Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Tuntutan Sekte
Suasana aula hening sekejap. Tetua Fan menyapu pandangan ke barisan murid di belakang. Beberapa saling tatap, takut bersuara.
Roh mendesis di kepala Yanzhi, suaranya licin menekan.
“Lihat. Dia makin mengacaukan keadaan.”
Yanzhi meremas jubah di lututnya, berbisik di dalam hati.
"Berisik. Biar aku yang bicara."
Lu Ming menyilangkan tangan di dada, tatapannya menekan Wei Ren.
"Diam, Wei Ren. Kau cuma lihat dari jauh, jadi jangan buat masalahmu sendiri di sini."
Wei Ren menunduk, pura-pura tertawa kecil.
"Senior Lu Ming, saya hanya lapor. Kalau tak mau dengar, saya diam."
Tetua Fan akhirnya mendongak, tatapannya dingin ke Han Ye.
"Han Ye. Kau di sana. Kau katakan, Yanzhi tidak ambil apa pun?"
Han Ye menatap Tetua Fan, sorot matanya dingin, nada suaranya pelan tapi mantap.
"Kalau dia ambil apa pun, saya yang pertama melihat. Kalau dia macam-macam, saya yang pertama menghadapinya."
Wei Ren mendecak kecil, pura-pura menahan tawa.
"Menghadapi? Tapi buktinya dia tetap bisa keluar bebas, Han Ye."
Lu Ming melangkah setengah maju, bahunya melindungi punggung Yanzhi dari belakang.
"Saya yang pimpin jalur. Kalau Yanzhi salah, tanggung jawabku juga. Kalau dia tak salah, kau yang harus siap menanggung akibatnya, Wei Ren."
Wei Ren hanya mengangkat bahu, pura-pura merendah.
"Saya hanya bicara jujur. Kalau tak ada yang disembunyikan, kenapa makhluk penjaga hilang? Kenapa jalur segel retak lagi?"
Yanzhi mendongak, suaranya sedikit gemetar, tapi nadanya tegas.
"Aku tak sentuh apa-apa! Kabut di altar bergerak sendiri, retakan terbuka sendiri! Kalau kau mau tuduh, tuduh saja! Aku tak minta diseret turun ke sana—"
Tetua Fan mengangkat tangannya.
"Cukup!"
Suara Roh di kepala Yanzhi terkekeh pelan, nadanya menampar pelipisnya.
"Teruslah bicara. Lihat betapa mudahnya mereka goyah."
Yanzhi merintih pelan di tenggorokannya, giginya terkatup rapat.
Han Ye menarik napas, lalu bicara, kali ini tatapannya menembus Tetua Fan.
"Kalau memang Yanzhi harus diawasi, biar saya yang jaga. Saya tanggung semua kalau dia macam-macam."
Wei Ren mendengus kecil, seolah tak terima.
"Kenapa bukan aku yang jaga? Aku juga saksi."
Lu Ming memotong, nadanya datar tapi menutup mulut.
"Kalau dia di tanganmu, masalahnya justru bertambah. Kita butuh penjaga, bukan penyulut gosip."
Wei Ren terdiam, giginya mengatup, tatapannya menusuk Yanzhi seolah menelan utuh.
Tetua Fan mengetukkan jarinya di lengan kursi, menatap tajam ke dua murid di depannya.
"Baik. Han Ye, kau awasi dia.
Yanzhi, mulai besok kau tak keluar paviliun dalam. Kalau segel lembah retak lagi, kalian berdua bertanggung jawab."
......................
Angin malam menembus celah pintu aula. Lentera bergoyang pelan. Yanzhi menunduk, napasnya menggantung. Roh di kepalanya tertawa tipis, pelan.
"Haha… akhirnya mereka menjebakmu juga. Tapi tak perlu cemas, aku tidak akan ke mana-mana."
Hujan kabut turun tipis di pelataran Sekte Tianhan. Paviliun Dalam terletak di lereng dalam, bangunannya tua, dinding batu rapat, jendela hanya setinggi bahu.
Di dalam, Yanzhi duduk bersila di tikar bambu. Sisa panas pecahan segel di lengannya berdenyut samar, hawa hangatnya merayap ke dada. Ia menekan napas, meraba kulit di dekat urat nadi, di situlah pecahan menempel di bawah kulit tipisnya.
Roh itu merapat di benaknya, seperti kabut gelap yang menekan dari dalam.
“Bagaimana rasanya? Diam, tapi menyimpan sesuatu yang mereka inginkan. Kau bisa berdiri di atas mereka… kalau kau berhenti takut.”
Yanzhi menegang. Rahangnya mengeras, lalu ia menunduk sedikit, bibirnya bergerak tanpa suara sebelum berubah menjadi gumaman tajam.
"Kau mau aku mati di altar? Kalau segel ini lepas lagi, kepalaku yang dipajang di gerbang sekte."
Roh tertawa kecil, suara lirihnya bagai angin menempel tengkuk.
"Kalau kau tetap lemah, kau mati duluan. Kalau kau kuat… bahkan orang-orang seperti Tetua Fan tak berani menyentuhmu."
Yanzhi membuka mata, menatap lentera minyak yang setengah padam di sudut ruangan. Tangannya menggenggam ujung lengan bajunya, menekan panas pecahan.
"Apa yang harus kulakukan?"
Roh mendesis puas.
"Tarik napasmu dalam. Biarkan panasnya menyebar ke nadi. Pecahan segel itu bukan hanya penutup, itu gerbang kecil. Energi di dalamnya bisa kau serap… perlahan."
Yanzhi menahan napas. Kedua tangannya menyatu di lutut, matanya terpejam. Suara hujan kabut di luar merambat masuk lewat celah jendela. Napasnya bergetar, hawa hangat pecahan menjalar, lalu menusuk urat di lengan dan dada. Ada rasa nyeri, tapi di baliknya aliran spiritual tipis naik ke nadi dada.
Tiba-tiba, pintu paviliun bergeser perlahan. Han Ye berdiri di ambang, bersandar ke kusen pintu. Pedangnya tergantung di punggung.
"Apa yang kau lakukan? Kau bukan murid yang seharusnya mengutak-atik tenaga di tempat terkurung."
Yanzhi membuka mata cepat, napasnya putus.
"Apa lagi? Aku hanya duduk. Kau mau jaga aku, ya jaga saja di luar."
Han Ye melangkah masuk, menutup pintu dengan pundaknya. Sorot matanya menusuk, tapi nada suaranya menurun, terdengar seperti menahan sesuatu.
"Aku tau kau bukan hanya duduk. Apa kau mau membakar tubuhmu sendiri?"
Yanzhi tertawa kecil, tapi matanya tak bergerak dari wajah Han Ye.
"Kau takut aku kabur?"
Han Ye mendesah, tatapannya sejenak melembut.
"Aku takut kau mati duluan, bodoh."
Roh terkekeh pelan di kepala Yanzhi, nadanya meledek.
"Lihat, anjing penjaga kecilmu datang. Kau pikir dia peduli? Tidak. Dia hanya tak mau ikut diseret kalau kau ketahuan."
Yanzhi mencengkeram lututnya lebih erat, membuang napas pelan, menatap Han Ye.
"Kau tak perlu repot di sini, Han Ye. Kalau Tetua Fan mau hukum aku… biar aku terima sendiri."
Han Ye mendekat, lututnya turun di depan Yanzhi, nada suaranya turun, nyaris berbisik.
"Kau pikir aku mau kau mati? Kalau kau jatuh, aku juga habis. Dan kalau kau buka retakan itu lagi, semua orang di Sekte Tianhan hancur."
Yanzhi memejamkan mata, bisikan Roh membelah lagi.
"Lihat. Satu orang di belakangmu. Tapi tetap tak bisa lindungi kau dari segalanya. Satu-satunya cara, kuatkan dirimu."
Yanzhi menarik napas panjang, tatapannya tajam ke Han Ye.
"Kalau aku mau tetap hidup… aku cuma punya jalan buat jadi lebih kuat, kan?"
Han Ye mencondongkan tubuh sedikit, bayangannya jatuh ke wajah Yanzhi.
"Kalau kau salah jalan, kau bukan tambah kuat, kau cuma buka pintu yang seharusnya tetap terkunci."
Yanzhi menunduk, bibirnya bergetar menahan gumaman.
......................
Beberapa malam setelah pengurungan, di Paviliun Dalam.
Hujan kabut turun pelan di pelataran batu. Di dalam, lentera hampir habis minyaknya. Yanzhi duduk bersila, napasnya tertahan-tahan, wajahnya pucat. Jemari kirinya menekan lengan, tepat di bawah kulit tipis tempat pecahan tertanam.
Roh muncul sebagai getaran halus di benak Yanzhi, seperti kuku dingin yang menggores pelan di belakang pikirannya.
"Sedikit lagi… biarkan alirannya naik. Kau ingin kuat, bukan?"
Yanzhi merintih kecil, keringat menetes di pelipis.
"Terus bicaralah di kepalaku… Begitu aku muak, kita mati tenggelam bersama."
Roh muncul sebagai kilatan gelap di sudut benaknya, seperti bayangan yang menyeringai.
"Kau pikir aku akan ikut mati? Kalau kau gagal, kita lihat nanti tubuh siapa yang kupakai setelahmu."
Yanzhi menahan napas. Urat di sekitar pecahan berdenyut, hawa hangatnya merambat ke dada, membakar pelan. Tiba-tiba—
Pintu paviliun berderit. Han Ye muncul tanpa suara, berdiri di ambang, sorot matanya tajam.
"Apa kau tidur dengan mata terbuka, Yanzhi?"
Yanzhi membuka mata, bahunya naik turun menahan napas berat.
"Aku cuma tarik napas. Apa kau harus periksa napas murid juga sekarang?"
Han Ye berjalan mendekat, menatap tikar bambu dan sisa asap dupa. Matanya menajam.
"Kau menyalurkan tenaga diam-diam? Kau mau bunuh diri? Dinding Paviliun ini bukan tempat tahan pusaran tenaga besar."
Yanzhi menahan sisa gemetar di jari, menekan pecahan di bawah lengan bajunya.
"Kalau aku mau kabur, aku sudah kabur. Aku hanya duduk."
Han Ye menarik napas, rahangnya menegang.
"Kalau kau main-main dengan jalur tenaga di sini, kau bisa lumpuh. Kalau kau lumpuh, Sekte akan seret kau ke altar sebagai gantinya. Kau paham?"
Yanzhi menunduk, menahan sisa desis napasnya.
Suara Roh terkekeh, hanya di benaknya.
"Bagus. Dia sama sekali tak curiga. Diam saja… biar aku yang atur jalur nadimu malam ini."
Yanzhi menatap lentera hampir padam, suaranya menahan getir.
"Kalau kau coba kendalikan aku, kita lihat siapa yang hancur duluan."
Han Ye menepuk bahu Yanzhi pelan, suara nadanya dingin.
"Berhenti. Kalau kau main gila sampai mati di sini, aku juga yang dipanggil ke aula. Jangan bikin repot orang lain."
Yanzhi menarik napas pelan, membuang tatapannya ke lantai.
Di luar, hujan kabut meresap di pagar bambu. Desas-desus rumor Wei Ren mulai terdengar dari mulut para penjaga di lorong.
Suara Roh berdesir sekali lagi.
"Besok rumor makin panas. Kau siap berdiri di altar… atau berdiri di atas mereka?"
Pecahan segel di lengan Yanzhi berdenyut satu kali, hangat, berbahaya, tapi baginya satu-satunya cara untuk tetap hidup.
...****************...