Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benalu perusak
Alena dengan baik menemani tamu yang tidak pernah diduganya, ia memapah wanita itu dalam berjalan karena ukuran perut yang sangat besar Alena menyadari pergerakkan Mei sangat terbatas, sayang sekali tidak ada yang mendampinginya padahal dia harus dibantu.
Kedua wanita anggun itu berdiri melihat pertunjukkan harmoni yang begitu menawan, ada perpaduan suara dari alat musik yang saat berhasil tertangkap oleh indra pendengaran semuanya terasa menenangkan jiwa.
Alena terus tersenyum sesekali matanya terpejam menikmati alunan musik yang begitu lembut ini, sebagian tamu juga sama seperti mereka hanyut dalam alunan penuh makna ini.
"Alena, aku haus. Boleh tolong ambilkan aku air?" pinta seseorang dengan sedikit memohon.
Alena mengangguk patuh. Tanpa banyak bicara, ia melangkahkan kaki menuju meja bulat yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Gaun putih panjangnya sedikit menyapu lantai, namun ia tetap berjalan hati-hati.
Mei dengan sengaja mencoba mendorong tubuh Alena dari belakang. Tubuh Alena tiba-tiba terhuyung ke depan. Untung saja refleksnya cukup baik ia berhasil menyeimbangkan diri sejenak. Tapi belum sempat ia menarik napas lega, sebuah kaki maju mendekat dan tanpa ampun menginjak ujung gaunnya dari belakang. Mei, tatapannya penuh sengaja, penuh siasat.
Brak!
Dengan sekali gerakan, tubuh Alena pun terjatuh. Ia tersandung keras, menabrak meja bulat di depannya. Suara benda-benda jatuh berserakan memenuhi ruangan, seluruh isi meja seketika menjadi pecah belah, dan lebih parahnya lagi, mengotori gaun putih mewah yang dikenakannya. Gaun itu kini ternoda, tak hanya oleh cairan, tapi juga oleh niat buruk yang tersembunyi di balik senyuman seseorang.
Belum cukup sampai di situ, Mei melangkah lebih jauh. Dengan tatapan dingin penuh niat jahat, ia dengan sengaja menginjak sebuah gelas kaca yang masih utuh di lantai. Suara krek! tajam terdengar ketika gelas itu pecah berkeping-keping. Serpihan kaca beterbangan dan sialnya, salah satunya terpelanting, melesat cepat, menghantam pipi Alena.
“Aaakhhh!” Alena menjerit perih. Sebuah luka terbuka di wajahnya yang cantik, mengalirkan darah tipis di pipi yang kini ternoda. Tapi Mei justru tersenyum puas, senyuman dingin yang menandakan ia belum selesai.
Secepat kilat, ia meraih segelas jus jeruk dari meja yang porak-poranda, dan tanpa ragu mengguyurkannya ke tubuh Alena yang masih terpuruk di lantai.
"Enak saja kau bersenang-senang di pestaku, Alena!" teriak Mei garang. "Ini pestaku, bukan milikmu!"
Seolah kehilangan kendali, Mei kemudian memungut sebuah cake coklat yang berserakan di dekat kakinya. Dengan gerakan cepat, ia melemparkannya cake itu tepat di wajah Alena, setelah puas mengotori wajah cantik Alena, perempuan itu semakin gila. Dia mendirikan paksa tubuh Alena lalu menamparnya berkali-kali.
“Perempuan sialan!”
Plak!
“Kenapa kau selalu mengambil milikku.”
Plak!
Alena tak sempat menghindar, apalagi melawan. Tubuhnya masih lemas, terkejut oleh luka dan perlakuan keji yang tak disangka-sangka. Sementara itu, Mei terus menyerangnya bertubi-tubi, bagai orang kesetanan. Emosinya meledak-ledak, wajah Alena sudah benar-benar hancur akibat tamparan keras yang diterimanya tanpa henti.
Orang-orang di sekitar yang semula menikmati pesta kini terdiam, lalu satu per satu mundur. Tak ada yang berani mendekat. Entah karena takut, bingung, atau mungkin terlalu terkejut. Keributan itu menciptakan ketegangan yang menggantung di udara.
“MEISYAA!” Suara lantang penuh amarah menghentikan serangan Mei, ia tersenyum miring melihat seorang yang baru saja membentak namanya.
“PEREMPUAN GILA!” Aleon dengan tergesa berlari menghampiri adiknya yang sudah sangat berantakan, pria itu langsung merangkul tubuh sang adik, danㅡ
PLAK!
Satu tamparan yang menghasilkan bunyi nyaring menyambut Mei, wanita itu terkejut saat mendapati seseorang yang baru saja menamparnya adalah Danendra, seakan belum puas Danen kembali melayangkan satu tamparan sehingga tubuh yang berisi itu terhuyung dan langsung disambut oleh Via dibelakangnya.
“DANEN!” Livia berteriak tidak kalah nyaring, dia berusaha melindungi tubuh sahabatnya, “Jangan macam Danendra dia sedang hamil,” peringat Via.
“Aaakhhh!” Danen mengerang frustasi saat melihat tubuh Mei yang baru saja ia beri pelajaran bergetar ketakutan sembunyi dibelakang tubuh sahabatnya.
“Bawa dia pergi!” Mei menatap tidak percaya, dia tidak menyangka ternyata Danendra tidak berada dipihaknya, “cepat sebelum kubunuh dia!” Satu kalimat yang berhasil membuat tubuh Mei melemas, benarkah suaminya berkata demikian, bagaimana mungkin padahal selama ini pria itu selalu berkata manis dan berlaku baik kepadanya.
Dengan sedikit diseret Via berusaha menarik tubuh sahabatnya untuk keluar dari tempat ini, Meisya benar-benar bisa mati jika lama-lama dalam situasi ini, semua orang menatapnya marah apalagi tatapan Danendra dan dari jauh dia juga melihat Dharma dengan wajah yang merah padam menatap tajam kepada Mei, sepertinya sosok tangguh Dharma juga sedang menahan diri, dia sadar jika dirinya kehilangan kontrol nyawa seseorang bisa melayang.
Mei tidak mengerti kenapa kali ini Danendra tidak tunduk dengan tatapannya, padahal sebelumnya pria itu selalu melakukan apapun yang Mei pinta asal bukan menceraikan Alena. Danen yang sedang dalam keadaan di guna-guna oleh Mei masih bisa merasakan perasaannya untuk Alena, dia masih bisa berpikir rasional dan melawan segala bisikkan-bisikkan yang terus mengganggunya.
Mei beranggapan mungkin ritual yang ia gunakan selama ini belum sempurna, dia harus kembali menemui dukun itu melakukan apa pun agar suaminya tidak ada celah untuk menolak dirinya.
“Mei lo gila hah?” Mei sedang melamun di kursi penumpang tepat disamping Via yang menyetir mobil terperanjat saat tiba-tiba suara bentakan menghampirinya.
“Bukankah sudah gue peringatkan jangan buat keributan, masih untung lo gue kasih kesempatan untuk masuk, kalo bukan karena gue lo gak bisa masuk ke acara Alena.”
“Lo bilang cuman pengen lihat Danen tapi apa lo malah nyerang Alena, sadar gak sih perbutan lo tadi berbahaya.” Via terus mengomel, ia kesal sekali dengan kebodohan Meisya.
Sebelum membalas omelan Via, Mei menghela napas kasar, “gue udah coba nahan diri, tapi muka sok polos Alena bikin gue kesal Vi.”
“Alena itu gak ngapain-ngapain dia nyambut lo dengan baik, lo aja tu yang keterlaluan.”
“Keterlaluan? Vi, Lena bisa bahagia merayakan syukuran tujuh bulannya, dia syukuran untuk kehamilan gue, seharusnya gue yang di sana mendampingi Danen bukan perempuan sial itu.”
Bukh!
Via memukul roda kemudianya dengan kasar, ia menatap tidak percaya dengan sahabatnya ini, tidakkah dia sadar akan posisinya.
“Mei lo sadar gak sih lo tu cuman simpanan Danendra, lo bukan siapa-siapa, masih untung Danen mau bertanggung jawab dengan hidup lo, udahlah jangan aneh-aneh.”
“Turunin gue!”
“Turunin gue Via, lo gak guna sama aja kayak yang lain!”
Setelah membanting pintu sosok yang penuh amarah itu semakin menjauh dari mobil Via, dia misuh-misuh sendiri karena kekesalannya, jika terus bersama Via dia akan terus mendapat omelan jelas bukan itu yang ia butuhkan.
Mei perlahan mengilang bersama bayangan taxi yang baru saja dinaikinya. Livia juga tidak ambil pusing, orang itu sudah dewasa dia seharusnya bisa merenungkan sendiri atas perbuatannya barusan.
Via juga sama-sama wanita simpanan, tadi dia tahu diri akan posisinya, dia tidak menuntut lebih karena menjalin hubungan dengan suami orang karena yang terpenting cintanya berbalas itu sudah cukup memuaskan hatinya. Dan dia tidak mengerti kenapa Mei tidak bisa seperti dirinya, berdiam diri duduk manis menunggu giliran akan cinta dari suami orang lain.
“Semoga Tuhan selalu mengampuni kita Mei.” Via memutar balik, tidak berniat sedikit pun menyusul orang itu, Mei itu keras kepala percuma jika dia tetap bersikeras memberi wejangan itu tidak akan berguna.
Bersambung.