NovelToon NovelToon
HAZIM

HAZIM

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Haryani Latip

Awal pertemuan dengan Muhammad Hazim Zaim membuat Haniyatul Qoriah hampir terkena serangan Hipertensi. Meski gadis itu selalu menghindar. Namun, malangnya takdir terus mempertemukan mereka. Sehingga kehidupan Haniyatul Qoriah sudah tidak setenang dulu lagi. Ada-ada saja tingkah Hazim Zaim yang membuat Haniyatul pusing tujuh keliling. Perkelahian terus tercetus diantara mereka mulai dari perkelahian kecil sehingga ke besar.

apakah kisah mereka akan berakhir dengan sebuah pertemanan setelah sekian lama kedua kubu berseteru?
Ataukah hubungan mereka terjalin lebih dari sekadar teman biasa dan musuh?

"Maukah kau menjadi bulanku?"

~Haniyatul Qoriah~

🚫dilarang menjiplak

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haryani Latip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nilai UAS (part2)

Setiap usaha tidak

pernah mengkhianati hasil

______________________________________________

"Mbak, perpustakaan sudah mau tutup," ucap gadis manis berlesung pipi.

"Permisi, mbak." Pundak Haniyatul di pegangnya perlahan. Berharap gadis yang sedang tertidur lelap itu ingin bangun.

Perlahan Haniyatul membuka matanya. Menggosok-gosok kelopak matanya. Dan berusaha memperjelas penglihatannya yang samar-samar. Kemudian, ia melirik kearah arloji yang terpasang di tangan kanannya.

Matanya melebar begitu melihat sudah hampir pukul satu siang. Bergegas ia bangkit dari posisi duduknya. Seraya merapikan buku-buku yang berhamburan di atas meja.

"Maaf, saya ketiduran," ucap Haniyatul.

Si gadis manis berlesung pipi itu hanya tersenyum.

"Eh, ini punya siapa?" tanya Haniyatul ketika melihat terdapat minuman You-c1000 dan Nestle Bearbrand di atas mejanya.

"Tuh, ada pesan, mbak. Coba dibaca,"

Haniyatul membaca tulisan di atas kertas yang di tempel pada botol minuman You-c1000. Tak perlu bertanya lagi siapa pemilik tulisan tersebut, karena Haniyatul sudah tahu benar siapa yang menuliskan pesan itu buatnya. Siapa lagi jika bukan Zaim.

Haniyatul celingak-celinguk mencari sosok Zaim. Tapi, ia tidak menemukannya.

"Sudah pergi, mbak," gadis berlesung pipi itu tersenyum lebar. Seakan ia tahu Haniyatul sedang mencari siapa.

"Oh." Haniyatul memasukkan kedua minuman yang di berikan Zaim ke dalam tas ranselnya. Lalu mengatur langkah dan pamit pada si gadis berlesung pipi tersebut.

***

Aida membuka pintu kamar anaknya.

"Han, sudah makan malam?" tanya Aida.

Haniyatul menoleh kearah pintu yang terbuka lebar. "Belum, bu."

"Udah dulu belajarnya, sudah pukul sembilan loh, tapi kamu belum makan," ucap Aida.

"Sebentar, bu, lima menit," sahut Haniyatul.

"Sekarang, Han!" Aida bersikukuh. Tidak ingin perintahnya di bantah.

"Iya, iya," sahut Haniyatul lagi. Pasrah. Ia merapikan buku-buku paket yang berhamburan di atas meja belajarnya.

Melihat sang anak mulai beranjak keluar dari kamar. Aida pun mengatur langkah menuju ke ruang tamu.

Sememangnya, beberapa hari ini Haniyatul kurang memperhatikan soal makanannya. Terkadang saat sedang sibuk belajar, ia sampai lupa untuk makan.

Setelah selesai makan, Haniyatul kembali ke kamarnya. Ia sempat mengerling kearah ibunya yang sedang menonton televisi. Lalu beranjak masuk ke dalam kamar.

Di buka kembali buku matematikanya. Namun, ketika ia ingin mengerjakan soal nomor delapan, pandangannya teralihkan pula pada minuman You-c1000. Minuman itu belum dibukanya sama sekali. Apalagi minuman Nestle Bearbrand, langsung tidak pernah disentuhnya.

Haniyatul mengurungkan niatnya untuk belajar. Lantas di gapainya minuman You-c1000 yang di berikan Zaim pagi tadi.

Makasih. Batinnya.

Haniyatul membuka botol minuman You-c1000, lalu meneguk perlahan isinya.

Adakalanya sulit bagi kita untuk menunjukkan rasa kasih pada orang yang kita sayang. Lebih sering emosi walau sebenarnya kita juga perhatian padanya. Namun, terkadang juga kita lebih sering menyakiti orang-orang yang selalu di sisi. Dan saat mereka tiada baru kita sadar seberapa berharganya mereka. Itu pun jika sadar, karena lebih dominannya kita selalu merasa benar.

Aydan duduk atas kursi berbahan besi. Pulpennya di letak sembarang di atas meja. Kemudian, ia menggapai minuman You-c1000 yang di belinya tadi pagi. Niat hatinya ingin memberikan minuman itu pada Haniyatul, namun apa daya, ia kalah cepat dari Zaim. Penutup botol itu di buka. Lalu ia meneguk perlahan isinya.

Tidak semua rasa bisa tersampaikan dengan benar dan tepat. Karena terkadang kita harus memendamnya. Bukan tidak berani, namun keadaan sering membuat kita mundur perlahan. Padahal, kita masih muda dan tak mengenal apa. Lantas apa yang harus kita takutkan?

***

10 Oktober 2011

Bel berbunyi menandakan ujian akhir semester telah pun berakhir. Seluruh siswa bersorak gembira. Kini mereka bisa kembali lagi ke zona nyaman dan meninggalkan zona darurat dan menenggangkan yang selama seminggu ini mereka rasakan.

"Pengumuman rangking satu kapan?" tanya Haniyatul. Ia berjalan beriringan bersama Ainul.

"Tiga minggu ke depannya sebelum libur," jawab Ainul. Pandangannya lurus kedepan. Sesekali ia melirik kearah Haniyatul dan tersenyum jika merasa ucapan sahabatnya itu lucu.

"Masih lama ya," gumam Haniyatul pula.

"Eh, hari selasa nanti ada pengajian malam ya di Madrasah,"

"Lah iya? Baru tau aku,"

"Aku juga taunya dari Alif, katanya akan diadakan pengajian malam di sekolah," jelas Ainul.

"Omong-omong, ini pertama kali ya akan diadakan pengajian malam di sekolah." Haniyatul mendudukkan tubuhnya diatas bangku batu yang terletak di pinggir lapangan, dan di ikuti oleh Ainul.

"Kamu bakalan pergi, kan, Han?" tanya Ainul. Ia berharap temannya itu akan menghadiri pengajian malam tersebut.

"InsyaAllah," ucap Haniyatul.

***

Haniyatul membuka halaman demi halaman novel yang baru di belinya kemarin. Berjudul Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El-Syirazy.

Hari ini ia lebih memilih untuk bersantai setelah lebih sebulan mempersiapkan diri untuk ujian akhir semester. Terus terang ia masih memikirkan nilainya. Apakah ia bisa menandingi Hazim Zaim atau tidak. Memikirkannya saja sudah membuat Haniyatul tak keruan. Andai saja ia bisa menerobos masuk ke kantor guru dan memeriksa nilai setiap siswa, sudah tentu nilai pertama yang akan ia periksa adalah nilainya dan nilai Zaim. Untuk membandingkan nilai siapa yang paling tinggi. Tapi, jika mengenang ia sudah salah dua nomor dalam matapelajaran Akidah Akhlak, serta merta rasa semangatnya jatuh. Tidak mungkin ia bisa mendapatkan juara umum jika begitu.

"Cak lubak!"

Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundak Haniyatul. Membuat gadis itu berteriak karena kaget.

"Ya, Allah. Kirain siapa." Haniyatul melempar bantalnya kearah sosok laki-laki yang saat itu sedang tertawa terkekeh-kekeh.

"Kapan pulang?" tanya Haniyatul ketika sosok laki-laki itu sudah mengambil posisi duduk di pinggir kasur. Tepat di hadapannya.

"Baru saja sampai," sahut Hasbi.

Muhammad Hasbi merupakan saudara laki-laki kandung Haniyatul. Ia bekerja di kota dan sangat jarang pulang ke rumah. Dan hari ini entah mimpi apa laki-laki itu, sehingga tiba-tiba saja pulang.

Haniyatul menyalami tangan Hasbi. "Oleh-oleh mana?" tanya Haniyatul seraya tersenyum lebar. Ia tidak menanyakan tentang kondisi kakaknya sehat apa tidak, jika melihat sikap usil Hasbi yang suka mengagetkan orang. Sudah tentu saudara laki-lakinya itu teramat sehat. Jika, sakitpun palingan hanya sakit hati.

"Ada di luar." Hasbi menunjuk ke arah luar kamar.

Senyuman Haniyatul semakin melebar, lalu dengan segera ia beranjak keluar dari kamar sembari berlari-lari kecil.

Hasbi tersenyum melihat kelakuan adiknya yang masih sama seperti dulu. Kemudian ia merebahkan tubuhnya diatas kasur. Tidak butuh waktu lama untuk ia tertidur lelap di atas kasur.

Kini malam berlabuh, menggantikan matahari yang menyengat sedari pagi. Sebagian orang ada yang menantikan malam. Dan tak sedikit pula yang masih menginginkan sang matahari terus menyinari bumi karena kesibukan mereka belum selesai.

Haniyatul membantu ibunya menyediakan beberapa jenis lauk pauk di atas meja. Bunyi dentuman piring memenuhi setiap penjuru dapur.

Hasbi berjalan menuju kearah dapur. Merenggangkan otot-ototnya yang masih terasa kaku. Ia juga tidak menduga akan tidur selama ini, dari siang hingga ke malam. Tapi ia juga tidak terlalu heran, karena perjalanan yang ia tempuh dari kota menuju ke rumah ibunya cukuplah jauh, sekitar seharian dalam perjalanan.

Untung saja ia sudah menjamakkan shalat Zuhur dan Asar. Tapi, untuk shalat Magrib, ia tidak sempat mengerjakannya. Mungkin akan ia Qadha pada waktu shalat Isya.

"Baru bangun?" tanya Haniyatul saat melihat kelibat Hasbi.

"Hmmm," gumamnya.

"Ibu, ayah mana?" tanya Hasbi pula. Suaranya perlahan, namun masih jelas terdengar.

"Ke masjid, shalat Isya." Aida masih sibuk meletakkan lauk pauk di atas meja makan.

"Tunggu ayah saja ya, nanti kita makan bareng," ujar Hasbi. Ia meneguk segelas air putih yang terletak tidak jauh darinya.

"Assalamualaikum,"

"Walaikumsalam," serempak Aida dan kedua anaknya menjawab salam.

"Ayah kamu sudah pulang." Aida mengatur langkah menuju ke arah pintu utama untuk membukakan suaminya pintu. Sedangkan, Haniyatul pula sudah mengambil posisi duduk di sebelah Hasbi.

"Tunggu ayah ya?" tanya Lukman ketika ia sudah tiba di dapur. Lukman membuka kopiah putih yang terpasang diatas kepalanya. Lalu di letakkan diatas meja makan yang posisinya tidak jauh darinya dan tidak pula dekat dengan lauk pauk.

"Iya, yah, mau makan bareng," sahut Hasbi. Bagi anak rantau seperti Hasbi, makan bersama dengan keluarga merupakan moment yang berharga baginya.

Malam ini, tidak seperti malam-malam kemarin. Suasana malam ini terasa lebih hangat dengan gelak ketawa keluarga kecil sepasang suami isteri yaitu Lukman dan Aida. Kedua pasang suami isteri ini teramat bersyukur karena memiliki anak-anak yang sering membuat mereka tertawa, jarang membantah dan taat pada ajaran agama.

***

"Bu, Haniyatul mau minta izin, besok ada pengajian setelah shalat magrib di Madrasah Nurul Hidayah," ujar Haniyatul ia memperbaiki mukena yang masih terpasang di kepalanya. Sedangkan Aida pula, ia masih memegang kitab suci Al-Qur'an yang baru saja selesai di baca beberapa menit yang lalu.

"Malam ya berarti, pergi dengan siapa? Jangan bilang kamu naik sepeda sendiri, ibu tidak akan memberi izin," ucap Aida. Terselip nada ketegasan pada suaranya.

"Bagaimana, jika setelah selesai pengajian kak Hasbi yang datang jemput?" Haniyatul memberikan usulan.

"Kenapa tidak sekalian kak Hasbi saja yang hantar dan jemput, Han?" Imbuh Aida.

"Tapi, bu, Hani sudah janji dengan teman akan pergi bersama mereka," jelas Haniyatul.

"Kalau sudah janji. Ya, harus di tepati, ibu izinkan kamu pergi ke pengajian besok malam. Tapi, harus di jemput oleh kak Hasbi." Kemudian Aida beranjak menuju ke dapur setelah memberi izin pada anaknya. Apalagi, Haniyatul pun bersorak girang.

Hasbi yang sedari tadi berselancar di media sosial, kini mengalihkan pandangannya kearah Haniyatul. Tampak jelas raut wajah bahagia adiknya itu. Padahal, hanya di berikan izin untuk mengikuti pengajian besok malam.

Sebenarnya sedari tadi Hasbi sudah ada di ruang tamu dan mendengar setiap pembicaraan di antara adik dan ibunya. Namun, ia hanya cukup mengamati dan tidak terlalu tertarik untuk ikut membahas topik tersebut. Ia tahu, ibunya cukup cerdas dalam memutuskan sesuatu.

Malam berganti pagi, setelah ujian akhir semester, sekolah belum juga di liburkan. Namun, tidak banyak siswa yang hadir ke sekolah, hanya sebagian saja. Itu pun karena mereka ingin mengambil kelas tambahan atau mengembalikan buku. Dan sebagian siswa lagi lebih memilih untuk meliburkan diri sendiri termasuk Haniyatul. Daripada ke sekolah, namun cuma hanya menyia-nyiakan waktu selama lima jam. Ya, mending di rumah saja. Lagian kelas tambahan juga akan di mulai setelah rangking setiap kelas di umumkan. Tidak terkecuali juara umum se-IPA dan IPS yang akan di umumkan bersamaan dengan di umumkannya siswa yang mendapat rangking di tiap kelas mereka.

Setelah memasak. Haniyatul pun bersiap-siap untuk pergi ke toko buku, pagi ini ibunya tidak ada di rumah karena menghadiri acara Akikah di desa sebelah, serta di temani oleh Hasbi. Sedangkan ayahnya pula pergi memancing bersama pamannya. Daripada tinggal di rumah sendiri, lebih baik Haniyatul ke toko buku untuk membeli buku cerita dongeng Puteri Duyung. Buku cerita dongeng yang paling di sukanya. Dan ia baru tahu ternyata ada versi cerita Puteri Duyung yang baru. Bukan cerita Puteri Duyung versi masa kecilnya. Dan itu membuat Haniyatul penasaran, seberapa seru sih cerita Puteri Duyung versi baru?

Terdengar derap kaki terus melangkah. Sesekali, roknya yang berwarna biru bergerak ke sana ke mari, mengikuti arah gerak sang tuan. Jari jemari lentik Haniyatul memilah tiap buku, mencari-cari buku cerita dongeng yang akan di belinya. Hingga akhirnya, jari jemari lentiknya itu berhenti pada buku bersampul hijau muda. Baru saja tangannya ingin mengambil buku cerita dongeng itu, tiba-tiba tangannya terhalangi oleh tangan yang lain.

"Astagfirullah," gumam Haniyatul.

"Maaf,"

Haniyatul menoleh pada sosok laki-laki yang kini berdiri di hadapannya.

Dahi Haniyatul berkerut, dan keningnya pun bertaut. "Aydan?" gumamnya lagi.

"Han?" ucap Aydan.

"Kebetulan sekali ya." Haniyatul tersenyum di akhir ucapannya.

"Iya." Aydan membalas senyuman Haniyatul.

"Mau beli buku ini?" tanya Aydan.

"Iya, kamu juga?"

Aydan tersenyum. Menandakan ia juga ingin membeli buku cerita dongeng Puteri Duyung.

"Bukunya sisa berapa?" tanya Haniyatul.

"Kebetulan sekali, masih ada sisa dua." Aydan mengangkat kedua buku dongeng yang kini berada di tangannya.

Haniyatul kembali tersenyum. "Kamu punya satu, dan punyaku satu."

Aydan menganggukkan kepalanya. Lantas memberikan Haniyatul buku yang berada di tangan kanannya.

"Sudah mau bayar?" tanya Aydan lagi.

Haniyatul mengangguk. Lalu mereka pun mengatur langkah untuk menuju ke konter tempat pembayaran.

Aydan berjalan di depan. Di ikuti oleh Haniyatul.

Setiap kali aku mencari buku, aku selalu menemukanmu. Sepertinya kita bagaikan sampul dan cerita. Dan kamu adalah sampul dari cerita hidupku. Mungkin, aku tidak tau malu, karena dengan beraninya mengatakanmu sampul hidupku. Padahal dulu... Ah, mengingatnya saja sudah membuatku menyesal. Batin Aydan.

"Jika, begitu saya duluan ya, Assalamualaikum," ucap Haniyatul. Ia pamit pada Aydan setelah membayar buku cerita dongeng Puteri Duyung.

Aydan tersenyum. Pandangannya menatap kearah lantai. Tidak ingin beradu pandang dengan Haniyatul. Yang hanya akan membuat hatinya berdetak kencang. Dan memberi ruang bagi Setan untuk membisikkan kalimat-kalimat yang mengarah pada zina.

Pukul 04:30 sore.

Haniyatul mengenakan jilbab persegi empat berwarna ungu dan sepanjang siku. Warna jilbabnya senada dengan warna gamis yang ia kenakan. Setelah jilbabnya terpasang dengan rapi, ia pun menggapai tas mukena berwarna putih yang terletak di atas kasurnya. Kemudian gadis itu beranjak menuju ke ruang tamu.

"Sudah mau pergi?" tanya Aida.

"Iya, bu," sahut Haniyatul. Tak lupa pula gadis ini menyalami tangan kedua orang tuanya serta kakak laki-lakinya.

"Jangan lupa, jemput setelah shalat isya." Haniyatul mengingatkan kakaknya.

"Siap komandan," sahut Hasbi.

Setelah bersalaman dengan kedua orang tua dan kaka laki-lakinya. Haniyatul pun berjalan keluar rumah dan menuju kearah rumah temannya. Rumah temannya itu tidak terlalu jauh, namun tidak juga dekat. Kemarin temannya itu mengajak Haniyatul untuk ke Madrasah Nurul Hidayah dengan berjalan kaki sekalian menikmati suasana menjelang senja itu.

"Assalamualaikum," Haniyatul memberi salam.

"Walaikumsalam," seorang gadis bertubuh sedikit gemuk, menampakkan dirinya di balik pintu.

"Sebentar, Han," ucap Linda. Gadis ini terburu-buru mengenakan sandalnya.

"Iya, aku tunggu." Haniyatul mendudukkan tubuhnya diatas bangku yang terletak di halaman rumah.

Setelah Linda selesai mengenakan sandal. Mereka pun berangkat menuju ke Madrasah Nurul Hidayah.

Petang ini, warna jingga mengukir di langit bagaikan lukisan. Dengan perpaduan warnanya cukup indah. Sungguh Maha Karya Tuhan yang tiada tandingannya.

Sang burung beterbangan, kembali ke tempat mereka masing-masing. Karena mereka tahu, bahwa tidak lama lagi bulan akan menampakkan diri. Menggantikan sang matahari.

"Han!" Ainul melambaikan tangan kearah Haniyatul. Dan Haniyatul turut melambai kearah gadis itu. Meski dari jarak yang jauh, namun terlihat jelas di wajah Ainul bahwa saat itu ia sedang tersenyum. Senang sekali ia bisa bertemu dengan Haniyatul.

"Han." Ainul memeluk tubuh sahabatnya saat ia sudah berdiri tepat dihadapan Haniyatul. Dan Haniyatul membalas pelukan sahabatnya itu.

"Baru berapa hari tidak ketemu." Haniyatul melepaskan pelukannya.

"Iya, ya, tapi aku rinduuu," ucap Ainul. Kemudian, ia tersenyum di akhir ucapannya. Gadis ini tak lupa pula untuk tersenyum pada Linda walau hanya sekadar untuk menyapa.

"Ehem, Assalamualaikum," Mukhlis memberi salam.

Ketiga gadis tersebut menoleh kearah Mukhlis seraya menjawab salam. "Walaikumsalam."

Di sebelah kiri Mukhlis terdapat Zaim. Sedangkan, di sebelah kanannya pula terdapat Aydan. Seperti biasa, Zaim sering tersenyum ketika melihat sosok Haniyatul. Dan itu membuat Haniyatul sering membuang muka tak suka.

"Sudah mau masuk waktu shalat Magrib," ucap Zaim.

"Za, tolong ya, mukenaku di bawa ke mushollah, aku mau ambil wuduk," pinta Ainul.

"Iya, apa sih yang tidak buat kamu," Zaim berseloroh.

"Han, mukenanya mau aku bawakan juga ke mushollah?" tanya Zaim. Ia berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Tidak usah, aku bisa bawa sendiri," tolak Haniyatul.

"Serius, tidak mau?" Zaim menaikkan alis kirinya.

Haniyatul mengerutkan dahinya. "Iya," ucapnya tegas.

"Jika begitu, kita bisa jalan ber--"

Belum sempat Zaim menghabiskan kalimatnya, Haniyatul langsung memberikan mukenanya pada Zaim.

"Nah!" ucap Haniyatul. Sungguh tidak ingin ia berjalan bersama dengan laki-laki itu.

Zaim tertawa terkekeh-kekeh. Hingga kelibat ketiga gadis itu hilang dari pandangan mereka.

"Mukenaku tidak ada yang mau bawakan," ucap Linda ketika ia sudah menjauh dari ketiga laki-laki tadi. Wajahnya terlihat cemberut. Sedangkan, Haniyatul dan Ainul malah saling bertukar pandang.

***

Pengajian pun di tutup dengan bacaan surah Yasin. Lantunan surah yasin memenuhi setiap penjuru mushollah dan bergema di setiap sudut ruangan. Setelah selesai bacaan surah Yasin, di lanjut pula dengan shalat Isya. Lalu setiap siswa pun di benarkan untuk pulang.

"Pengajian tadi seru ya," ucap Mukhlis. Ia memakai sandalnya lalu ikut bangkit bersama Zaim dan Aydan.

"Iya, pembahasannya juga bagus untuk remaja. Temanya itu tentang gila-gila cinta remaja," sahut Zaim. Ia sempat tertawa di akhir ucapannya.

"Awalnya aku kira pembahasannya akan konyol, ternyata banyak pengajaran yang bisa di petik. Misalnya itu jika kita bersentuhan dengan bukan muhrim lalu timbul nafsu syahwat, itu baru dosa. Tapi kalau bersentuhan biasa saja dan tidak menimbulkan nafsu, itu bisa saja ya," ucap Aydan pula.

"Iya, sih. Tapi, tergantung mazhab yang kita pegang dan yakini, karena mazhab itu ada empat ya, imam Hambali, imam Syafi'i, imam Hanafi, dan imam Malik. Dan pemahaman mereka berbeda," jelas Zaim.

"Eh, sebentar." Mukhlis menghentikan langkah kaki temannya.

"Kenapa?" tanya Aydan.

"Tuh? Cowok itu siapa?" Mukhlis menunjuk kearah cowok yang sedang duduk diatas motor di depan Halte Bus.

Sontak Zaim dan Mukhlis melihat kearah Halte Bus.

"Siapa ya? Siswa baru? Tapi masa setua itu?" Zaim menyelidik..

"Bukan kali, jangan-jangan lagi menunggu seseorang," Aydan berpendapat.

"Eh, sepeda Hani mana? Dia naik sepeda, kan?" Zaim celingak-celinguk melihat kearah tempat parkiran sepeda.

Mukhlis mengedikkan bahunya. Menandakan ia tidak tahu.

"Apa cowok itu sedang menunggu Hani?" kali ini Mukhlis pula yang berpendapat.

"Jangan-jangan pacar, Hani?"

Sontak Aydan dan Zaim serempak menoleh kearah Mukhlis. Mukhlis memegang mulutnya. Ia tahu jika ia sudah salah bicara.

Ainul keluar dari Mushollah. Di ikuti oleh Haniyatul.

"Han, itu saudara laki-laki kamu?" tanya Ainul saat melihat Hasbi sedang menunggu di depan Halte Bus.

"Iya," jawab Haniyatul. Lalu pamit pada Ainul dan berjalan melewati Zaim, Mukhlis dan Aydan.

"Saudaranya kali," ucap Mukhlis pula.

"Masa saudara? Tidak ada mirip-miripnya," Zaim masih tak percaya.

"An, itu siapa?" tanya Zaim saat mendapati kelibat Ainul datang menghampirinya.

"Tunangan, Hani," jawab Ainul asal-asalan. Ia sudah siap untuk menuju ke arah mobil berwarna putih yang terparkir di depan gerbang sekolah.

Mata Zaim terbelalak, Aydan juga tak kalah kagetnya. Namun, cepat-cepat Aydan menutupi rasa keterkejutannya, tidak ingin orang tahu jika ia memendam rasa pada Haniyatul. Namun, sudah terlambat, Mukhlis sempat melihat riak wajah terkkagetnya. Namun, cepat-cepat Aydan menutupi rasa keterkejutannya, tidak ingin orang tahu jika ia memendam rasa pada Haniyatul. Namun, sudah terlambat, Mukhlis sempat melihat riak wajah terkejut pria dingin itu. Padahal, Aydan jenis laki-laki yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Beda dengan Zaim yang memang dari awal sudah terlihat jelas jika ia mengagumi Haniyatul Qariah.

"Ayolah, An, jangan bercanda,"

Ainul menghentikan langkahnya. Lalu menoleh kearah Zaim. "Ya, kalau tidak percaya ya sudah," sahut Ainul seraya melangkah pergi.

Zaim dan Aydan serempak melihat ke arah Halte Bus. Jika benar, laki-laki itu merupakan tunangan Haniyatul. Hancur berkeping-keping lah hati. Kecewa lah hati.

Pandangan kedua laki-laki itu terus mengekori motor berwarna hitam dengan paduan warna sedikit biru. Diatas motor itu terdapat Haniyatul yang sedang duduk menyamping. Tak pernah sedetik pun Zaim dan Aydan mengalihkan pandangan mereka dari terus melihat motor tersebut yang kian menjauh kemudian menghilang.

"Sabar, Za, Aydan." Mukhlis meletakkan tangan kanannya di pundak Zaim. Sedangkan tangan kirinya merangkul Aydan.

***

Sabtu 30 Oktober 2011

Di papan informasi terlihat siswa mulai berdesak-desak untuk melihat pengumuman nilai tertinggi se-IPA dan IPS.

"Untuk siswa perempuan, papan informasinya di ujung, untuk laki-laki di depan kantor," titah Bu Qamariah. Ia memisahkan antara siswa laki-laki dan perempuan. Karena terpisah, jadi para siswa tidak harus khawatir jika nantinya berdesak-desakan hingga bersentuhan antara satu sama lain karena sudah sesama muhrim.

"Permisi," ucap Zaim. Ia melewati satu persatu siswa yang segender dengannya. Mencari celah agar bisa tiba di depan papan informasi.

"Za, tidak usah di liat lagi siapa juaranya, sudah tentu nilai kamu paling tinggi," ucap Mukhlis. Ia mengekori Zaim dari belakang.

"Kamu lupa, Lis? Tahun lalu nilai ujian akhir semesterku hanya satu angka dibelakang koma lebih tinggi dari Haniyatul," sahut Zaim. Ia tidak menoleh kearah temannya. Dan terus berjalan maju ke depan.

Mukhlis terdiam. Sememangnya Haniyatul tidak bisa di pandang enteng.

Langkah kaki Zaim terhenti tepat di depan papan informasi. Nama siswa terurut dari nomor satu hingga nomor sepuluh terpampang jelas dihadapannya. Mata Zaim membulat ketika membaca nama yang tertulis sesudah angka satu.

________________to be continue_______________

1
Ai
mampir, Thor
Tetesan Embun: terima kasih 🥰🙏
total 1 replies
👑Queen of tears👑
bakal sad boy ini zaim 🥴
👑Queen of tears👑
aku bersama mu aydan,,sm² penasaran 🤣🤣🤣
👑Queen of tears👑
nyeeessss/Brokenheart/
👑Queen of tears👑
huhf,,,😤
👑Queen of tears👑
ehmmm🧐
👑Queen of tears👑
kannnn rumit cinta segi delapan itu🧐😎
👑Queen of tears👑
menyukai dalam diam itu sungguh menyiksa kantong
👑Queen of tears👑
temannya aydan,,,mmm cinta segi delapan ini🧐
👑Queen of tears👑
banting Hani🤣🤣
👑Queen of tears👑
nikotin mulai keluar🤣🙈
👑Queen of tears👑
no Hani
but Honey hehehe gak sayang juga sih tapi madu hahahahaha 🤣✌️
👑Queen of tears👑
dingin..dingin tapi peduli m kucing😍
mmm...jdi pengen dipeduliin 🙈
👑Queen of tears👑
hmmmm,,aku mulai menemukan radar disini🧐🧐😎
👑Queen of tears👑
cinta pada pandangan pertama,,dari merangkak naik kemata/Drool/
Rinjani Putri
hallo KK author ijin tinggalkan jejak bintang ya disini
Tetesan Embun: silakan kak, makasih🤗
total 1 replies
Floricia Li
ketat bgt aturannya 😭
Floricia Li
lucu bgt hani 😭😭
Floricia Li
heh ngapain ditarik 🤣🤣
Floricia Li
lucuu bgt masi ada kunang kunang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!