Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reading Ulang dan Rumor yang Bikin Ribut
Pagi itu Nayla dateng ke studio dengan mood agak beda. Bukan karena dia udah baikan sama semua orang—tapi karena semalam dia tidur nyenyak setelah obrolan panjang di mobil bareng Dimas.
Ada yang berubah.
Dan itu bukan cuma dari cara Dimas mandang dia, tapi juga dari cara Nayla ngerespon cowok itu.
Di ruang reading, semua tim naskah udah duduk. Dimas dateng agak telat, tapi langsung ngeluarin naskah asli—yang Nayla tulis.
“Hari ini kita reading versi yang bener,” kata Dimas lantang.
Raisa gak dateng. Belum nongol sama sekali. Dan nggak ada yang nyariin juga, to be honest.
Reading dimulai. Nayla baca bagian narasi, dan Dimas... baca part David. Tapi kali ini, beda. Dimas bawain David bukan sebagai cowok ganteng berkarisma, tapi sebagai laki-laki rapuh yang gak tau gimana caranya memperbaiki kesalahan.
“Nayla... gue gak minta lo balik. Gue cuma pengen lo maafin gue, biar lo bisa jalan terus tanpa beban. Gue bukan rumah lo... gue cuma badai yang pernah lo lewatin.”
Seketika, ruangan hening.
Mata Nayla panas. Dia nunduk, pura-pura betulin kertas. Tapi jelas... itu kalimat nancep banget.
Selesai reading, tepuk tangan kecil terdengar. Produser nyamperin Nayla.
“Naskah ini... gila. Versi ini jauh lebih dalam. Tapi lo harus siap, Nay. Investor banyak protes.”
“Protes kenapa?”
“Mereka bilang... terlalu emosional. Mereka maunya happy ending yang manis. Bahkan ada rumor Raisa lagi nyari aktor pengganti buat Dimas, katanya biar chemistry-nya lebih komersil.”
Nayla langsung nahan napas.
“Apa?! Gila aja. Dia gak punya hak.”
“Sayangnya, dia punya koneksi. Salah satu investor terbesar—paman dia sendiri.”
Nayla ngelirik Dimas, yang lagi duduk di sudut, sibuk nyoret-nyoret naskah sambil nyender ke tembok.
Dia tahu... kalo Dimas diganti, cerita ini bakal berubah total.
Sore harinya, Dimas nyamperin Nayla di parkiran.
“Gue denger-denger, gue mau diganti ya?”
“Rumor doang. Tapi Raisa gak pernah main-main kalo soal sabotase.”
Dimas senyum santai, tapi matanya jelas-jelas kesal.
“Kalo mereka ganti gue, lo tetep lanjut?”
Nayla diem. Lama.
“Gue gak tau. Tapi gue percaya, cerita ini cuma bisa dibawa sama orang yang ngerti luka di dalamnya. Dan sejauh ini, cuma lo yang bisa.”
Mereka diem bareng. Tapi gak canggung.
Dan saat Dimas nyalain motornya buat anter Nayla pulang, Nayla naik tanpa banyak tanya.
Mungkin, bukan soal siapa yang ngertiin cerita.
Tapi siapa yang berani jalan bareng... walaupun jalannya masih gelap.
Studio hari itu rame banget. Ada banyak wajah baru yang Nayla gak kenal. Tapi satu sosok langsung mencolok: Farel Satya, si aktor TikTok dengan jutaan followers dan wajah super mulus yang sering main sinetron FTV pagi.
Dia dateng bareng Raisa, dengan gaya santai tapi songong.
“Guys, kenalin, ini Farel. Dia bakal audisi buat peran David,” kata Raisa dengan suara nyaring, seolah semua orang emang udah setuju duluan.
Dimas yang lagi duduk di sofa pojokan cuma ngangkat alis.
“Kok audisi? Bukannya kita udah mulai reading?” tanyanya ketus.
“Belum resmi shooting. Masih bisa diganti kapan aja. Lagian, Farel bawa value yang lebih... komersil,” jawab Raisa sambil senyum lebar.
Farel mulai reading. Suaranya datar, ekspresinya minim. Kalimat-kalimat penuh luka dari karakter David berubah kayak quotes motivasi yang dibacain selebgram.
“Gue bukan rumah lo, Nayla. Gue cuma... badai yang lewat.”
Sunyi.
Bukan karena keren. Tapi... garing.
Nayla ngerasa kesel. Bukan karena Farel gak bisa akting, tapi karena semua orang kayak dipaksa nerima realita: popularitas lebih penting daripada kedalaman cerita.
Abis reading, Nayla langsung narik produser buat ngobrol empat mata.
“Kita harus ngobrol. Sekarang.”
Mereka pindah ke ruangan meeting kecil. Nayla buka laptop, nunjukin dua versi:
Satu rekaman reading sama Dimas, satu lagi rekaman Farel tadi.
“Lo denger sendiri, kan? Feel-nya beda jauh.”
“Tapi investor bilang Farel punya massa. Followers-nya banyak, brand gampang masuk.”
“Terus kualitas gak penting?”
Produser diem.
“Ini cerita nyata. Ini tentang perempuan yang bisa bangkit. Gue bukan jual fairy tale. Gue gak mau cerita hidup gue jadi bahan konsumsi yang dangkal cuma karena dia viral.”
Tiba-tiba pintu diketuk. Dimas masuk. Gak nunggu izin, langsung duduk di sebelah Nayla.
“Gue tahu gue bukan yang paling terkenal. Tapi kalau lo butuh seseorang yang ngerti luka karakter ini, yang bener-bener nyelam, gue siap buktiin.”
Dia ngeluarin selembar kertas dari jaketnya.
“Ini. Surat resign dari satu proyek sinetron gue. Gue tolak tawaran ratusan juta, cuma buat fokus di naskah ini.”
Nayla bengong.
Produser juga.
“Gue percaya cerita ini penting. Dan kalo kalian mau cari yang instan, silakan. Tapi gue... out.”
Keheningan yang panjang. Sampai akhirnya, produser nyandar ke kursi.
“Oke. Gue bakal ngomong lagi ke investor. Tapi lo berdua juga harus siap. Ini bakal perang.”
“Gue gak takut,” Nayla jawab cepat.
Dimas ngangguk.
“Gue juga enggak. Apapun buat cerita ini… dan buat Nayla.”