Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Portal Ghaib
Sementara itu, jauh di dalam perut bumi, di kegelapan gua yang lembab, Udhet menggeliat resah. Sudah berjam-jam semenjak Getot pergi membeli tuak, namun sahabatnya itu tak kunjung kembali. Perasaan gelisah mulai mencengkeram hatinya.
"Grokk..." geram Udhet pelan, suara rendahnya bergema di lorong-lorong gua. Ia tak sabar ingin menikmati sepuluh kendi tuak yang dijanjikan Getot. Air liurnya seolah-olah sudah membayangkan rasa manis dan sedikit asam dari minuman fermentasi itu.
Udhet mulai bergerak mondar-mandir di ruang utama gua. Tubuhnya yang besar sesekali membentur dinding batu, menciptakan suara berdebam yang pelan. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi. Ia ingin sekali menenggak tuak itu sekarang juga, membiarkan cairan hangat itu membasahi kerongkongannya yang kering.
Namun, di tengah rasa frustrasinya, saat ia melewati lorong yang biasa digunakan Getot untuk berlatih, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Cahaya berpendar lembut terlihat dari ujung lorong. Udhet mengernyitkan dahi, rasa penasaran mengalahkan rasa kesalnya.
Perlahan, dengan gerakan merayapnya yang khas, Udhet menuju sumber cahaya itu. Semakin dekat, semakin jelaslah pemandangan di hadapannya. Udhet tersentak. Di langit-langit gua, tepat di atas area latihan, sebuah portal hitam terbuka. Pusaran kegelapan itu memancarkan cahaya keunguan yang aneh, kontras dengan kegelapan gua.
Udhet masih ingat jelas. Portal inilah yang dulu muncul saat Ki Amuraka datang.
Udhet mengedarkan pandangannya ke seluruh gua, mencari sosok Ki Amuraka. Namun, ia tidak melihat siapapun. Gua itu tetap sepi, hanya ada cahaya aneh yang berpendar dari portal di atas. Kebingungan semakin melanda Udhet. Jika ini adalah portal yang sama, kenapa Ki Amuraka tidak terlihat? Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Setelah beberapa saat mengamati portal itu tanpa ada perubahan, rasa kantuk mulai menyerang Udhet. Perasaan cemas dan bingung bercampur aduk di benaknya. Akhirnya, dengan helaan napas berat, Udhet memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi untuk saat ini.
Mungkin besok pagi Getot akan kembali dan semuanya akan jelas. Dengan tubuh lelah dan pikiran yang kalut, Udhet mencari tempat yang nyaman dan memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Namun, bayangan portal hitam yang berpendar tetap menghantuinya dalam tidurnya.
Kembali ke arena pertarungan di tengah hutan. Nampak Getot dan pria kekar itu masih terlibat dalam adu ilmu yang sangat sengit. Suara hantaman tinju dan tendangan yang mengenai tubuh masing-masing menggema di antara pepohonan. Disusul oleh letupan-letupan udara dahsyat dari setiap serangan Getot.
Pria kekar itu tampak kepayahan sekali menghadapi efek ledakan tenaga dalam tersebut. Berkali-kali wajahnya terhantam gelombang kejut tak terlihat, meninggalkan memar baru di sana. Begitu pula Getot, yang beberapa kali terjerembab ke tanah karena sepakan di wajah dan dadanya.
Kini, wajah kedua petarung itu sudah terlihat bonyok-bonyok, bengkak di sana-sini dengan luka lebam menghiasi kulit. Pakaian mereka pun robek di beberapa bagian, terkena cakaran, gesekan, dan hantaman keras. Mereka terlihat seperti sepasang gembel yang sedang adu jotos.
Akhirnya, tenaga mereka terkuras habis. Dengan gerakan serempak, keduanya melompat menjauh, menciptakan jeda sejenak dalam pertarungan brutal itu.
Tampak mereka meringis kesakitan, memegangi wajah dan tubuh yang terasa nyeri semua. Nafas mereka tersengal-sengal, terengah-engah mencari udara. Keheningan hutan kembali menyelimuti, hanya dipecah oleh deru napas berat mereka. Pria kekar itu, yang pertama kali bisa mengatur napas, akhirnya membuka pembicaraan.
"Hei, anak muda," tawar pria itu, suaranya serak dan sedikit terputus-putus sambil memegang punggungnya yang kesakitan. "Bagaimana kalau kita istirahat dulu...?"
"Baiklah. Aku setuju... ughh," jawab Getot, langsung ikut mengeluh, rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya.
Mereka pun duduk bersila, berhadap-hadapan dengan jarak sekitar lima tombak. Keduanya masih terus ngos-ngosan dan memegangi tubuh mereka yang nyeri, menunggu stamina pulih kembali.
"Aku akui," ujar pria kekar itu, tatapannya lelah namun ada kekaguman di dalamnya. "Kau memang hebat, anak muda. Jurusmu lebih hebat. Dan kau telah meningkatkan sendiri kekuatan jurus itu. Aku tak menyangkanya..."
Getot mendengus, "Kau juga hebat, orang tua. Yang aku heran, mengapa jurusmu begitu sama denganku. Katakan, orang tua. Siapa dirimu sebenarnya?"
Namun, pria itu tidak menjawab pertanyaan Getot. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit diartikan. Lalu, dari balik badannya, tiba-tiba ia sudah memegang satu kendi tuak milik Getot. Karuan saja Getot heran dan langsung menghitung kendi tuak yang ada di dekatnya. Ternyata benar, tinggal sembilan kendi.
"Kurang ajar! Kapan kau mengambilnya!?" tanya Getot, kaget dan sedikit kesal.
Pria itu terkekeh pelan. "Hahaha. Sudahlah, minum saja dulu. Kan kita sedang rehat."
Lalu, pria itu melempar kendi tuak di tangannya ke arah Getot. Dengan mudah, Getot menangkapnya. Getot berpikir, benar juga. Mumpung haus, akhirnya ia tenggak juga tuak itu. Rasa hangat dari tuak mengalir di kerongkongannya, sedikit melegakan. Setelah itu, mereka kembali berpandangan, menatap satu sama lain dalam diam, menunggu stamina mereka pulih kembali.