Yan Ruyin, nama yang membuat semua orang di Kediaman Shen jijik. Wanita genit, pengkhianat, peracun… bahkan tidur dengan kakak ipar suaminya sendiri.
Sekarang, tubuh itu ditempati Yue Lan, analis data abad 21 yang tiba-tiba terbangun di dunia kuno ini, dan langsung dituduh melakukan kejahatan yang tak ia lakukan. Tidak ada yang percaya, bahkan suaminya sendiri, Shen Liang, lebih memilih menatap tembok daripada menatap wajahnya.
Tapi Yue Lan bukanlah Yan Ruyin, dan dia tidak akan diam.
Dengan akal modern dan keberanian yang dimilikinya, Yue Lan bertekad membersihkan nama Yan Ruyin, memperbaiki reputasinya, dan mengungkap siapa pelaku peracun sebenarnya.
Di tengah intrik keluarga, pengkhianatan, dan dendam yang membara.
Bisakah Yue Lan membalikkan nasibnya sebelum Kediaman Shen menghancurkannya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Jamuan dimulai dalam keheningan yang canggung.
Para pelayan menyajikan hidangan satu per satu, aroma masakan memenuhi aula, namun tidak satu pun mampu mencairkan suasana. Suara alat makan terdengar terlalu jelas, seolah setiap gerakan diperhatikan.
Yue Lan duduk tegak di sisi Shen Liang.
Ia bisa merasakan keberadaan pria itu, meskipun tidak dekat, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia sedang duduk di tempat yang selama ini selalu Yan Ruyin asli hindari. Shen Liang tidak menoleh, tidak berbicara, hanya makan dengan gerakan rapi dan tenang. Tenang yang membuat orang lain tidak berani menegurnya sembarangan.
Meirong memecah keheningan lebih dulu.
“Kakak Ruyin terlihat sudah jauh lebih baik,” katanya lembut sambil tersenyum ke arah Yue Lan. “Aku sempat khawatir setelah mendengar kondisi Kakak waktu itu.”
Yue Lan mengangkat pandangan.
“Terima kasih,” jawabnya singkat. “Aku masih hidup berkat belas kasihmu.” Kalimat itu terdengar sopan, namun ada jarak yang jelas.
Sebelum Yue Lan sempat menanggapi, Tian er tiba-tiba angkat suara.
“Apa kau tidak mengucapkan maaf padanya?” tanyanya datar, pandangannya tetap tertuju ke depan. “Dia hampir mati karena dirimu.”
Semua mata tertuju pada Yue Lan.
Yue Lan mengangkat kepala perlahan. Tatapannya tidak menuju Tian’er, melainkan langsung jatuh pada Meirong.
“Ya,” katanya tenang. “Kau benar.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang tetap datar. “Wanita yang hampir mati, seharusnya tidak mampu berjalan sendiri menemuiku di dalam sel. Terlebih jika yang digunakan adalah racun ular.”
Beberapa orang saling bertukar pandang.
“Setahuku,” lanjut Yue Lan pelan, “racun seperti itu, jika benar-benar masuk ke aliran darah, jarang memberi kesempatan untuk bertahan hidup.”
Senyum Meirong menegang tipis, meski cepat ia perbaiki.
Yue Lan menunduk kembali, mengambil sumpitnya. “Aku bersyukur,” katanya ringan, “Nona Meirong dianugerahi tubuh yang begitu kuat.”
Keheningan yang menyusul terasa lebih berat dari sebelumnya.
Tuan Shen mengamati Yue Lan lama, sementara Nyonya Shen menekan bibirnya rapat.
Di sisi lain meja, Shen Liang akhirnya menoleh ke arah istrinya.
Tatapan itu singkat, namun penuh penilaian.
Seolah untuk pertama kalinya, ia tidak lagi sepenuhnya yakin pada cerita yang selama ini ia dengar.
“Untuk seseorang yang telah meracuni, kau tidak pantas berbicara seolah-olah berhak menilai,” kata Tian’er dingin.
Meirong segera menoleh, wajahnya tampak cemas. Ia menarik lengan Tian’er pelan.
“Kakak Tian’er, sudahlah… aku benar-benar tidak apa-apa,” ucapnya lembut.
Ia lalu memandang Yue Lan, senyumnya tipis namun sarat makna.
“Mungkin Kakak Ruyin memang tidak tahu,” lanjutnya pelan, “betapa sulitnya aku bertahan saat racun itu bekerja.”
Nada suaranya terdengar penuh pengertian.
Namun di baliknya, terselip keluhan yang sengaja tidak diucapkan terang-terangan.
Beberapa orang di meja itu menghela napas kecil, simpati mereka jelas condong ke arah Meirong.
Yue Lan mengangkat pandangan. Ia tidak membantah, juga tidak berusaha membela diri. Ia sangat paham tipe orang seperti Meirong yang selalu ingin terlihat baik, lembut, penuh pengertian, namun tak pernah absen menyelipkan sindiran halus di balik setiap kata.
Di kehidupan modernnya, ia sudah terlalu sering berhadapan dengan orang-orang semacam itu.
Yue Lan hanya menatap Meirong sejenak. Tatapan yang tenang. Tidak dingin, tidak tajam. Namun entah kenapa, justru membuat senyum lembut di wajah Meirong terasa sedikit… tidak nyaman.
“Benar,” katanya pelan, suaranya jernih dan terdengar jelas di seluruh aula. “Aku memang tidak tahu.”
Ia berhenti sejenak, seolah menimbang kata-katanya. “Jika itu yang disebut perjuangan,” katanya lagi, “apakah tubuhku yang kelaparan dan kehausan selama berhari-hari tampak sangat sepele? padahal aku tidak melakuakan apa yang kalian tuduhkan terhadapku.”
Senyum Meirong menegang.
Tian’er mengernyit, jelas tidak menyangka Yan Ruyin akan berbicara seterang itu.
Yue Lan menurunkan pandangan, seolah menutup pembicaraan.
Namun satu kalimat terakhir jatuh ringan dan justru paling menyakitkan. “Syukurlah, kita semua masih hidup. Kalau tidak,” ucapnya tenang, “siapa yang akan duduk di meja ini dan menceritakan penderitaan masing-masing?”
Keheningan menyelimuti aula. Dan untuk pertama kalinya, posisi simpati tidak lagi sepenuhnya berada di pihak Meirong.
Shen Liang meletakkan sumpitnya. Tidak keras. Namun cukup untuk memecah fokus orang-orang sekitarnya.
“Jamuan keluarga bukan tempat mengulang tuduhan,” kata Shen Liang datar. “Jika Ayah sudah memutuskan, tidak perlu dibicarakan lagi.”
Semua mata langsung tertuju padanya.
Yue Lan terkejut bukan karena kata-katanya, melainkan karena Shen Liang memilih berbicara.
Tuan Shen mengangguk pelan. “Benar. Perkara itu sudah selesai.”
Nyonya Shen tidak ikut menimpali. Tatapannya hanya beralih dari Yue Lan ke Shen Liang, tajam dan penuh perhitungan.
semangat thor jangan lupa ngopi☕️