Kim Tae-min, seorang maniak game MMORPG, telah mencapai puncak kekuatan dalam dunia virtual dengan level maksimal 9999 dan perlengkapan legendaris. Namun, hidupnya di dunia nyata biasa saja sebagai pegawai kantoran. Ketika dunia tiba-tiba berubah akibat fenomena awakening, sebagian besar manusia memperoleh kekuatan supranatural. Tae-min yang mengalami awakening terlambat menemukan bahwa status, level, dan item dari game-nya tersinkronisasi dengan tubuhnya di dunia nyata, membuatnya menjadi makhluk yang overpower. Dengan status dewa dan kekuatan yang tersembunyi berkat Pendant of Concealment, Tae-min harus menyembunyikan kekuatannya dari dunia agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Di tengah kekacauan dan ancaman baru yang muncul, Tae-min dihadapkan pada pilihan sulit: bertindak untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran, atau terus hidup dalam bayang-bayang sebagai pegawai kantoran biasa. Sementara organisasi-organisasi kuat mulai bergerak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyawa dan Loyalitas
Iron Revenant berdiri dengan tubuh berlapis baju zirah hitam legam, matanya bersinar merah di balik helmnya, memancarkan kemarahan. Di tangannya, sebuah kapak raksasa dengan aura hitam pekat yang menyelimuti bilahnya Shadow Cleaver. Energi gelap berkilauan, seolah-olah memakan cahaya di sekitarnya.
“Kau... membunuh mereka seperti memotong tahu,” suaranya berat dan menggelegar seperti gemuruh petir.
Aku mengangkat bahu. "Ya ampun, drama banget sih. Kamu ini pahlawan keadilan atau apa? Udah, jangan sok penting."
Dia tidak menggubris kata-kataku. Tiba-tiba, dia mengangkat kapaknya, melepaskan serangan mematikan ke arahku dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan tebing.
Aku mengangkat Heavenly Sword of Ragnarok dan menangkis tebasan itu. Benturan keras menggetarkan tanah di bawah kaki kami, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan lantai. Namun, aku tetap berdiri tegap, tanpa bergeser sedikitpun.
Iron Revenant tampak terkejut, matanya menyala lebih terang. "Bagaimana...?"
Aku tertawa kecil. "Oh, aku cuma ingin tahu, apakah kamu serius menyerang? Soalnya, kalau ini serius, beneran deh, nggak ada efek sama sekali."
Dia meraung dan tiba-tiba mengaktifkan skill Abyssal Strike. Aura hitam pekat menyelimuti tubuhnya, dan kapaknya berubah menjadi lebih besar dan lebih berat, memancarkan energi jahat yang menggema. Dia menebas lagi dengan kekuatan yang bahkan lebih dahsyat.
Aku menangkis serangan itu lagi dengan Heavenly Sword of Ragnarok, tapi kali ini aku harus sedikit menekan pedangku. Energi dari benturan memecahkan lantai di sekitar kami, menghancurkan segala sesuatu di jalur gelombang energi tersebut.
“Keren,” aku mengejek sambil memiringkan kepala, “tapi serius deh, masih biasa aja. Kamu ini kayak mau jadi bos akhir, tapi lupa latihan dulu.”
Iron Revenant semakin marah, lalu dia tiba-tiba melompat mundur. "Dark Mist!" serunya, mengaktifkan skill berikutnya. Kabut hitam pekat mulai menyebar dari tubuhnya, menutupi seluruh ruangan dalam sekejap. Kabut itu menyerap cahaya, menciptakan kegelapan total. Aku tidak bisa melihat apapun.
Aku menghela napas. "Wah, trik murahan."
Dari dalam kabut itu, terdengar suara langkah berat. Dia menggunakan Shadow Blink, menghilang dari pandangan dan muncul di belakangku, menebas dengan Shadow Cleaver dalam serangan mematikan. Namun, aku sudah merasakannya.
Dengan gerakan cepat, aku berbalik dan menangkis kapaknya tepat sebelum mengenai tubuhku. Lagi-lagi, aku tidak bergeser sama sekali. Tebasan penuh tenaga itu hanya menciptakan dentingan logam yang memekakkan telinga.
“Kamu beneran suka kegelapan, ya?” aku tertawa. "Tapi, aku sih udah cukup sama drama gelap-gelapan kayak gini."
Dia mencoba serangan bertubi-tubi dengan kombinasi dari Shadow Blink dan Abyssal Strike, membuatnya muncul dan menghilang di balik kabut hitam untuk menyerangku dari berbagai sudut. Tapi setiap serangan yang dia lakukan, aku menangkis dengan mudah, tanpa bergerak sedikitpun dari tempatku.
"Kamu serius? Ini rencana terbaikmu?" aku mengejek, merasa makin bosan. "Kamu ini kayak badut sirkus yang mau jadi ninja."
Iron Revenant menggeram. "Aku akan menghancurkanmu!" Dia mengangkat kapaknya tinggi-tinggi, memanggil energi gelap dari bawah tanah. "Dark Judgment!"
Dari bawah, bayangan hitam mulai menyelimuti tanah, berubah menjadi pilar-pilar energi jahat yang mengarah padaku dengan kecepatan tinggi. Setiap pilar bayangan yang meledak di sekitarku menciptakan kawah di lantai, menghancurkan segala sesuatu di jalurnya.
Tapi aku berdiri diam, menangkis setiap pilar yang mengarah kepadaku dengan Heavenly Sword of Ragnarok, tanpa rasa panik sedikit pun.
"Dark Judgment, ya?" aku tersenyum, “Bro, ini bukan pengadilan. Ini cuma pertandingan ‘siapa yang lebih tahan bosen’. Dan kamu kalah jauh.”
Dia menyerang lagi, kali ini dengan skill Soul Rend, menggabungkan kapaknya dengan energi dari jiwa-jiwa yang tersesat. Setiap tebasannya mengeluarkan jeritan menyayat dari arwah yang terperangkap. Kapaknya kini lebih berat, lebih berbahaya, tapi aku masih menangkisnya dengan santai, tanpa goyah.
Aku mengangkat bahu. "Serius, ini nggak ada apa-apanya."
Iron Revenant mundur lagi, kali ini benar-benar terengah-engah. Napasnya berat, mungkin terkejut bahwa aku masih berdiri tanpa luka.
Dia menggeram, "Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
Aku mengarahkan pedangku ke arahnya. "Sebenarnya, aku nggak peduli sama apapun rencana bodoh kalian. Mau kalian bunuh semua orang, kuasai dunia, bikin kultus gila, aku nggak peduli.”
Aku mendekatinya perlahan, tatapanku jadi dingin. "Tapi satu hal yang bikin aku marah... kalian menipuku soal ginseng 1000 tahun di Gunung Cheonggyesan."
Dia tampak bingung. "Kau... marah karena itu?"
Aku tertawa sinis. "Ya, jelas. Aku buang-buang waktu buat mendaki gunung sialan itu, dan yang aku dapat cuma... udara dingin. Dan sekarang, aku harus menendang pantatmu karena kebohongan itu."
Iron Revenant menatapku dengan mata merah yang menyala penuh kebencian. "Kau akan menyesal."
Aku mengarahkan pedangku ke dadanya. "Tidak, bro. Yang bakal menyesal itu kamu."
Aku memutar-mutar Heavenly Sword of Ragnarok di tangan, menatap Iron Revenant yang berdiri dengan napas terengah-engah di hadapanku. Jelas dia sudah kehabisan tenaga, tapi rasa marahnya masih membara. Namun, aku merasa... bosan.
"Eh, tahu nggak," kataku santai, sambil menyimpan Heavenly Sword of Ragnarok kembali ke dalam inventory. "Kayaknya pedang ini terlalu berat untuk lawan kayak kamu."
Iron Revenant menegang, matanya menyipit penuh kebencian. "Apa maksudmu?!"
Aku mengangkat bahu sambil mengambil pedang samurai hitam biasa dari inventory. Sederhana, ringan, dan tidak ada aura spesial—hanya sebuah katana. Aku memandanginya dengan senyum kecil. "Nah, ini kayaknya lebih pas buat lawan sepertimu. Jangan khawatir, aku nggak bakal pakai yang terlalu OP."
Iron Revenant tampak semakin marah, dia menggenggam erat kapaknya. "Kau menghina aku?"
Aku tertawa kecil. "Eh, nggak juga sih. Aku cuma kasihan. Kamu jelas-jelas susah payah, tapi tetap nggak bisa bikin aku bergerak satu langkah pun. Jadi ya... ini aku kasih kesempatan. Lebih adil gitu."
Aku mulai melangkah maju dengan santai, memegang katana hitam di satu tangan. "Ayo, kasih serangan terbaikmu lagi."
Iron Revenant meraung penuh kemarahan. "Aku akan mencabik-cabikmu!"
Dia berlari ke arahku dengan Shadow Cleaver yang masih menyala hitam pekat, energi dari Abyssal Strike kembali menyelimutinya. Dia menebas ke arahku dengan kekuatan penuh.
Aku menangkis serangannya dengan mudah menggunakan katana biasa ini. Tidak ada getaran, tidak ada dampak besar hanya suara besi beradu. Aku bahkan tidak bergerak dari tempatku. Lagi.
"Wow, seranganmu beneran... menggelitik," kataku sambil tersenyum, lalu menendang perutnya keras-keras, membuatnya terlempar mundur beberapa meter.
Iron Revenant jatuh, menghantam lantai dengan keras. Dia memuntahkan darah, tapi masih berusaha berdiri.
"Ayo dong, bangkit. Kamu kan mau balas dendam, bukan?" Aku melangkah maju lagi, mengayun-ayunkan katana hitam di tangan.
Dengan tubuh gemetar, dia kembali berdiri. Energi hitam kembali menyelimuti tubuhnya. Dia menggeram, matanya semakin menyala merah.
"Tidak mungkin... aku kalah dari orang sepertimu!" Dia memekik, meluncurkan serangan pamungkasnya—Soul Rend. Kapaknya berubah lebih gelap, terisi penuh oleh arwah-arwah tersesat yang menangis dan merintih, menciptakan jeritan menyayat telinga. Dia menebas ke arahku dengan kekuatan luar biasa.
Aku tersenyum sinis dan menangkis serangannya dengan katana hitamku. Kali ini, aku sengaja melakukannya dengan sedikit kekuatan, dan serangan itu berhasil membuatku sedikit terdorong ke belakang, meskipun aku tidak menunjukkan rasa sakit atau ketegangan.
"Wow, lumayan. Sakit juga kalau aku nggak serius," kataku, menatap kapaknya yang mulai retak karena tekanan pedangku.
Dia terkejut. "Kau... kau monster!"
Aku terkekeh. "Monster? Nggak kok. Aku cuma orang yang kesel banget ditipu soal ginseng 1000 tahun. Itu saja."
Aku melihat dia mulai mundur dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melanjutkan serangan. Aku memutar-mutar katanaku lagi dengan ringan, lalu menatapnya dengan senyum yang penuh ejekan.
"Sudah selesai?" tanyaku. "Yah, kalau gitu, waktunya aku tunjukin trik favoritku."
Aku mengangkat katana hitam itu, memutarnya di udara. Dan dengan suara rendah yang penuh kepuasan, aku berbisik:
"Final Release... A Thousand Shadow Blades."
Tiba-tiba, katana hitam di tanganku terpecah menjadi ribuan serpihan pedang kecil yang beterbangan di udara. Serpihan-serpihan itu tampak seperti kelopak bunga sakura hitam, berputar-putar di sekeliling Iron Revenant dengan kecepatan tinggi.
Matanya melebar penuh teror saat dia melihat ribuan pedang kecil itu mengelilinginya.
"Apa ini...?"
Aku menatapnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Selamat datang di neraka, kawan. Ini hanya akhir dari semua omong kosong yang kau bawa."
Dengan satu gerakan tangan, aku mengarahkan serpihan pedang itu ke arah Iron Revenant, dan ribuan pedang itu menyerbu tubuhnya dari segala arah. Jeritan kesakitannya menggema saat tubuhnya disayat berkali-kali oleh pedang-pedang kecil itu, menghancurkan baju zirahnya hingga terlepas sedikit demi sedikit, menyayat kulitnya sampai darah bercucuran.
Iron Revenant berusaha bertahan, tapi tubuhnya tak mampu lagi menahan serangan brutal itu. Pedang-pedang itu terus menyerang, tidak berhenti, sampai akhirnya tubuhnya tidak lagi bergerak.
Namun, saat aku melangkah mendekat, aku melihat dia masih bernafas. Tubuhnya penuh luka, darah mengalir deras dari sayatan di sekujur tubuhnya, tapi dia masih hidup. Matanya, yang sekarang penuh kebencian dan rasa sakit, menatapku dengan dendam membara.
Aku menyeringai, duduk di kursi takhta es yang ditinggalkan bos sebelumnya, lalu menatapnya. "Oh? Masih hidup? Yah, itu menarik. Jadi, apa yang mau kamu bilang sekarang?"
Iron Revenant berusaha membuka mulutnya, tapi hanya darah yang keluar. Tubuhnya gemetar, hampir sekarat, tapi aku tahu dia belum menyerah sepenuhnya. Dia masih berusaha untuk bangkit, meskipun sia-sia.
Aku menghela napas panjang. "Yah, baguslah. Setidaknya kamu nggak mati dalam satu serangan kayak yang lain. Aku harus kasih kredit untuk itu."
Aku berdiri di depan Iron Revenant yang sudah setengah mati, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya berlumuran darah, tapi matanya... matanya masih memancarkan api kebencian. Meskipun tubuhnya nyaris hancur, dia belum menyerah. Aku menyeringai—ini akan menyenangkan.
"Ayo kita main sedikit," gumamku pelan, lalu mengaktifkan skillku yang paling sadis. Dunia di sekitarku tiba-tiba melambat. Waktu... melambat.
Iron Revenant mencoba bergerak, tapi dalam kecepatan lambat seperti itu, semua usahanya sia-sia. Aku bisa melihat betapa putus asanya dia saat ini, matanya yang perlahan-lahan menyadari bahwa apapun yang terjadi sekarang, dia takkan bisa kabur dari apa yang akan datang.
"Ini akan terasa lama... sangat lama," bisikku. "Tapi tenang, aku akan membuatnya... menyakitkan."
Aku mencengkeram tangannya dan menarik jari-jarinya satu per satu. Dengan pelan, aku mulai memutar dan menarik, merobek jari-jari itu seakan hanya seutas benang. Dia merintih, tapi suaranya terdengar pelan, seolah-olah terhisap oleh perlambatan waktu. Jarinya yang pertama terlepas—darah muncrat keluar seperti air mancur. Namun, aku tidak berhenti.
Satu jari. Dua jari. Tiga. Setiap tarikan, setiap putaran, membuatnya lebih menderita. Aku merasakan kegembiraan yang aneh melihatnya meronta-ronta dalam kesakitan tanpa harapan. Darah mengalir semakin banyak, membasahi lantai es di sekitarku.
"Oh, lihat itu, tanganmu jadi lebih ringan," aku tertawa kecil, memutar-mutar jari-jarinya di tangan seolah mainan kecil. "Tapi kita belum selesai."
Aku memegang lengannya sekarang. Dengan satu gerakan, aku menarik lengannya, memperlambat waktu lebih lagi hingga setiap detik terasa seperti menit yang tak berujung. Lengannya tertarik perlahan, tulang-tulangnya mulai berderak, otot-ototnya meregang hingga terlepas dari sendi.
Iron Revenant tidak bisa berteriak dengan keras, tapi aku bisa melihat rasa sakit itu di matanya—rasa putus asa yang mendalam. Dia mencoba bicara, mungkin mencoba meminta belas kasihan, tapi aku tidak memberinya kesempatan.
"Kamu pasti berpikir ini mimpi buruk, ya?" Aku tersenyum lebar, menarik lengan kirinya hingga seluruhnya tercabut. Darahnya menyembur deras, membasahi seluruh lenganku. Aku menyeringai sambil menatapnya. "Tapi sayangnya, ini sangat nyata."
Aku melanjutkan aksiku, memotong-motong bagian tubuhnya satu per satu, setiap gerakan terasa sangat lambat baginya. Aku bisa melihat dalam matanya, rasa sakit dan ketidakberdayaan itu. Setiap bagian tubuhnya yang kupisahkan, semakin jelas baginya bahwa dia takkan lolos dari sini hidup-hidup. Tapi tetap... dia belum bicara.
"Sungguh loyal, ya?" kataku, mencengkeram pergelangan kakinya dan mulai menariknya perlahan-lahan. Aku bisa mendengar tulang-tulangnya retak dan patah. Darah bercampur dengan es di lantai, menciptakan pemandangan yang aneh tapi memuaskan.
Kakinya terlepas, jatuh ke lantai dengan bunyi yang pelan namun memuakkan. Aku melihat Iron Revenant yang kini hanya tinggal torso berdarah. Tubuhnya penuh luka, napasnya semakin lemah, tapi tatapannya masih keras—masih penuh kebencian.
Aku memiringkan kepala, sedikit heran. "Kamu tahu, aku mulai merasa kagum sama kamu. Serius. Sampai detik ini, kamu masih belum bicara."
Aku melangkah lebih dekat, mendekatkan wajahku ke wajahnya yang pucat penuh darah. "Apa itu artinya nyawamu tidak sebanding dengan loyalitasmu? Apakah pemimpinmu itu benar-benar pantas untuk kau pertahankan sampai mati?"
Iron Revenant menatapku dengan mata yang hampir kosong, tapi tetap diam. Dia tidak mengatakan apapun.
Aku menghela napas panjang. "Yah... kurasa, kita tahu jawabannya."
Aku berdiri, menatapnya dari atas dengan tatapan penuh cemoohan. "Aku pikir tidak ada yang setara dengan nyawa seseorang, apalagi buat orang seperti kamu. Tapi ternyata aku salah."
Dengan perlahan, aku mengangkat pedangku, mengarahkannya ke lehernya yang penuh darah.
"Aku pikir loyalitasmu pada pemimpinmu itu bodoh. Tapi siapa aku untuk menghakimi, kan?" Aku tersenyum sinis. "Setidaknya, kamu nggak akan melihat besok."
Dan dengan satu gerakan cepat, aku mengayunkan pedangku, memotong lehernya hingga kepalanya jatuh ke lantai dengan bunyi pelan, darah mengalir deras dari tubuh tanpa kepala itu.
Aku melihat tubuh Iron Revenant yang kini tak lagi bergerak. Tidak ada lagi suara, tidak ada lagi rasa sakit. Hanya keheningan yang menyeramkan.
"Aku harap mereka menganggapmu pahlawan di sana," kataku, menyarungkan pedangku kembali.
Setelah itu, aku melangkah pergi, meninggalkan tubuhnya yang sudah tercerai berai. Bagiku, ini hanyalah babak kecil dalam perjalanan panjang untuk membalaskan dendamku. Iron Revenant hanyalah satu bagian dari kultus sialan yang harus kubinasakan.
dah gitu aja.
kecuali.
dia punya musuh tersembunyi. demi nemuin musuhnya ini dia tetep low profile gitu. atau di atas kekuatan dia masih ada lagi yang lebih kuat yang membuat dunianya berubah makannya untuk nemuin harus tetep low profile dan itu di jelasin di bab awal. jadi ada nilai jualnya.