang membiru. Nisa meringis.

"Sakit, ya?" Ia cepat menarik tangannya.

"Rasa memar, sedikit."

"Aku pulang, ya? Kamu istirahat aja, kalau mau apa - apa, panggil Aku aja." tangan Yanti membuat gerakan seperti menelphon. Nisa mengangguk. Yanti ini sebenarnya baik, tapi karena ia selalu di banding - bandingkan dengan Nisa oleh suaminya maka ia seringkali membenci Nisa.

"Makasih, Teh." Yanti pun bergegas keluar. Tadi ia datang sebagai pendakwa, kini ia keluar seperti terdakwa yang ingin cepat - cepat kabur.

"Papah, ih!"

"Kalau nggak begitu Dia bakalan nyap - nyap terus, Mah." Iman tertawa geli. Mengingat ekspresi wajah Yanti yang kacau balau ketika akan keluar.

"Kalau Dia ngadu sama Bang Mumu, gimana?" Nisa tidak ingin ada perkelahian lagi.

"Biarin aja! Sini kalau masih berani!" tantang Iman. Nisa menggeleng - geleng. Kalau begitu terus permasalahannya tidak akan selesai.

"Kalau Bang Mumu ngadu yang enggak - enggak sama Abang Hasby, gimana?" Sejenak Iman terdiam. Sebenarnya ia menghormati semua kakaknya. Kalau mereka tidak mencari gara - gara duluan, Iman juga tidak akan melawan. Hanya hasby yang ia takuti.

"Pah?" panggilan Nisa membuatnya tersentak.

"Mereka itu pinter ngomong, lho. Papah mau jawab apa?" Iman terlihat berpikir. Memang kelemahan Iman itu adalah berbicara. Ia selalu kalah bila adu mulut.

"Gimana nanti aja, lah." Iman meraih Nisa dalam pelukannya.

"Mamah di rumah aja, ya? Biar Papah sama Juned yang nggantiin kerjaan Mamah."

Nisa mengangguk patuh.

*******

Akhirnya semua, termasuk Iman pindahan ke tanah Hasby. Ia menjual tanahnya untuk saudara - saudaranya dengan harga di bawah pasaran.

Yanah yang semula ingin membeli di tempat lain akhirnya membeli tanah Hasby juga.

"Kenapa nggak jadi beli di sana, Nah? Kata Kamu rumahnya besar, bagus, murah juga." tanya Mumu pada adik perempuan satu - satunya itu.

Yanah bergidik tanpa mau menjawab.

"Banyak setannya!" Umboh yang menjawab.

Oooh.., mulut Mumu membentuk bulatan. Mereka mulai membangun rumah dengan keinginan masing - masing.

"Aku ingin yang kecil aja, toh hanya Umboh yang belum menikah." Tika sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Bandi tidak memiliki rumah, tapi istrinya tidak mau tinggal di rumah mertua. Mereka memilih mengontrak rumah.

Edi lain lagi. Anaknya ada 5.

"Aku ingin membangun beberapa petak seperti kontrakan." Jadi tiap anak dapat menempati 1 petak. Ia juga akan menempati 1 petak bersama Sari, istrinya.

"Biar masing - masing." Edi pusing dengan kelakuan anak - anaknya yang meski sudah menikah tapi masih tinggal bersama mereka dan masih mengandalkannya untuk makan mereka.

"Aku ingin rumah minimalis." begitu harapan Mumu.

Iman menyerahkan semuanya sesuai keinginan Nisa. Mereka sama - sama ingin rumah yang besar, tidak kecil dan sempit seperti rumah mereka dulu. Tiap anak dapat memiliki kamarnya sendiri.

"Mamah ingin seperti ini." Nisa menunjukkan gambarnya.

"Ini apa, Mah?" Iman menunjuk 2 bidang yang bergaris - garis.

"Itu kamar Mandi."

"2 kamar mandi?" Nisa mengangguk.

"1 di kamar Kita, Pah. Biar Kita nggak usah keluar kamar kalau habis.." Nisa mengerling nakal. Tentu saja Iman setuju. Selama ini mereka tidak bebas melakukannya karena mereka harus berbagi kamar dengan si bungsu.

Rumah Iman yang besar lebih dulu selesai. Mereka pindahan saat saudara yang lain belum menyelesaikan pembangunan rumahnya.

Nisa mengadakan selamatan kecil - kecilan.

"Rumah Kamu bagus banget, Nisa. Darimana kamu dapat ide seperti ini?" tetangga sekaligus sahabatnya di rumah lama memujinya.

"Aku ngegambar sendiri." jawab Nisa bangga.

"Untuk pemilihan ubin dan yang lainnya, itu urusan Iman." terang Nisa.

"Ini berkat keikhlasan Kamu, Nisa."

"Maksudnya?"

"Kamu ikhlas menjalani hidup ini. Lillaahi ta'ala. Kamu ikhlas rumah sempitmu dipenuhi keponakan - keponakan dan teman - teman anak - anakmu. Makanya sekarang Kamu di kasih rumah yang besar dan bagus."

"Mau bagaimana lagi? Aku memang senang melihat anak - anak itu bahagia." bibir Nisa menyunggingkan senyum.

"Kalau main ke rumahmu yang itu, jalan aja sampai susah." kenang sahabatnya ini. Sudah rumah sempit, banyak anak - anak berkumpul di sana.

"Tapi Kita sekarang jadi jauh.."

"Jauh apa sih, Na? Cuma tinggal jalan aja ke belakang."

"Iya, sih.., tapi Kita biasa sebelahan, jadi sekarang rasanya jauuuh.." Mereka tertawa.

Mereka menempati rumah baru mereka tepat di awal tahun. Dengan sejuta harapan baru.

"Mbak Nisa, ada yang mau bantuin Kita. Tapi Dia bisanya malam aja."

"Bagus, dong. Tapi kenapa dia siangnya nggak bisa?"

"Siangnya Dia kerja di Garment, Mbak."

"Woow.." bibir Nisa membentuk bulatan. Berarti orang ini sanggup bekerja siang malam?

"Dia single parent, Mbak. Anaknya 5." bulatan di bibir Nisa semakin membesar.

"Udah tua dong, May?"

"Nggak, Mbak. Ia justru lebih muda dari Aku. Anaknya masih kecil - kecil." Wow, bisik hati Nisa sekali lagi.

"Orangnya manis, Mbak." tambah Maya lagi.

"Kalau Dia kerja, siapa yang jagain anaknya, May?"

"Ada ibunya, Mbak."

"Aduh, Kasihan Orangtua ngurusin 5 anak."

"Habis bagaimana lagi, Mbak? Mereka juga harus bayar kontrakan."

Nisa menelan salivanya.

"Dia janda cerai atau janda ditinggal mati?"

"Janda cerai, Mbak." waduh, kenapa Dia sampai bercerai itu akan jadi pertimbangan.

"Kasihan, Mbak. Dia butuh uang tambahan."

Nisa memang tidak tegaan.

"Ya udah. Tapi nanti Dia kerja sama Teh Yati, ya?" Yati itu sepupu Iman yang bertugas jaga malam.

"Aku bilangin orangnya sekarang ya, Mbak?"

"Ya."

'Mudah - mudahan keputusanku ini tidak salah." harap Nisa. Entah kenapa, hatinya merasa tidak enak.

**********

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!