Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Habis 350 juta dalam semalam?
Sore itu, setelah rapat selesai, semua orang tampak lega. Alzena mulai membereskan dokumen-dokumennya, bersiap untuk pulang. Bastian mendekatinya dengan ekspresi santai namun penuh perhatian.
“Zena, kamu nggak usah balik ke kantor lagi. Langsung pulang aja, kamu pasti capek,” ujar Bastian.
Alzena sedikit terkejut dengan perhatian itu. “Oh, nggak apa-apa, Pak. Saya masih kuat kok.”
Namun, Bastian menatapnya dengan tegas. “Jangan membantah. Aku tawarkan sesuatu, biar aku yang antar kamu pulang.”
Alzena terdiam, bingung antara menerima atau menolak tawaran bosnya. Sementara itu, di sisi lain ruangan, Ferdinan tampak gelisah memeriksa ponselnya. Sebuah pesan baru saja masuk dari Katerine: “Malam ini makan malam bareng Papi, ya? Sudah lama Papi ingin ngobrol sama kamu.”
"Iiiya."
Ferdinan menghela napas panjang. Ajakan makan malam bersama Katerine dan ayahnya selalu membuatnya canggung. Apalagi, dia tahu Katerine punya harapan besar terhadap hubungan mereka, sementara dia masih bimbang dengan perasaannya.
"Oke, papi seneng banget bisa ketemu sama kamu."
Di saat Ferdinan berpikir keras untuk memberikan jawaban, Bastian dan Alzena berjalan melewatinya. Bastian melirik Ferdinan sekilas dan memberikan anggukan kecil sebelum berkata kepada Alzena, “Ayo, aku tunggu di mobil.”
"Mari pak Ferdinan. "Alzena dengan suara lembutnya.
Alzena akhirnya mengangguk ragu dan mengikuti Bastian keluar. Ferdinan memandang mereka sejenak, lalu kembali ke ponselnya, mengetik balasan singkat kepada Katerine: “Baik, aku akan datang.”
Dia tahu, malam itu akan menjadi ujian besar untuknya, baik di depan Katerine maupun ayahnya. Namun, pikiran Ferdinan tak sepenuhnya tertuju pada Katerine—ada bayangan lain yang terus mengganggu hatinya. Bayangan Alzena.
Ferdinan menjalankan mobilnya dengan Katerine di kursi penumpang. Di luar, malam mulai terasa hangat dengan lampu jalanan yang berkelip. Namun, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Katerine mencoba memecah keheningan.
"Fer, kamu kenapa? Kelihatan nggak fokus," tanyanya sambil melirik Ferdinan yang mengemudi dengan tatapan kosong.
Ferdinan tersentak sejenak dari lamunannya. "Nggak, aku cuma capek habis meeting tadi," jawabnya singkat.
Katerine tersenyum kecil. "Capek ya? Nanti aku yang ngomong ke Papi kalau kamu perlu istirahat. Kamu hebat banget, kerja keras terus," ujarnya dengan nada lembut.
Ferdinan hanya mengangguk tanpa menanggapi lebih lanjut. Namun, pikirannya jauh dari Katerine. Yang terbayang adalah Alzena—saat dia tadi berjalan keluar bersama Bastian. Meski mencoba menyingkirkan bayangan itu, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Kenapa Bastian harus repot-repot mengantar Alzena? Bukankah itu di luar kebiasaan?
Sementara itu, di perjalanan lain, Bastian menyetir dengan ekspresi datar. Alzena duduk di kursi penumpang, sesekali memandang keluar jendela. Ketegangan terasa di antara mereka.
"Pak, cukup sampai halte busway saja, ya. Saya bisa pulang sendiri," kata Alzena memecah keheningan.
Bastian meliriknya. "Kamu yakin? Sudah malam begini, loh."
"Yakin, Pak. Saya biasa kok. Nggak enak rasanya terus-terusan merepotkan Anda."
Bastian terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Baiklah, kalau itu maumu."
Dia akhirnya menepikan mobil di halte terdekat. Sebelum Alzena turun, Bastian sempat berkata, "Jangan terlalu keras kepala, Zena. Kadang, menerima bantuan itu nggak salah."
Alzena hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak. Hati-hati di jalan."
Setelah Alzena turun, Bastian duduk di mobilnya sebentar, memperhatikan dia berjalan masuk ke halte. Ada sesuatu tentang Alzena yang membuatnya sulit berpaling. Gadis itu terlalu sederhana, tapi justru itulah yang membuatnya berbeda.
Di sisi lain, Ferdinan terus melaju dengan Katerine di mobilnya. Namun, saat Katerine berbicara tentang rencana masa depan mereka, ia merasa hatinya semakin jauh. Satu nama terus terngiang di pikirannya: Alzena.
Restoran mewah dengan suasana hangat menjadi tempat pertemuan malam itu. Ferdinan duduk di salah satu meja dengan Katerine di sampingnya, sementara Hendri, ayah Katerine, tampak duduk di seberang mereka dengan senyuman ramah. Hendri adalah pria paruh baya yang berwibawa, dengan gaya elegan khas orang sukses.
"Jadi, Ferdinan, bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu," tanya Hendri sambil menuangkan wine ke gelasnya.
Ferdinan tersenyum sopan. "Baik, Om. Senang sekali akhirnya bisa bertemu lagi. Katerine sering cerita tentang Anda."
Hendri mengangguk puas. "Bagus kalau begitu. Aku selalu percaya, pria yang ada di samping Katerine harus punya masa depan cerah. Katerine juga banyak bercerita tentangmu. Aku senang kalian sudah bersama selama dua tahun."
Kata-kata itu menusuk Ferdinan secara halus. Dia mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya. Dua tahun, tapi kenapa aku merasa kosong? pikirnya.
Katerine tersenyum bangga, menggenggam lengan Ferdinan. "Papi selalu mendukung kita, kan? Aku sering cerita kalau Ferdinan itu pekerja keras dan bisa diandalkan."
Hendri menatap Ferdinan dengan tatapan tajam namun penuh makna. "Aku lihat itu, Ferdinan. Kamu punya potensi besar, dan aku percaya Katerine ada di tangan yang tepat."
Mendengar itu, Ferdinan merasa makin terjebak. Bagaimana tidak? Selama dua tahun ini, dia hanya menjalani hubungan ini untuk menjaga hati Katerine, yang begitu mencintainya. Namun, hatinya tidak pernah benar-benar berada di sini. Ia merasa seolah berjalan di jalan yang dipilihkan orang lain.
Saat makan malam berlangsung, Hendri mulai membahas rencana masa depan. "Ferdinan, aku akan kembali ke Australia dalam beberapa minggu. Tapi sebelum itu, aku ingin memastikan sesuatu."
Ferdinan mengangkat alis, bingung. "Apa itu, Om?"
Hendri tersenyum tipis. "Aku ingin memastikan kalian benar-benar serius dengan hubungan ini. Aku harap kalian sudah mulai berpikir ke arah yang lebih jauh... seperti pernikahan."
Kata-kata itu membuat Ferdinan terdiam. Dia merasa seolah-olah dunia semakin menyempit di sekelilingnya. Katerine tampak antusias, sementara Hendri menatapnya menunggu jawaban.
"Om, saya... tentu saja, saya memikirkan itu," jawab Ferdinan dengan suara yang terdengar lebih ragu dari yang dia inginkan. Dia belum bisa mengatakan yang sejujurnya saat ini, dia yang salah dalam hal ini, karena merasa takkan pernah jatuh cinta pada istrinya dan akan menceraikannya, dan menikah dengan Katerine setelah 6 bulan. Namun saat ini dialah yang terjebak cinta istri penggantinya.
Malam itu berakhir dengan Hendri merasa puas, Katerine penuh harapan, tetapi Ferdinan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah mengantar Katerine pulang, ia duduk di mobilnya sejenak, merenung.
Apakah ini yang aku inginkan? Atau aku hanya menjalani ini demi orang lain?
Sosok Alzena melintas di pikirannya, membuatnya semakin bingung.
"Haloo, Tiara aku tunggu kamu ya di mall terdekat sama rumah kamu, sekarang."
"Oke."Tiara bergegas menuju mall tersebut.
Malam itu, Ferdinan baru saja mengantar Katerine pulang ke rumah setelah makan malam bersama ayahnya. Ia merasa pikirannya penuh dengan beban, terutama setelah Hendri dengan jelas menyiratkan harapan pernikahan antara dirinya dan Katerine. Saat hendak kembali ke apartemennya, ponselnya berbunyi.
Notifikasi belanja terus berdatangan. Ferdinan melirik layar ponsel, matanya membulat.
“Transaksi berhasil: Rp15.000.000 – Fashion Boutique.”
“Transaksi berhasil: Rp45.000.000 – Jewelry Store.”
“Transaksi berhasil: Rp80.000.000 – Luxury Handbag.”
“Transaksi berhasil: Rp210.000.000 – Multitransaction Store.”
Ferdinan terdiam, merasa tidak percaya. Apa yang terjadi dengan kartuku? Siapa yang belanja sebanyak ini?! pikirnya. Namun, dia segera menyadari bahwa satu-satunya orang yang memiliki akses ke kartunya adalah Alzena.
"Alzena..." gumam Ferdinan, wajahnya berubah serius.
Tidak berpikir panjang, Ferdinan langsung membalik arah mobilnya, meninggalkan rumah Katerine tanpa pamit. Ia memacu kendaraannya menuju apartemen, mencoba menghubungi Alzena. Namun, panggilannya tidak diangkat.
---
Sementara itu, di sebuah mal mewah, Alzena tertawa kecil bersama sahabatnya, Tiara. Mereka baru saja selesai makan setelah berbelanja. Tiara menatap Alzena dengan heran.
"Kamu serius, Zen? Belanja segila itu pakai kartu Ferdinan? Gimana kalau dia marah besar?" tanya Tiara, separuh terkejut, separuh geli.
Alzena hanya tersenyum tipis, menyesap kopinya. "Justru itu yang aku ingin tahu. Aku ingin lihat reaksinya. Kalau dia benar-benar marah, ya sudah. Aku tahu tempatku di hatinya."
Tiara menggeleng, meski tersenyum. "Kamu benar-benar nekat."
---
Saat Ferdinan akhirnya tiba di apartemen, ia mendapati Alzena sedang menata belanjaannya dengan santai. Tas-tas belanja berjejer, termasuk tas mewah, sepatu, dan bahkan sebuah kotak cincin berlian.
"Alzena!" panggil Ferdinan dengan nada tajam.
Alzena menoleh, lalu tersenyum tipis. "Oh, kamu sudah pulang? Tepat waktu. Aku hampir selesai."
"Apa-apaan ini? Kamu habiskan 350 juta dalam satu malam?!" suara Ferdinan naik beberapa oktaf.
Alzena mengangkat bahu, terlihat tidak terpengaruh. "Aku hanya beli kebutuhan kita, Fer. Kalau kamu keberatan, bilang saja."
"Kebutuhan? Lingeri merah? Tas branded? Cincin berlian? Ini bukan kebutuhan, Alzena! Apa maksudmu melakukan ini?" Ferdinan menatapnya tajam, wajahnya penuh emosi.
Namun, Alzena tetap tenang. "Aku hanya ingin tahu seberapa besar kesabaranmu. Kalau aku benar-benar penting buat kamu, seharusnya uang bukan masalah."
Ferdinan mendesah berat, mencoba mengontrol emosinya. "Alzena, ini bukan soal uang. Ini soal sikapmu. Kamu tidak bisa seenaknya menggunakan sesuatu yang bukan milikmu."
Mata Alzena tiba-tiba menunjukkan rasa terluka. "Bukan milikku, ya? Baiklah, aku mengerti." Dia bangkit, mengambil tas kecilnya, lalu berjalan ke pintu.
"Itu sudah cukup membuktikan bahwa aku tidak berhak atas apapun yang kau miliki, bahkan kartu yang kau berikan sekalipun, selamat tinggal."
"Alzena, tunggu!" panggil Ferdinan, tetapi Alzena sudah pergi, meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Ferdinan terduduk, memandang semua barang yang kini terasa kosong.
Kenapa aku tidak bisa mengabaikan dia, meski dia selalu membuatku marah? pikir Ferdinan. "Arrrgh, salah ya kalau aku ngomong begitu? kemana dia tengah malem begjni?" Ferdinan mengusap kasar wajahnya.
bersambung....