Karena perubahanku, pantaskah kalian menghina?
Bukankah aku seperti ini, lantaran telah melahirkan penerus keluarga!
"Seharusnya, Mas membelaku! Bagaimanapun, aku ini adalah istrimu. Jika, bukan suami ... siapa lagi yang akan melindungiku? Haruskah, aku mencari tempat perlindungan lain? Apakah itu maumu, Mas Azam!" Lika.
"Kita ini hanya seorang anak, sudah seharusnya kita mengalah!" Azam.
Mampukah, Lika bertahan atau memilih pergi dari sisi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20. Niat Terselubung Jelita.
POV Ibu Mirna
"Assalamualaikum, Bu Mirna!" kudengar suara lembut dari depan pintu kamar perawatan ku. Seiring suara tirai yang digeser. Nampaklah, sosok wajah cantik yang begitu enak dipandang mata. Senyum di atas bibir meronanya itu membuat semangatku bangkit. Sayang, keadaanku ini tidak mampu menyambutnya dengan pujian.
Bahkan, ketika Nela memaksa pulang dan meninggalkan ku. Aku tak bergeming tanpa mampu melakukan apapun untuk menahannya. Hati ini sangatlah sedih. Ketika tak ada satupun keluarga yang menemani di sini. Apalagi, suamiku itu. Awas saja nanti kalau aku sehat kembali. Akan ku tumis burung-burungnya itu.
Tega sekali, dia sama sekali belum menengokku selama berada di sini empat hari yang lalu. Kalau kudengar dari Nela, putri keduaku. Pak Dahlan, atau suami ku itu sedang mengejar penipu itu. Dimana ia menyewa mobil kami tapi ternyata di gadaikan lagi ke orang lain.
Tidak tanggung-tanggung. Mobil kami yang sebentar lagi akan lunas itu, di gadai sebanyak empat puluh juta. Karena itulah, aku sempat syok dan aku tidak sadar jika pada saat itu tekanan darah memang sedang naik. Itu karena menantuku si Lika. Gara-gara sering memarahi dia, dan juga menahan malu karena memiliki menantu yang bentukannya macam ondel-ondel begitu.
Memang sih, ku akui selama menemani ku di sini. Menantuku itu cukup telaten dan juga tulus. Hanya saja aku tak suka ketika ia terus membacakan Al Qur'an saat malam. Memangnya dia pikir, aku ini tengah sekarat apa. Atau memang anak itu berharap aku cepat mati! Biar ia bisa menguasai Azam seorang diri. Enak saja! Bagaimanapun, Azam itu aku yang melahirkan. Jadi, tidak ada yang bisa dan berhak mengaturnya selain aku.
Jelita, tetangga kami yang belum lama ditinggal mati suaminya itu mendekatiku. Lalu memberi usapan lembut lada kedua kakimu. Hanya, tangan, bahu dan juga wajahku yang sedikit kaku. Tapi, tadi dokter bilang setelah terapi ada kemungkinan kemiringan pada rahang ku ini akan kembali normal. Dokter hanya tenaga berusaha untuk mengembalikan tekanan darahku ke tensi yang normal.
Bagaimana bisa normal, jika setiap hari aku di buat kesal dengan memikirkan suamiku itu. Apa iya segitu sibuknya? Apa tidak bisa mengunjungiku sekali saja? Sebentar pun tak apa.
"Bu, tenang ya. Jangan banyak pikiran biar cepet pulang. Hari ini, biar Jelita yang nemenin ibu," ucap wanita di depan kakiku ini sambil terus memasang senyum hangatnya. Ia baik sekali, padahal bukan siapa-siapa kami. Hanya berstatus tetangga juga langganan pulsa sama Nela.
"Aku hanya bisa mengangguk pelan dan berkedip. Ingin senyum tapi takut hasilnya malah menjadi menyeramkan. Kemarin aku sempat melihat wajah ku di kaca. Sebab, Nela melarangku untuk terus tersenyum. Katanya, Ibu seram kayak Joker!
Anak kurang ajar! Sudah sakit begini masih saja di ledekin. Biar saja dia pulang. Mengurus pun tak becus. Kebanyakan dandan juga memainkan ponselnya. Ujung-ujungnya tetap saja yang membantuku untuk melakukan ini dan itu adalah perawat. Nela, sibuk dengan aplikasi tok-tok dan juga bleblegramnya.
Seperti artis saja, karena katanya kalau sehari tidak live maka olow ewersnya, atau apa itu, bisa turun. Entahlah! Jadi, Nela tidak pernah fokus. Tetap saja aku merasa sendirian dalam kamar. Tapi, dia yang tiba-tiba minta pulang lantaran rambutnya kering. Membuat sudut hatiku merasa sedih. Tak ada suami, anak, yang ada justru orang lain. Kemana saudara-saudara ku itu?
Kalau mereka yang susah saja, baru datang padaku. Tapi, jika aku yang susah mereka tak nampak batang hidungnya. Kurang baik apa aku selama ini pada mereka. Bahkan, saudara Bang Dahlan yang miskin dari lahir saja aku selalu bantu. Padahal mereka hidup susah ya lantaran malas berkerja dan banyak dosa. Tidak seperti aku ini yang sering membantu orang.
Bekerja keras dari usia muda sampai tua begini. Kadang bingung, orang baik tapi ada saja yang berbuat jahat. Sampai kami ditipunya puluhan juta.
"Bu, jelita sudah bicara pada mas Azam. Soal tawaran jelita yang ingin meminjamkan uang untuk biaya pengobatan ke luar kota. Aku tidak tega melihat pria setampan dan berkualitas sepertinya tidak aktif. Hanya bisa berjalan menggunakan kursi rodanya. Pasti hidupnya tidak bahagia. Soal mengganti kapan uangnya, santai saja, Bu. Terpenting adalah mas Azam kembali bekerja lagi. Ibu kan juga bisa tenang. Bagaimana?" jelas Jelita dengan penawaran tulusnya. Tentu saja aku mengangguk. Kapan lagi ada kesempatan emas seperti ini.
Sepertinya, tensi ku akan stabil. Kabar yang di bawa jelita bak air dari pegunungan. Begitu sejuk. Ah ... seandainya aku memiliki menantu sepertinya ... pasti masa tuaku akan bahagia.
...Bersambung...
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️