Jelita Sasongko putri satu satunya keluarga Dery Sasongko dipaksa menikah dengan Evan Nugraha pengawal pribadi ayahnya. Jelita harus menikahi Evan selama dua tahun atau seluruh harta ayahnya beralih ke panti asuhan. Demi ketidak relaan meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dia jalani dia setuju menikahi pengawal pribadi ayahnya. Ayahnya berharap selama kurun waktu dua tahun, putrinya akan mencintai Evan.
Akankah keinginan Dery Sasongko terwujud, bagaimana dengan cinta mati Jelita pada sosok Boy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12
Pagi buta Evan sudah bangun, meninggalkan Jelita yang masih terlelap. Mengumpulkan anak buahnya di ruang rapat. Sementara diluar kamar dia sengaja menempatkan pelayan wanita untuk berjaga siapa tau Jelita terbangun lebih cepat.
Ada sekitar sepuluh orang yang berada diruang rapat, salah satunya Kiara. Masing-masing dari mereka menyerahkan berkas dan hasil dari penyelidikan dua kasus penyerangan kemarin.
"Laporkan padaku apa yang kalian dapat."
"Orang yang kita tempatkan di kediaman Heru berhasil mendapatkan informasi penting tuan." lapor salah satu orang suruhannya.
"Berikan padaku."
Orang itu memberikan beberapa lembar kertas berisi catatan penyelidikan orang di kediaman Heru.
Heru Winata adalah sepupu dari Dery Sasongko. Persaingan bisnis ini tejadi dari masa kekuasaan Kakeknya Jelita.
"Sudah kuduga ini pasti ulah dia. Begitu terburu-buru bertindak hingga lupa menghapus jejak. Orang seceroboh ini bisa bersikap pongah ingin merebut kekuasaan Sasongko, mimpinya terlalu tinggi." Ujar Evan dengan senyum sarkas.
"Sepertinya kita harus bertindak sendiri Van. Sebab polisi tak memiliki cukup bukti menjerat dia jadi tersangka," ucap Kiara. Dia sudah menerima file dari orang Evan yang di kepolisian, bahwa bukti-bukti sama sekali tak mengarah ke Heru.
"Jangan lakukan apapun untuk sementara waktu. Saat ini tingkat kewaspadaan mereka sangat tinggi. Terlalu banyak tenaga kalau kita nekat menyerang mereka. Tunggu mereka lengah kita baru ambil kesempatan."
"Tapi Van,"
"Ikuti saja perintahku. Perintahkan orang kita mengumpulkan bukti kejahatan Heru. Bukti itu akan kita gunakan menyerang dia disaat yang tepat." potong Evan.
"Baiklah."
"Kalian boleh pergi, oh ya saat aku berada didekat nona Jelita, aku minta kalian jangan membahas pekerjaan denganku."
"Baik tuan."
Kini hanya tinggal Kiara dengan Evan diruangan itu. Evan tengah focus pada layar monitor, sementara Kiara tengah focus padanya.
"Ada apa?" Tanya Evan dengan suara datar, sementara focusnya tetap pada monitor komputernya.
Terdengar helaan napas Kiara. "Evan, apa kau tidak merasa kalau langkahmu terlalu jauh dengan nona Jelita."
Evan menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Kiara lekat. "Apa aku terlihat seperti orang yang tersesat? Hingga kalimat seperti itu keluar dari mulutmu."
"Tidak seperti rencanamu, nona Jelita sepertinya menganggap serius pernikahan kalian," ucap Kiara dengan berani. Ada gurat kehawatiran terpancar disorot matanya.
"Aku tidak pernah mengangap pernihanku dengan Jelita hanya lelucon. Pemikiran dari mana kau sebut aku menikah dengan Jelita karena memiliki rencana tertentu. Kiara kedepannya perhatikan perkataanmu. Jangan sampai ada yang salah paham karena ucapanmu." Tegas Evan dengan raut wajah tak suka. Kiara tercekat, apa pandangan matanya selama ini salah terhadap Evan. Tidak mungkin, Evan hanya dia yang memahaminya.
"Maaf kalau aku terlalu lancang."
"Iya, pergilah keruanganmu. Aku akan melihat Jelita." Sahut Evan sembari beranjak bangkit meninggalkan Kiara yang masih tak lepas menatap punggungnya.
Seperti ada yang hilang disudut hatinya saat mendengar ucapan Evan tadi. Lelaki yang beberapa tahun ini hanya perduli pada satu wanita, yaitu dirinya. Dengan cepat berubah haluan. Perubahan ini Kiara sungguh tak rela, dia berpikir kalau nona muda tak layak berada disisi Evan.
Langkah Evan terhenti diambang pintu kamar. Tapi kemudian dengan cepat dia menutup pintu kamar. Netranya menatap tubuh Jelita yang hanya terbalut handuk, sedang berdiri menatap Evan.
"Bagaimana ini aku lupa kalau aku tidak bawa baju," ucap Jelita pelan. Evan tak menyahut, jantungnya hampir lepas melihat ini, tubuh mulus yang pernah menggodanya beberapa tahun lalu.
"Evan bagaimana?"
"Eh, diamlah disini aku akan suruh orang membelikan satu untuk mu."
"Jangan boros pinjam baju pelayan wanitamu saja."
"Pelayan? Bagaimana kalau baju Kiara saja."
"Aku bilang pelayan. Bukan Kiara!" ucap Jelita sembari menatap tajam.
"Baiklah."
Lima menit kemudian pelayan wanita datang membawa sepasang baju miliknya. Pelayan itu terlihat ragu memberikan baju miliknya pada Jelita.
"Mbak kok keliatan gak iklas gitu minjamin banjunya ke aku," protes Jelita sembari menerima baju yang diulurkan pelayan.
"B-bukan begitu nona. Baju saya baju sederhana, saya merasa tidak pantas meminjamkannya pada nona." ujarnya gugup. Jelita tak menyahut, dia pergi ke ruang ganti. Lima menit kemudian dia keluar sudah memakai baju yang dia pinjam. Baju ketat berwarna pink dan kulot berwarna hitam.
Mungkin suasana hati Jelita sedang baik, kali ini dia sarapan bersama yang lain di ruang makan. Jelita dan Kiara duduk di antara Evan. Mungkin sebelum ini Kiara biasa duduk bersebelahan dengan Evan.
Dimeja makan ini ada sekitar sepuluh orang yang ikut sarapan bersama mereka. Disini mereka memang selalu melakukan ini, tentu saja ini keinginan Evan. Dia tak suka berada dimeja makan seorang diri.
Semuanya mulai sarapan dengan suasana hening, hanya denting sendok yang terdengar.
"Makan ini, ini bagus untuk kesembuhan lukamu," ujar Kiara sembari meletakkan sayur kedalam piring Evan. Jelita melirik sekilas lalu melanjutkan makannya. Perhatian kecil dari Kiara sukses membuat hati Jelita memanas. Ini yang dia tidak suka, sikap manis Kiara pada Evan.
Jelita berusaha sabar, mereka memang dekat sebelumnya. Hal seperti ini tentu biasa mereka lakukan.
Evan menatap wajah Jelita dengan sudut matanya, berusaha membaca raut wajah istrinya yang tampak datar.
"Makan ini." Evan meletakkan suiran ayam kepiring Jelita. Jelita tak merespon, dia memilih menikmati setiap kunyahan dimulutnya.
"Van, hari ini kau ada janji bertemu setelah makan siang." ujar Jelita mengingatkan Evan.
"Jadwal ulang pertemuan siang nanti. Aku masih cuti hari ini."
"Tapi pertemuan ini sangat penting Van. Bukankah kau sudah baikan, kesempatan ini tak akan datang dua kali. Kau lupa sangat susah bertemu dengan orang ini."
Evan menarik napas dalam. Sudut matanya menatap jelita, wajah itu terlihat tanpa ekspresi.
Sementara Jelita menyudahi makannya, tanpa bicara dia meninggalkan ruang makan menuju kamarnya.
"Kau harus mengajari istrimu Van. Apa pantas nona bersikap angkuh begitu," keluh Kiara dengan wajah kesal. Dia kesal saat Jelita meninggalkan ruang makan tanpa basa-basi pada yang lainnya sedikitpun.
Evan menatap Kiara lekat. "Dia nona Jelita, Kiara. Apa pantas kau keberatan dengan sikapnya. Apa kau lupa, nona muda tak pernah makan berbagi meja dengan pelayan. Tapi tadi dia bahkan terlihat begitu menikmati duduk satu meja dengan kita." ucap Evan tegas.
Kiara terdiam, lagi dan lagi Evan membelanya, apa memang rasa yang Evan miliki sudah sedalam itu.
"Aku pergi cari Jelita dulu." ujar Evan lagi lalu beranjak pergi. Sebenarnya Evan sedikit kesal dengan sikap Kiara yang sengaja memanas-manasi Jelita.
Sementara Jelita dikamar terdengar sedang menelpon seseorang. Sayub-sayub Evan mendengar Jelita menyebut nama Boy pada obrolannya. Dada Evan terasa panas seketika.
Bukannya menghindar Evan malah jalan mendekati Jelita. Jelita yang tengah duduk di atas ranjang, sedikit mendongak menatap Evan yang berdiri dengan tangan terlipat didepan dada.
"Maaf Boy, aku sedang tak ingin keluar saat ini," ujar Jelita sembari menatap Evan. Sementara yang ditatap tampak menyunggingkan senyum sembari mengangguk.
"Kenapa tidak kuliah, apa kau sakit?" Tanya Boy. Terdengar nada penuh kehawatiran pada kalimatnya.
"Aku tidak sakit kok, aku sedang ada urusan keluarga jadi gak kuliah." Jelas Jelita. matanya masih menatap Evan yang juga sedang menatapnya tajam.
"Kau membuatku cemas Je. Ponselmu mati seharian."
"Maaf acaranya mendadak jadi lupa kasih kabar kamu," jawab Jelita lembut. Rahang Evan mengeras seketika, entah mengapa kelembutan Jelita pagi ini terhadap Boy tak bisa dia abikan seperti biasanya.
"Tidak apa, yang penting kau baik-baik saja Je."
"Terimakasih, oh ya Boy, sudah dulu ya. Aku sedikit sibuk saat ini."
"Aku masih rindu," ujar Boy dengan suara pelan.
"Tapi aku benar-benar sibuk. Besok aku sudah kuliah kau bisa melepas rindumu. Oke," ucap Jelita dengan senyum disudut bibirnya.
Evan berdecak kesal, sikap Jelita barusan telah memprovokasi dirinya. Dadanya terasa terbakar api panas sekali. Kenapa saat jatuh cinta hal-hal wajar mampu membangkitkan amarah.
To be continuous.