El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menaklukkan Sarang
...Bagian 9:...
...Menaklukkan Sarang...
...💫💫💫💫💫...
Teori habis makan jadi tolol itu sepertinya memang benar. Karena kini Jovanka pun merasakannya. Setelah menghabiskan seporsi gado-gado dengan ekstra telur rebus, kepalanya mendadak kosong dan terasa lemot. Perutnya penuh dan menggembung, itu sudah pasti. Tetapi lebih dari itu, dia jadi merasa tidak memiliki energi untuk meneruskan sisa pekerjaannya yang masih ada banyak lagi. Naskah terakhir yang dia kerjakan bahkan adalah pekerjaan pertamanya hari ini. Masih ada tiga pekerjaan serupa dan dua pekerjaan freelance lainnya.
"Siapa yang menciptakan kerja di dunia ini sebenernya? Kenapa manusia nggak bisa cuma makan, tidur, dan ngelamun aja?" monolognya.
Kendati begitu, dia tetap menyeret langkahnya kembali ke meja kerja. Biar bagaimanapun, semua pekerjaan yang sudah dia ambil harus tetap diselesaikan sesuai tenggat waktunya. Lebih daripada karena butuh uang, ini juga adalah bentuk tanggung jawab atas pilihan yang sudah dia buat. Sama seperti konsekuensi untuk tidak bisa lagi berhubungan dengan Mama setelah memutuskan angkat kaki dari rumah.
Di hadapan layar komputer yang menampilkan hamparan gunung Fuji sebagai wallpaper desktop, Jovanka melamun sebentar. Sekadar mengambil waktu untuk mengisi ulang energi agar bisa kembali bertempur dengan realita.
Namun, setelah energinya mulai terisi kembali, Jovanka malah salah fokus pada amplop cokelat yang sebelumnya dia tinggalkan di samping komputernya.
Dahi Jovanka berkerut, mulai menerka-nerka lagi apa kiranya yang ada di dalam amplop itu dan siapa gerangan pengirimnya.
"Secret admirer nih jangan-jangan," celetuknya asal. Sedetik kemudian, dia menggelengkan kepala. Tidak ada yang tahu dia tinggal di sini selain instansi-instansi resmi yang memegang alamatnya untuk urusan administratif.
Akhirnya, Jovanka memutuskan untuk memeriksa isi amplop itu sebelum memulai kembali pekerjaannya. Itu lebih baik daripada harus terus menerka-nerka dan malah tidak fokus ketika bekerja.
Setelah membuka segel dan mengintip sedikit, Jovanka menemukan isi di dalam amplop itu adalah lembaran-lembaran foto—dilihat dari jenis kertasnya. Hal tersebut membuatnya semakin kebingungan.
Tetapi...
Bel unitnya tiba-tiba berbunyi beberapa kali, membuat tangannya yang sudah masuk ke dalam amplop untuk menarik lembaran-lembaran foto tersebut sontak tertarik keluar lagi. Jovanka menutup lagi segel amplopnya, meninggalkannya di meja dan gegas berderap menuju pintu. Karena demi apa pun, bel unitnya dipencet dengan sangat brutal, seakan-akan ada sesuatu yang mendesak dan dia harus segera membuka pintunya.
Kemudian, segalanya terjadi begitu cepat. Jovanka tidak punya waktu untuk mencerna situasinya dan berakhir bengong di tempat. Cuma bisa melongo menyaksikan Eliana menarik paksa lengan Karel untuk masuk kembali ke unit mereka yang pintunya terbuka lebar, hanya sesaat setelah si kecil nakal itu meletakkan sekotak brownies di tangannya.
Barulah beberapa waktu kemudian, ketika Jovanka mendapatkan kembali fokusnya, dia menghela napas panjang.
"Anak sama bapak sama aja, sama-sama nggak jelas," dumalnya.
Alih-alih kembali ke unitnya, Jovanka lebih memilih untuk mengikuti rasa penasaran yang minta dipuaskan. Dengan derap langkah lebar, dia bergeser menyambangi unit Karel di sebelah.
Untuk apa memencet bel dengan sopan, kalau dia bisa menekan tombol itu dengan brutal, persis seperti apa yang Karel lakukan pada unitnya beberapa saat lalu?
"Buka!" serunya. Jari telunjuknya masih enggan meninggalkan bel, menimbulkan kegaduhan tiada henti.
Ceklek.
Pintu unit Karel terbuka, tetapi alih-alih bisa mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, Jovanka malah dibuat terkejut saat sesuatu yang berbulu menyambangi kakinya. Dia menunduk dengan dahi yang berkerut, merasa heran karena anjing Pomeranian milik Karel melompat-lompat gemas sambil mengeluarkan suara rengekan lembut. Anjing itu juga beberapa kali menggesekkan tubuhnya di kaki Jovanka, seperti mengajak main.
"Hei," panggilnya. Brownies di tangannya mengganggu, jadi dia sekonyong-konyong mengopernya kepada Karel yang berdiri gagu di ambang pintu. Sesudahnya, Jovanka berjongkok dan secepat kilat membawa anjing Karel ke gendongannya.
"Kamu mau kenalan sama aku, ya? Mau berteman?" tanyanya sambil mengusap kepala si anjing gemas. Dalam sekejap, dia sudah melupakan tujuan utamanya menyambangi unit Karel.
Sementara itu, di posisinya, Karel terdiam cukup lama. Sarang memang jenis anjing yang friendly, tetapi selama empat tahun dipelihara, anak itu belum pernah terlihat begitu excited untuk bertemu dengan manusia baru, apalagi ini adalah pertemuan pertamanya dengan Jovanka.
"Siapa namanya?"
Pertanyaan itu serta-merta membuyarkan rasa penasaran Karel. Tatapannya bersirobok dengan Jovanka, terpaku cukup lama sebelum embusan napasnya lolos begitu saja.
"Sarang," jawabnya ogah-ogahan. Bukan, bukan. Bukan karena tidak suka mengenalkan Sarang kepada orang lain, dia hanya mendadak kesal karena Sarang bisa secepat itu menyukai Jovanka, sedangkan dulu ketika pertama kali dibawa ke rumah anjing itu butuh waktu lebih lama untuk mau dekat dengan dirinya.
"Sarang? Bahasa Korea?"
"Iya."
"Siapa yang kasih nama? Lo nggak ada kelihatan suka hal-hal berbau Korea."
"Kalea."
Ah...
Senyum Jovanka memudar perlahan-lahan. Memang sialan mulutnya ini. Seharusnya tidak perlu banyak bertanya. Sudah tahu anjing ini dibawa dari rumah dan tidak dipelihara sehari-hari di unit, ya sudah pasti ada hubungannya dengan masa lalu, kan? Kenapa, sih, dia ini tidak kunjung pintar dan menjadi cepat tanggap?
"Ayah, jangan biarin Sarang sama Penyihir, nanti dia disihir jadi kue jahe!"
"Apaan, ngaco!" sambar Jovanka. Eliana betulan tidak memberinya waktu untuk merasa galau. Dalam waktu singkat, perasaannya sudah berubah 180 derajat. Ditatapnya galak Eliana yang menggenggam posesif tangan ayahnya, sedangkan si bocah kematian balik menatap antagonis sambil memasang wajah seram, seolah-olah itu akan membuat Jovanka takut.
"Balikin Sarang!" pinta Eliana, menengadahkan satu tangan, seakan-akan bobot tubuh Sarang bisa dia tanggung dengan tangannya yang sekecil biji jagung itu.
"Sarang mau main sama aku, kamu nggak boleh larang." Menjahili Eliana sepertinya akan seru. Oh, lihatlah, wajah gadis kecil itu sudah merah padam sekarang. Sudah terlanjur begini, apa salahnya untuk menjadikan suasana semakin seru, kan?
Tanpa aba-aba, Jovanka berlari balik ke unitnya, secepat kilatan cahaya, dia membawa Sarang masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Rungunya masih sempat menangkap suara teriakan Eliana mengatakan, "Penyihir jahat! Jangan culik Sarang! Ayah, tolongin, gimana kalau Sarang betulan disihir jadi kue jahe?!" yang seketika membuatnya tertawa terbahak-bahak.
Kue jahe apanya? Anjing selucu ini, jika pun dia betulan penyihir, mana mungkin ada dia sihir menjadi kue jahe? Yang ada, Jovanka akan membubuhkan mantra paling oke, untuk membuat Sarang hidup selamanya. Agar bisa bermain dan menemani kesepiannya sampai dunia kiamat.
"Nah, kita main di sini aja. Majikanmu itu dua-duanya nggak waras."
Anehnya, Sarang manut saja. Dia tidak merengek minta dikembalikan kepada sang empunya. Sebaliknya, bocah bulu itu malah kelihatan nyaman sekali di gendongan Jovanka. Sesuatu yang malah membuat Jovanka besar kepala.
Taklukin dulu anjingnya, baru nanti majikannya.
Bersambung....