Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Rian meletakkan garpunya perlahan. Ia menatap Tuan Hardi, lalu melirik Naya yang sedang menunduk menatap piringnya.
"Kebebasan adalah hak setiap jiwa, Tuan," ujar Rian dengan nada bariton yang mantap. "Saya terinspirasi oleh seseorang yang pernah saya kenal. Dia hidup dalam sangkar emas yang indah, namun sayapnya patah karena ekspektasi dunia. Saya hanya ingin menunjukkan melalui bangunan itu, bahwa meski sayapnya pernah patah, jika ia memiliki tekad, ia bisa terbang lebih tinggi dari siapa pun."
Suasana meja makan mendadak hening. Naya mencengkeram serbet di pangkuannya dengan kuat. Ia tahu, setiap kata Rian ditujukan untuknya.
Andika segera menimpali untuk mencairkan suasana. "Filosofi yang dalam. Tak heran London sangat memuja karya-karya Anda."
Namun, Nyonya Hardi, yang sejak tadi hanya diam, menatap Rian dengan tatapan yang berbeda. Sebagai seorang ibu yang mengenal setiap lekuk kesedihan putrinya, ia merasa ada sesuatu yang familiar pada sorot mata Rian. "Wajah Anda... apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Saudara Rian?"
Jantung Naya seolah berhenti berdetak. Ia melirik Rian dengan cemas.
Rian tersenyum tipis, sebuah senyuman profesional. "Mungkin di salah satu acara pameran di London, Nyonya. Saya sering menghadiri acara kedutaan di sana."
"Oh, mungkin saja," sahut Nyonya Hardi, meski keraguan masih membekas di wajahnya.
Makan malam berlanjut dengan ketegangan yang merambat halus di bawah meja. Di tengah percakapan bisnis antara Tuan Hardi dan Andika, Naya merasa seolah batinnya sedang berbicara dengan Rian dalam diam.
Setiap kali Rian menyesap minumannya, setiap kali ia membetulkan letak jam tangannya, Naya merasa debaran jantungnya semakin kacau. Ia merindukan Rian yang dulu mengenakan kemeja putih pelayan, namun ia begitu bangga melihat Rian yang sekarang—pria yang mampu duduk sejajar dengan Ayahnya tanpa gemetar sedikit pun.
Selesai makan malam, Tuan Hardi mengajak Andika ke ruang kerja untuk membicarakan kontrak baru, meninggalkan Naya dan Rian di ruang tengah untuk beberapa saat, diawasi oleh beberapa pelayan dari kejauhan.
Naya berdiri di dekat piano besar, membelakangi Rian. "Kamu seharusnya tidak datang ke sini," bisiknya sangat pelan, nyaris tak terdengar. "Ini terlalu berbahaya. Ibu mulai curiga."
Rian melangkah mendekat, berdiri di belakang Naya dengan jarak yang sopan namun cukup dekat untuk merasakan kehangatan batin satu sama lain. "Aku harus datang, Naya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak takut lagi pada rumah ini. Aku ingin kamu melihat bahwa aku sudah menumbuhkan sayap yang lebih kuat dari sangkar ini."
Naya berbalik sedikit, matanya berkaca-kaca menatap pantulan Rian di permukaan piano yang mengkilap. "Aku merindukanmu... hingga rasanya aku tidak bisa bernapas, Rian."
"Sabar, Kupu-kupuku," bisik Rian, suaranya mengandung janji yang tak terpatahkan. "Sedikit lagi. Biarkan galeri itu selesai, dan dunia akan melihat kita terbang bersama."
Tiba-tiba, suara langkah kaki Tuan Hardi terdengar kembali. Mereka segera menjauhkan diri, kembali ke topeng kaku mereka. Namun di dalam batin masing-masing, melodi Butterfly kembali mengalun, menguatkan janji bahwa malam ini hanyalah satu babak lagi menuju kebebasan yang nyata.
...----------------...
Malam setelah perjamuan di kediaman Hardi, Jakarta kembali diguyur hujan deras. Rian berdiri di jendela kamar hotelnya di lantai 32, menatap hamparan lampu kota yang berpendar melalui tetesan air di kaca. Pikirannya masih tertinggal pada tatapan Naya di dekat piano tadi—tatapan yang penuh luka namun menyimpan harapan yang sangat besar.
Rian tidak menyadari bahwa di seberang jalan hotel, sebuah mobil sedan hitam terparkir diam. Di dalamnya, Bram duduk dengan mata tajam yang terus mengawasi lobi hotel. Bram bukan tipe orang yang mudah percaya pada data di atas kertas. Baginya, mata manusia tidak pernah berbohong, dan ia melihat sesuatu yang ganjil dalam cara Rian menatap Tuan Hardi.
"Kupu-kupu yang sayapnya patah..." gumam Bram, mengulang penggalan pidato Rian semalam. "Terlalu puitis untuk seorang arsitek teknis."
Bram memerintahkan supirnya untuk mulai bergerak begitu ia melihat Aris keluar dari hotel untuk mencari makan malam. Bram yakin, jika ia ingin menemukan siapa Rian yang sebenarnya, ia harus mencari tahu melalui orang-orang di sekitarnya.
Sementara itu, di kediaman Hardi, Naya tidak bisa memejamkan mata. Ia baru saja menerima pesan dari Andika melalui jalur rahasia: "Nay, Bram tidak ada di rumah sejak jam 9 malam. Dia membawa dua orang suruhannya. Katakan pada Rian untuk tidak keluar dari hotel malam ini."
Naya langsung merasa jantungnya seolah diremas. Ia segera mencoba menghubungi Rian melalui nomor rahasia mereka, namun di luar sana badai sedang menggila, membuat sinyal di lantai atas hotel menjadi tidak stabil.
"Jangan sekarang, Tuhan... Tolong jangan sekarang," bisik Naya panik. Ia meraih Spotify dan memutar instrumen Butterfly dengan volume lirih untuk menenangkan batinnya yang sedang kacau.
Di luar hotel, Aris tidak sadar ia sedang diikuti. Ia berhenti di sebuah warung tenda di pinggir jalan, beberapa blok dari hotel. Saat ia sedang menunggu pesanannya, dua pria berbadan tegap menghimpitnya.
"Saudara Aris, asisten Tuan Rian?" tanya salah satu pria dengan nada dingin.
Aris tersentak, instingnya segera waspada. "Iya, ada apa?"
"Tuan Bram ingin bicara. Ikut kami sebentar ke mobil," ujar pria itu tanpa memberikan pilihan.
Aris dibawa ke hadapan Bram. Di dalam mobil yang remang-remang, Bram menyodorkan sebuah foto lama yang sudah agak buram—foto seorang pria katering yang babak belur dua tahun lalu.
"Pria ini... sangat mirip dengan bosmu, Rian. Hanya saja pria ini dulu dianggap sampah oleh Tuan Hardi. Kamu tahu sesuatu tentang ini, Aris?" tanya Bram, suaranya terdengar seperti desisan ular.
Aris menelan ludah. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Ia tahu satu kesalahan kata saja bisa menghancurkan perjuangan Rian selama dua tahun ini. Namun, Aris teringat latihan yang pernah diberikan Rian di London untuk menghadapi situasi seperti ini.
Aris tertawa kecil, meski tangannya gemetar. "Pak, kalau Anda mencari kemiripan wajah di Jakarta, Anda bisa menemukan seribu orang yang mirip. Rian yang saya kenal adalah lulusan terbaik London yang hidupnya hanya untuk gambar teknik. Foto pria katering ini? Maaf, tapi sepertinya Anda terlalu banyak menonton drama."
Bram tidak bergeming. Ia mencengkeram rahang Aris dengan kuat. "Jangan mencoba melawak di depanku. Kami akan menyelidiki sampai ke akar-akarnya, termasuk kontrakan lama pria di foto ini. Jika ada satu saja benang merah yang terhubung..."
Di saat kritis itu, tiba-tiba mobil Andika berhenti tepat di samping mobil Bram. Andika turun dan mengetuk kaca jendela Bram dengan keras.
Bram terkejut dan terpaksa menurunkan kaca. "Tuan Andika?"
"Bram, apa yang kamu lakukan pada asisten konsultan kita?" tanya Andika dengan nada otoriter yang sangat tegas. "Om Hardi sangat mengutamakan kenyamanan tim arsitek ini. Jika Rian tahu asistennya diinterogasi seperti pencuri, dia bisa membatalkan kontrak galeri itu besok pagi. Kamu mau bertanggung jawab atas kegagalan proyek wajah perusahaan?"
Bram tampak ragu. Ia tahu posisi Andika sangat kuat di mata Tuan Hardi.
"Saya hanya melakukan pemeriksaan rutin, Tuan," dalih Bram.
"Lepaskan dia. Sekarang," perintah Andika tanpa kompromi.
Aris segera keluar dari mobil itu dengan napas lega. Ia menatap Andika dengan penuh rasa terima kasih. Andika memberi kode agar Aris segera kembali ke hotel.
Malam itu, Andika berdiri di bawah hujan, menatap Bram yang perlahan melajukan mobilnya pergi. Andika tahu, ini baru permulaan. Bram tidak akan berhenti. Penyamaran Rian dan Naya kini bukan lagi menari di atas duri, melainkan sedang berdiri di ambang jurang yang sangat dalam.
Bersambung...