Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah Yang Mulai Menyendiri
Aku datang ke rumah Ayah menjelang magrib. Rumah itu masih di gang yang sama, temboknya masih cat hijau muda yang mulai pudar, dan pintu kayunya masih selalu berderit jika dibuka. Tidak banyak yang berubah dari luar, tapi aku tahu, dari dalam, semuanya telah jauh berbeda.
Ayah membukakan pintu dengan ekspresi terkejut yang tidak sempat ia sembunyikan.
“Kok kamu ke sini?” tanyanya datar.
“Aku mau nengok Ayah,” jawabku pelan.
Ia mengangguk, lalu mempersilahkanku masuk tanpa banyak bicara. Di ruang tamu, suasananya sunyi. Tidak ada suara televisi seperti dulu, tidak ada gelak tawa, tidak ada aroma masakan Ibu. Hanya ada kursi kayu yang mulai kusam, meja kecil dengan cangkir kopi yang separuh dingin, dan Ayah yang tampak semakin kurus.
Aku duduk di hadapannya. Kami saling diam cukup lama. Keheningan itu terasa canggung, asing, seperti kami bukan lagi ayah dan anak yang dulu leluasa saling bercanda.
“Ayah sehat?” tanyaku akhirnya.
“Sehat,” jawabnya singkat.
Aku ingin bertanya banyak hal. Tentang hidupnya sekarang. Tentang perasaannya setelah perceraian itu benar-benar resmi. Tentang bagaimana ia menjalani hari-harinya sendiri. Tapi semua pertanyaan itu terasa berat di tenggorokan.
“Ayah jarang ke rumah,” ucapku hati-hati.
Ia menatap cangkir kopinya lama, seakan mencari jawaban di permukaan cairan hitam itu. “Ayah nggak mau ganggu.”
“Ganggu siapa, Yah?” tanyaku.
“Kalian,” jawabnya lirih.
Dadaku terasa sesak. Kata itu terdengar sederhana, tapi maknanya begitu menyakitkan. Ayah merasa dirinya sekarang adalah gangguan di keluarganya sendiri.
“Kami nggak pernah anggap Ayah ganggu,” kataku cepat.
Ayah tersenyum kecil, bukan senyum bahagia, melainkan senyum orang yang mencoba menerima sesuatu dengan terpaksa. “Sekarang kalian punya kehidupan masing-masing. Ibumu sudah menikah lagi. Kamu dengan suamimu. Adik-adikmu juga sibuk. Ayah… ya memang tinggal sendiri.”
Kata “sendiri” itu jatuh seperti batu di dadaku.
Aku ingin menahan tangannya, ingin mengatakan bahwa ia tidak sendiri, bahwa kami masih anak-anaknya. Tapi aku sadar, perasaan itu tidak semudah diubah hanya dengan kata-kata. Ayah bukan hanya kehilangan seorang istri ia kehilangan perannya sebagai kepala keluarga, sebagai pusat rumah, sebagai tempat kami dulu pulang.
Sejak perceraian itu, Ayah seperti orang yang berjalan pelan di pinggir hidup kami, takut melangkah terlalu dekat, takut dianggap mengganggu.
Aku menatap ruangan itu kembali. Dinding yang dulu penuh foto keluarga kini sebagian kosong. Foto pernikahanku masih tergantung, tapi foto Ibu sudah tidak ada. Aku tidak tahu apakah Ayah yang menurunkannya, atau Ibu yang dulu membawanya pergi.
“Malam-malam Ayah ngapain sekarang?” tanyaku.
“Kadang nonton TV. Kadang tidur. Kadang cuma duduk,” jawabnya jujur.
Hatiku semakin perih. Dulu, Ayah selalu sibuk. Sibuk bekerja, sibuk mengantar kami, sibuk membantu Ibu. Sekarang ia memiliki terlalu banyak waktu, tapi tidak tahu harus diisi dengan apa.
Aku pulang dengan perasaan yang berat. Di perjalanan, aku menangis dalam diam.
Malam itu, aku tidak langsung tidur. Aku memikirkan Ayah sendirian di rumah sunyinya. Aku juga memikirkan Ibu dengan kehidupan barunya. Dua orang yang dulu membangun dunia kami bersama, sekarang berjalan di dunia masing-masing.
Dan di tengah itu semua, kami anak-anaknya harus belajar berdiri di antara dua luka.
Keesokan harinya, Dimas mengirim pesan singkat padaku.
“Teh, Ayah nggak balas chat aku dari kemarin.”
Aku menutup mata. Aku tahu, ini bukan lagi soal kesibukan. Ini tentang Ayah yang perlahan memilih untuk menjauh, bukan karena tidak sayang, tapi karena merasa tidak lagi dibutuhkan.
Dan mungkin… itu luka terdalam yang tidak pernah ia katakan dengan suara.
Aku kembali datang ke rumah Ayah dua hari setelah kunjungan itu. Kali ini aku membawa semangkuk sayur kesukaan beliau, sayur bening dengan jagung muda dan daun kelor. Dulu, setiap aku memasak ini, Ayah selalu minta tambah.
Saat pintu kubuka, rumah itu tetap terasa sunyi. Tidak ada suara radio, tidak ada langkah kaki dari dalam. Aku mengetuk pelan.
“Yah… ini aku.”
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya terdengar suara langkah pelan mendekat. Pintu terbuka sedikit, lalu wajah Ayah muncul. Matanya tampak lelah, lingkar hitam di bawahnya semakin jelas.
“Kok datang lagi?” katanya.
“Aku bawain sayur, Yah.”
Ia tidak langsung menjawab. Hanya membuka pintu lebih lebar dan mempersilakanku masuk. Di dapur, aku melihat kompor yang bersih, nyaris tak pernah dipakai. Hanya ada satu piring kotor, satu gelas, dan satu sendok. Semua serba sendiri.
“Kata Dimas, Ayah jarang makan,” kataku sambil menuangkan sayur ke dalam mangkuk.
Ayah duduk di kursi, menatap lantai. “Kadang lupa.”
Aku menahan napas. Lupa makan bukan hal sepele. Itu tanda seseorang sudah terlalu larut dalam sepi.
“Ayah bisa sakit kalau begini terus,” ucapku.
Ia tersenyum tipis. “Ayah baik-baik saja.”
Jawaban klasik itu tidak pernah benar-benar berarti baik-baik saja. Justru sebaliknya.
Aku memperhatikan tangannya yang sedikit gemetar saat memegang sendok. Tangan yang dulu kuat, yang dulu mampu mengangkatku tinggi-tinggi saat kecil, kini tampak rapuh oleh usia dan beban hidup.
“Yah… Ayah masih marah sama Ibu?” tanyaku pelan.
Sendok itu berhenti di udara. Ayah terdiam cukup lama sebelum menjawab.
“Marah itu capek,” katanya akhirnya. “Yang tersisa sekarang cuma… lelah.”
Aku menelan ludah. Kalimat itu jauh lebih menyedihkan daripada kemarahan. Lelah berarti menyerah dalam diam.
“Ayah pernah nyesel?” tanyaku lagi.
Ia menatapku, lama. “Setiap malam.”
Dadaku terasa seperti diremas. Kata itu jatuh pelan, tapi menghantam seluruh perasaanku.
“Ayah nyesel karena gagal jadi suami. Nyese l karena gagal jaga rumah ini tetap utuh buat kalian.”
Aku ingin berkata bahwa ini bukan salah Ayah seorang. Bahwa rumah ini runtuh bukan karena satu orang. Tapi aku tahu, seorang ayah akan selalu merasa bertanggung jawab atas segalanya.
“Sekarang rumah itu sudah tidak ada lagi,” lanjutnya lirih. “Yang ada cuma sisa-sisa.”
Aku melihat tatapan Ayah menerawang, seolah ia masih melihat Ibu berdiri di dapur, Laras kecil berlarian di ruang tamu, Dimas dan Raka bertengkar soal mainan. Kenangan yang kini tinggal bayangan.
“Yah,” kataku dengan suara bergetar, “Ayah masih punya kami.”
Ia tersenyum lagi. Kali ini lebih getir. “Kalian punya dunia sendiri sekarang.”
Kalimat itu menusuk. Aku sadar, mungkin tanpa sengaja, kami anak-anaknya memang perlahan bergerak menjauh. Pernikahan kami, kesibukan kami, luka kami masing-masing… semua membuat Ayah tertinggal sendirian.
Sore itu aku pulang dengan langkah berat. Di perjalanan, aku menelepon Laras.
“Lar… kapan terakhir kamu ke rumah Ayah?” Hening di seberang sana sejenak. “Sejujurnya… sudah lama.”
Dimas pun sama. Raka lebih jarang lagi, karena sekolah dan dunianya sendiri. Tanpa kami sadari, Ayah benar-benar tinggal sendirian.
Malam itu aku menangis lama di kamar. Ardi memelukku tanpa banyak tanya. Aku hanya berkata pelan, “Ayah semakin menyendiri.”
Sejak hari itu, aku mulai sering menghubunginya. Meski hanya lewat pesan singkat. Meski sering tidak dibalas. Aku tidak ingin ia merasa benar-benar sendiri di dunia ini.
Tapi aku tahu, ini bukan sekadar soal kesepian. Ini tentang seorang ayah yang kehilangan segalanya sekaligus istrinya, rumahnya, perannya, dan secara perlahan… anak-anaknya.
Dan aku, sebagai anak sulung, mulai merasa bahwa luka Ayah adalah beban yang diam-diam jatuh ke pundakku tanpa suara.