Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NAMBAHIN BEBAN
Malam itu juga, jenazah Pak Rahmat dimakamkan. Ara jatuh pingsan tatkala melihat jasad ayahnya dimasukkan ke dalam keranda. Banyak sekali yang datang ke pemakaman Pak Rahmat meski sudah terbilang larut. Selain para tetangga dan saudara, pemakaman juga dipenuhi oleh orang-orang berjaket hijau, rekan seperjuangan beliau.
Keesokan harinya, para guru dan teman sekelas Ara datang untuk takziah. Ara yang kondisi kesehatannya sedang tidak bagus, hanya bisa keluar sebentar untuk menyalami mereka. Sejak semalam, Ara berkali-kali pingsan. Setiap melihat sesuatu yang mengingatkan pada sang ayah, dadanya akan langsung sesak karena rasa bersalah yang teramat, dan berujung pingsan. Meru dan teman-temannya, meski tidak sekelas, juga datang untuk takziah.
Hari ini malam ke 7 kematian Pak Rahmat. Di ruang tamu yang yang baru saja dipakai untuk tahlilan, Arif mengajak Ara mengobrol. Duduk lesehan di karpet, bersebelahan sambil menyandarkan punggung di dinding. Setiap malam, Arif tak pernah absen mengikuti tahlilan untuk mendoakan alm. Pak Rahmat.
"Turut berduka cita ya, Ra."
"Makasih, Bang," Ara mengangguk.
"Ayah kamu orang yang sangat baik, Ra. Orang yang tidak pernah itung-itungan dalam melakukan kebaikan. Selalu menjaga lisan dan perbuatan agar tidak menyakiti orang lain, dan beliau adalah seorang pekerja keras. Semoga alm. mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah."
"Aamiin."
"Abang kagum sekali dengan ayah kamu. Semangatnya bekerja sangat luar biasa," Arif tersenyum. "Abang yang masih muda saja kalah. Dan satu lagi yang Abang kagumi, almarhum tidak pernah mengeluh, gak seperti Abang."
Ara teringat wajah lelah ayahnya saat pulang kerja. Seperti yang dikatakan Arif, ayahnya itu tak pernah mengeluh meski terlihat lelah.
"Jangan nangis terus, ayah kamu pasti gak mau lihat itu," Arif bicara seperti itu karena melihat mata Ara bengkak. "Ayah kamu sayang banget sama kamu. Almarhum sering nyeritain kamu loh, dia bilang, bangga punya anak seperti kamu."
Air mata Ara langsung berlinang mendengar itu. Tak bisa membayangkan seperti apa hancurnya hati sang ayah saat tahu anak yang selalu ia banggakan, hamil di luar nikah.
"Baru juga dibilangin jangan nangis," Arif mengambil tisu yang ada di tengah ruangan, memberikan pada Ara. Setelah melihat Ara tenang, ia kembali bicara. "Sebelum meninggal, kami sempat ngobrol. Beliau menitip pesan untuk kamu."
Ara yang mulanya menunduk, langsung mengangkat wajah, menatap Arif.
"Pak Rahmat minta maaf sama kamu, Ra."
"Ma, maaf?" Sebuah kata yang membuat Ara sangat terkejut.
Arif mengangguk. "Pak Rahmat merasa bersalah karena selama ini terlalu sibuk bekerja sampai tidak ada waktu untuk kamu. Dia juga bilang, kalau dia sayang banget sama kamu."
Ara makin sesenggukan mendengar pesan dari ayahnya. Harusnya ia yang minta maaf karena telah mengecewakan ayahnya.
Di dapur, Imel masih melanjutkan mencuci peralatan masak yang kotor setelah beberapa tetangga yang membantu pulang.
"Ara jadi tanggungan kita dong Bang sekarang, Ayah kan sudah meninggal," ucap Imel sambil membilas piring yang baru ia sabun. Sejak mertuanya meninggal, ia memikirkan tentang itu.
"Ya mau gimana lagi, dia kan adik Abang," sahut Ridho yang duduk di kursi makan dengan secangkir kopi di hadapannya.
"Makin berat aja dong beban hidup kita kalau ditambah Ara," sengaja Imel bicara kencang agar Ara yang ada di ruang tamu mendengar ucapannya. Rumah itu memang tidak terlalu besar, jarak dapur ke ruang tamu tidaklah jauh.
"Jangan keras-keras Mel, nanti kedengeran Ara. Ada teman ayah juga, malu."
Imel menghela nafas panjang, mencuci tangan setelah cuciannya selesai lalu menghampiri Ridho dan duduk di hadapannya.
"Sekolah Ara itu mahal, Bang. Lagian kenapa sih dulu ayah kamu nyekolahin Ara disana, itu kan sekolahan elit. Gaji kamu bisa habis untuk bayar SPP nya, belum lagi uang saku sehari-hari."
Ridho menarik nafas panjang. "SPP Ara udah ada yang nanggung, kamu gak perlu khawatir. Dulu ayah pernah nolong orang, dan orang yang ditolong itu ternyata pemilik yayasan tempat Ara sekolah, jadi biaya sekolah Ara, beliau yang tanggung."
"Syukur deh kalau gitu," Imel bernafas lega, tapi bukan berarti, masalah Ara, sudah ia anggap selsai. "Tapi tetep aja, biaya makan sehari-hari sama uang saku, juga lumayan banyak. Bang, apa rumah ini kita jual saja ya, lumayan kan duitnya. Kebutuhan kita banyak loh setelah ini."
"Gak bisa," ujar Ara yang tiba-tiba muncul. "Rumah ini udah atas nama aku, warisan untukku karena Abang udah dapat rumah sebelah. Jadi Mbak Imel gak bisa mau main jual aja."
"Heh Ra," Imel langsung berdiri, menatap tajam Ara. "Sekarang itu kamu jadi tanggungan kami, jadi beban kami. Kamu pikir biaya makan sehari-hari gak banyak, belum lagi uang saku kamu dan mungkin biaya lain-lain juga misalnya kamu sakit atau apa. Udah deh, mending kamu setuju aja, sekarang kamu udah gak punya siapa-siapa, cuma numpang hidup sama kami."
"Mel!" bentak Ridho. "Jangan ngomong seperti itu."
Imel beralih menatap Ridho. "Udah deh Bang, gak usah sok kaya, sok sanggup menghidupi Ara, gaji kamu itu pas-pasan. Zian masih butuh popok, butuh susu, butuh jajan. Lagian warisan anak laki-laki itu 2 kali lipat dari anak perempuan, mana bisa dianggap adil jika dapat rumah satu-satu."
"Astaga!" Ara tersenyum miris. Sial sekali nasib abangnya punya istri serakah seperti Imel. "Mbak lupa ya, saat Mbak Imel melahirkan Zian, Mbak mengalami pendarahan hebat dan sampai masuk ICU. Zian juga beberapa hari di NICU karena ada masalah dengan paru-parunya. BPJS gak bida mengcover semua. Mbak tahu, biayanya dari mana? Ibu jual sawah di kampung Mbak, sawah warisan dari orang tuanya. Rumah, sawah, apa itu masih belum cukup sampai Mbak ingin menjual rumah ini?" ia menitikkan air mata, sedih sekali saat dirinya dianggap beban. Lebih sakit lagi, rumah peninggalan orang tua yang memiliki banyak sekali kenangan, ingin dijual.
"Sudah, sudah," lerai Ridho. "Istigfar kalian berdua. Ayah pasti sedih lihat kalian bertengkar seperti ini. InsyaAllah nanti akan ada jalan rezekinya, belum dijalani kok udah berfikir macam-macam."
"Ara gak akan numpang hidup sama Abang," Ara menatap Ridho. "Ara akan cari makan sendiri, menghidupi diri Ara sendiri. Ara punya tabungan, Ara juga bisa jualan kue," ia beralih menatap Imel. "Gak usah khawatir Mbak, aku gak akan minta uang sama suami kamu," meninggalkan keduanya, kembali ke dalam kamar.
...----------------...
SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA.
MASAK APA HARI INI?
thor...
masih ngikut..
ngakak jgaa gara2 rujak .
masih ngikut..
eh akhirnya senyum2..
teeerharu...
bisa diambil pelajarannya
berat deh klau punya ipar kyak imel
semeru.....
semangat terus thor...
aq berusaha mbaca maraton ini cerita?
thor ceritanya sangat menyentuh...
ada pelajaran yg bisa diambil...
lanjut terus....
kita ambil hikmahnya aja...