Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kesembilan Belas
# 19
“Kau telah mengusir kuda – kuda tunggangan kami, Pak Tua !” bentak Garnis, “Perjalanan kami masih jauh, dan kau sengaja menghambatnya... maka, aku takkan memberimu ampun. Terlebih pekerjaan kelompokmu ini membuat resah para penduduk dan para pelancong di kadipaten ini... “ sambung Garnis sementara sepasang matanya memerah, semerah wajahnya yang dibakar oleh amarah.
“Kau pikir aku takut denganmu gadis ingusan ?! Baiklah, tampaknya aku harus segera memberimu pelajaran,” kata pria paruh baya itu sambil melompat tinggi ke udara, bajunya berkibaran di udara, menutup sebagian cahaya matahari senja. Ia mengeraskan jari- jemarinya membentuk cakar dan dengan gerakan cepat menyambar batok kepala Garnis.
“HHIIAA !!”
“WWUUSSHH !!”
Dewi Garnis merasakan hembusan angin panas di atas kepalanya, tampak olehnya sebuah bayangan mirip cakar elang yang seakan memanjang. Ia memiringkan tubuhnya ke samping kanan sementara tangan kanannya terjulur dan menyambut datangnya cakar itu. Saat cakar itu hendak berbenturan dengan tapak tangan Garnis, mendadak tapak tangan wanita itu seakan berubah menjadi banyak dan itu membuat laki – laki paruh baya itu kebingungan. Belum habis rasa kaget dan bingungnya, ia merasakan pergelangan tangannya bagai dibetot oleh sebuah kekuatan tak kasat mata.
Sepasang mata pria paruh baya itu terbelalak manakala melihat bahwa Garnis telah mencengkeram pergelangan tangannya. Gadis itu menyeringai, ia membalikkan badannya dan membanting laki – laki itu ke tanah.
“Mampus, kau, Pak Tua !” ujar Garnis.
Laki – laki paruh baya itu tak dapat menahan kecepatan laju tubuhnya, belum lagi pangkal lengannya yang serasa kebas. Akhirnya, iapun terbanting dengan cukup keras. Wajah pria paruh baya itu memerah. Seumur hidupnya, ia sama sekali belum pernah dibanting sedemikian rupa, apalagi oleh seorang gadis muda dan di hadapan murid – muridnya. Buru – buru ia melompat berdiri, “Ku... Kurang ajar !” kembali dia mengumpat.
“Umurmu sudah lanjut, apa tidak ada kata – kata lain yang keluar dari mulutmu selain sumpah serapah ? Apakah kau tak mengerti tata krama ?” ujar Garnis, “Kalau memang tidak pernah diajari tata krama, biarlah aku Dewi Garnis yang akan memberimu pelajaran tata krama !” sambungnya sambil tapak tangannya bergerak hendak menghajar mulut laki – laki itu. Laki – laki paruh baya itu berkelit sambil melancarkan cakar – cakarnya dan kali ini ia tidak berani meremehkan gadis muda di hadapannya itu. Gerakannya lebih cepat daripada sebelumnya. Gerakan yang disertai dengan hembusan angin tajam, membuat debu – debu dan kerikil beterbangan, membuat pandangan Dewi Garnis kabur. Garnis tersentak oleh serangan beruntun dan mengandung hawa pembunuh yang sangat kuat, insting pendekarnya mengatakan bahwa ia tak mungkin mengadu fisik dengan lawannya itu, maka, ia berteriak nyaring, melompat mundur satu tombak dan saat kakinya mendarat di tanah, selendang sutra kuning sudah berada dalam genggaman tangannya.
“Tanganmu itu kotor, pak tua ... aku tak suka mengotori tanganku dengan tangan orang yang tidak memiliki tata krama sepertimu !!”
Ucapan Garnis ini membuat amarah pria paruh baya itu meledak – ledak, harga dirinya serasa diinjak – injak, “Gadis bau kencur ! Tampaknya kau belum tahu siapa SAMITRA GANTARI PRAWARA ELANG KARANG PARA ini. Baik ... kali ini aku tidak akan sungkan – sungkan lagi, kau benar – benar telah membuatku murka. HHIIAATTHH !!!” Pria paruh baya itu meningkatkan serangannya, cakar – cakarnya bergerak susul – menyusul bagai gelombang air laut pasang dan Garnis menahan serangan tersebut dengan selendang sutra kuningnya sambil sesekali balas menyerang.
Sekalipun selendang Garnis itu terbuat dari kain sutra, akan tetapi, saat di tangannya, selendang itu bagaikan senjata yang mematikan, terkadang lemas dan terkadang kuat bagai besi baja setiap kali beradu dengan tangan lawan terdengar seperti dua buah kayu saling berbenturan. Puluhan jurus telah dilalui, belum ada tanda – tanda siapa yang menang atau kalah. Tapi, sepertinya SAMITRA GANTARI cukup jeri juga untuk menghadapi selendang Dewi Garnis tersebut. Setiap kali ujung selendang itu membentur tangannya, ia bagai ditusuk – tusuk ribuan jarum, perlahan – lahan kekuatan serangannya melemah dan ...
“WWUUTTHH ...”
Selendang Garnis berhasil mengikat pergelangan tangan Samitra. Gadis itu menyeringai, dan ia berteriak nyaring, saat itu pula tubuh Samitra seakan ditarik dengan kencang sekali, laju tubuhnya tak terkendali, meluncur ke arah Dewi Garnis, sementara gadis itu sudah mengaliri tapak kirinya dengan kekuatan Aji Cipta Dewi.
“HHIIAATTHH !!”
“BBLLAARR !!”
Saat tubuh Samitra mengapung di udara, pertahanan pada dada terbuka dan tapak kiri Dewi Garnis mendarat telak di dadanya. Samitra tidak bisa mengelak lagi, tubuhnya terdorong jauh ke belakang kembali sebelum jatuh terbanting, punggungnya menabrak sebuah batu cadas. Darah merah kehitaman menyembur keluar dari mulutnya, ia memegangi dadanya yang serasa sesak, sepasang matanya menatap Garnis dengan rasa penasaran, “KK .... Kkkaaauu, Kau.... Hoekh !” ia tak bisa melanjutkan kata – katanya, matanya melotot, berulang kali ia memuntahkan darah segar sebelum kepalanya terkulai lemas, tubuhnya kejang – kejang sebentar dan akhirnya tak bergerak – gerak lagi untuk selamanya.
Sepasang mata Dewi Garnis yang masih tajam berkilat – kilat, beralih ke arah pria berjambang yang berdiri tak jauh dari mayat teman – temannya itu. Tubuhnya bergetar hebat, “Am ... ampuni saya, nona... saya tidak akan berani membuat kekacauan lagi di tempat ini,” katanya dengan suara gemetar.
“Baik,” sahut Garnis, “Pergilah, tapi sebelum itu carikan kami dua ekor kuda !” sambungnya ketus.
“Ma ... maaf, nona... sebaiknya kalian pakai saja pedati milik kami, agar kalian berdua bisa melanjutkan perjalanan lebih cepat,” kata pria itu.
“Oh, baik sekali, kau... apakah kalian menyembunyikan sesuatu di balik kebaikan kalian itu ?” tanya Garnis sinis.
“Sa... sama sekali tidak, Nona... kami benar – benar menyesali semua perbuatan kami, dan kami berniat menebus kesalahan kami itu,”
“Baiklah. Tapi, jika kalian berani macam – macam kepada kami, maka, nasibmu bakal lebih buruk dari Guru kalian itu,” ancam Garnis.
“Baik, nona... mari kuantar kalian ke markas kami untuk mengambil pedati,”
Shakila dan Garnis saling pandang, lalu mereka pun berjalan mengikuti kemana orang itu pergi. Tiga orang itu berjalan menyusuri tepian sungai, tak lama kemudian memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Dua gadis itu meningkatkan kewaspadaannya, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada, sementara air muka pria berjambang itu tidak berubah. Tampaknya, ia benar – benar tidak berani berbuat macam – macam lagi.
Setelah berbelok 2 kali ke kanan, mereka sampai di sebuah bangunan sederhana, beratap jerami, berdinding anyaman bambu. Dari arah dalam rumah, tercium aroma wangi. Pria berjambang itu melangkah masuk dan tak lama kemudian keluar melalui halaman belakang, sambil mengeluarkan sebuah pedati yang ditarik oleh empat ekor kuda jantan dan perkasa, Shakila dan Dewi Garnis menatap pedati itu tanpa berkedip.
“Apakah pedati ini benar – benar milikmu ?” tanya Garnis.
“Nama saya Colopala, nona... dari dulu saya sebenarnya ingin meninggalkan Samitra Gantari, dan bekerja sebagai kusir kereta, Nona. Tapi, berhubung Samitra dan orang – orangnya tidak berhenti mengganggu rumah tangga saya, terpaksalah mengikutinya walau sebenarnya hati saya berontak,”
“Mengganggu, bagaimana ?” tanya Garnis.
“Begini, Nona....” kata Pria Berjambang itu. Pandangannya menerawang jauh seakan hendak menembus langit sebelah barat yang mulai kemerahan, dia mulai bercerita tentang masa lalunya.
..._____ bersambung _____...