"Seiman, aku ingin seperti Mama yang cium tangan Papa di sepertiga malam sambil pakai mukena ... belajar ngaji selepas Isya dan berdiri berdampingan di Jabal Rahmah." - Zavia
Menjadi pasangan seorang Azkayra Zavia Qirany adalah impian seorang Renaga Anderson. Namun di sisi lain, sepasang mata yang selalu menatapnya penuh cinta justru menjadikan Renaga sebagai cita-cita, Giska Anamary.
Mampukah mereka merajut benang kusut itu? Hati mana yang harus berkorban? Dongeng siapa yang akan menjadi kenyataan? Giska yang terang-terangan atau Zavia yang mencintai dalam diam.
Follow ig : Desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Belum, Bukan Berarti Tidak.
"Doa apa yang kamu panjatkan hingga aku sesulit ini untuk berpaling, Zavia?"
Zavia berdebar, demi apapun dia tidak bisa berpaling dan menyembunyikan kegugupannya. Netra Renaga yang demikian indah selalu berhasil membuatnya tunduk dan takluk tanpa sisa.
Jika ditanya doa apa yang Zavia pinta pada pencipta, jelas saja sederhana. Sebenarnya dia bukan seseorang yang sangat religius, tapi dalam hidupnya Zavia tidak pernah lupa siapa Tuhannya.
Soal cinta yang bersemayam dalam benaknya, Zavia juga tidak mengerti kenapa Tuhan menganugrahkan rasa itu padanya. Bertahun-tahun sudah dia coba untuk melupakan, tapi hati kecilnya tengah merasa membohongi diri setiap kali berpaling dari pria ini.
"Aku tidak pernah meminta sesuatu diluar batasku ... hanya saja, aku meminta Tuhan menjauhkan apapun yang sekiranya tidak ditakdirkan untukku."
Tubuh tinggi Renaga membuat leher Zavia terasa sedikit pegal, setelah beberapa kali selalu menghindari tatapan Renaga, detik ini dia memberanikan diri untuk bicara seraya menatap lawan bicaranya.
"Beberapa tahun terakhir, aku mengira Tuhan sudah menjawab doaku dengan kepergianmu ... tapi anehnya, Kakak justru kembali dan aku merasa Tuhan benar-benar mengujiku."
"Aku menjadi sangat-sangat munafik, tidak hanya pada orang-orang di sekitarku, tapi Tuhan juga. Lucu memang, aku yang meminta dijauhkan, tapi hatiku tidak tahu diri sampai lupa bahwa perasaanku memang salah."
"Kakak pikir hanya Kakak saja yang lelah di posisi ini? Aku juga ... kita sama, jika saja keadaannya tidak begini aku adalah orang pertama yang mengejarmu mati-matian. Tapi mau dipandang dari sudut manapun perasaanku memang salah dan tidak seharusnya, ada Giska yang menjadikan Renaga sebagai dunianya."
Suaranya bahkan sampai bergetar usai mengucapkan semua itu, tanpa jeda. Tunggu? Apa dia tengah berterus terang kali ini? Tentang perasaan yang dia tutupi begitu lama, sedikit memalukan sebenarnya.
"Sudah?"
Panjang lebar Zavia menjelaskan, bahkan matanya sampai membasah dan Renaga hanya menatapnya datar sejak tadi. Pria itu tengah mencerna ucapan Zavia, selama hidup mungkin ini adalah kali pertama keduanya seserius ini.
"Sudah," jawab Zavia sedikit malas lantaran pria ini justru seakan hanya memancingnya berkata jujur.
Terlebih lagi, kala Renaga tersenyum tipis dan tanpa ragu melingkarkan tangannya di pinggang Zavia. Ini sedikit aneh, percayalah Zavia bergetar dengan Renaga yang terang-terangan memperlihatkan apa maunya begini.
Terserah bagaimanapun kalimatnya, yang jelas Renaga menganggap Zavia juga memiliki perasaan yang sama. Yah, cintanya berbalas. Pria itu tanpa khawatir penolakan, dia mengikis jarak hingga hembusan napas Renaga bahkan terasa hangat di wajah Zavia.
Merasa keadaannya terancam, secepat mungkin Zavia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Meski dia sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan pria lain sejauh itu, tapi matanya bisa menyimpulkan apa yang Renaga mau.
"Nikah yuk."
Semudah itu dia bicara, Zavia yang tadinya menangis usai mengeluarkan beban berat dalam hidupnya justru dibuat terkejut dengan apa yang Renaga lontarkan.
"Hah?"
"Nikah," jawab Renaga masih bertahan dengan posisinya, jika saja tidak memandang siapa orangtua gadis ini, mungkin Renaga akan memaksanya.
Zavia terdiam sesaat, selang beberapa lama dia melepaskan tangan Renaga dan mundur beberapa langkah. "Kenapa? Aku sudah cukup dewasa, Zavia."
"Bukan soal itu, tidak perlu kujelaskan Kakak juga tahu soal itu."
"Jawabanmu sudah menunjukkan jika kamu mencintaiku juga, Zavia ... lalu apalagi? Giska?"
"Salah-satunya, tapi yang lebih utama adalah perihal keyakinan ... soal perasaanku, Kakak cukup tahu saja dan aku hanya ingin menegaskan jika aku tidak melulu memikirkan Giska, tapi Kakak juga."
Renaga terdiam seketika, dia terlalu percaya diri dengan kejujuran dari Zavia, faktanya wanita itu tetap sulit digapai sekalipun dia memang cinta.
"Tidak bisa kamu pertimbangkan sekali lagi? Aku sudah hapal An-Naba."
Jawabannya membuat Zavia sedikit terkejut sekaligus kesal, sungguh dia sedang tidak bercanda dan bisa-bisanya Renaga menjawab hal semacam itu dengan mudah.
"Dan Al-Fatihah," tambah Renaga kemudian.
"Aku tidak bercanda, jangan main-main perihal keyakinan."
"Aku juga tidak bercanda, Via ... andai aku pindah keyakinan bagaimana? Apa kamu tetap akan menolakku?" tanya Renaga menatapnya lekat-lekat, sejak lama dia penasaran bagaimana reaksi Zavia juga dia bertanya semacam itu.
"Jangan, Kak ... jangan pernah melakukan sesuatu berlebihan atas nama cinta, aku yang tidak mau itu terjadi."
"Lalu kamu datang ke sini untuk apa kalau tidak mau jadi istriku, Zavia?"
Seketika suasana hati Zavia jadi berubah, lagipula sejak kapan dia datang dengan tujuan jadi istri Renaga. Zavia mengorbankan waktu hari ini hanya untuk mewakili mereka bertiga lantaran telah membuat Renaga merasa sendirian, tidak lebih.
"Belum, bukan berarti tidak mau," gumam Zavia pelan bahkan hampir berbisik, tapi dia lupa jika yang di hadapannya ini adalah renaga bukan makhluk tuli seperti Fabian.
.
.
- To Be Continue -