Di balik ketenangan Desa Warengi Jati, sebuah tragedi mengoyak rasa aman warganya. Malam itu, seorang penduduk ditemukan tewas dengan cara yang tak masuk akal. Desas-desus beredar, rahasia lama kembali menyeruak, dan bayangan gelap mulai menghantui setiap sudut desa.
Bayu, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam, terjebak dalam pusaran misteri ini. Bersama Kevin sahabat setianya yang sering meremehkan bahaya dan seorang indigo yang bisa merasakan hal-hal yang tak kasatmata, mereka mencoba menyingkap kebenaran. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin jelas bahwa Warengi Jati menyimpan sesuatu yang ingin dikubur selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaNyala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Putih Di Ujung Desa (2)
Setelah lama melamun akhirnya Bayu memutuskan akan benar benar masuk ke rumah itu untuk menyelidiki kalau benar adanya pembunuhan semua harus terbongkar, jikalau tak terbongkar semuanya akan bernasib buruk, mungkin pembunuhan akan lebih sering terjadi...
Happy Reading..🕵♂️📸
......**----------------**...
...
Siang itu di hari esoknya langit mendung menutup matahari. Bayu dan Kevin berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah putih. Meski masih siang, hawa di sekitar rumah terasa dingin menusuk. Rumput liar tumbuh tinggi di pekarangan, ranting pohon kering menjuntai, seolah menahan siapa pun yang hendak masuk.
“Tempatnya beneran creepy, Pin. Kayak rumah di film-film horor. Gua curiga nih, sutradara Indonesia dulu ngambil referensi dari sini,” gumam Bayu, mencoba menutupi rasa tegang dengan bercanda.
Kevin tidak menjawab. Matanya terpaku pada jendela lantai dua. Ia kembali melihat sosok perempuan yang sama Nabila menatap mereka dengan wajah sendu. Kali ini, jelas sekali darah mengalir di sisi perutnya.
“Bayu… dia ada di atas. Nabila,” suara Kevin bergetar.
Bayu menoleh cepat, lalu mengibaskan tangan. “Jangan bikin gua panik duluan. Lu liat setannya, gua liat… pintu nggak dikunci.”
Mereka masuk pelan. Bau anyir menusuk hidung begitu pintu terbuka. Lantai keramik terasa lembap, cat dinding mengelupas. Lampu gantung di ruang tengah berayun pelan meski tidak ada angin.
Bayu mencoba menenangkan diri. “Pin, kita harus fokus. Cari sesuatu yang bisa ngejelasin kenapa pasangan itu mati di sini.”
Kevin berjalan lebih jauh ke dalam rumah, menyusuri lorong panjang dan gelap di sisi kiri. Lampu-lampu lorong itu padam, hanya cahaya samar dari jendela yang masuk.
Lorong itu terasa asing sunyi, dingin, seperti belum pernah dijamah. Bayu merinding, merasakan hawa tidak wajar.
“Bayu…” suara Kevin lirih. “Dia nunjuk ke ujung lorong.”
Bayu menoleh, mengikuti arah telunjuk Kevin. Di sana ada sebuah ruangan kecil dengan pintu setengah terbuka. Ruangan itu kosong, penuh debu, dan jelas tidak pernah dipakai. Di tengahnya, terbentang karpet hijau pucat bermotif bunga yang tampak usang.
Bayu mengernyit. “Ruangan kosong begini kok ada karpet? Nggak masuk akal.”
Kevin berdiri kaku. “Itu bukan karpet biasa. Di bawahnya… ada sesuatu.”
Dengan ragu, Bayu maju. Ia menyingkirkan karpet perlahan. Dari bawahnya, muncul garis persegi samar di lantai kayu penutup menuju ruang bawah tanah.
Derit kayu terdengar saat Bayu menarik tutupnya. Bau busuk bercampur anyir langsung menyembur keluar.
“Ya ampun… ini jelas bukan gudang biasa.” Bayu menutup hidung.
Tangga kayu sempit menurun ke kegelapan. Bayu menyalakan senter dari ponselnya. “Pin, siap?”
Kevin menelan ludah, mengangguk. Ia tahu tempat itu menyimpan jawaban.
Mereka turun perlahan. Di bawah sana, ruangan lembap terbentang. Lilin hitam meleleh di sudut, simbol-simbol aneh tergores di dinding semen, dan bercak darah menodai lantai.
Bayu jongkok, mengamati simbol itu. “Ini jelas bukan corat-coret anak kampung. Lu ngerti artinya?”
Kevin memejamkan mata sejenak. Ketika ia membuka, tatapannya kosong. “Bayu… itu segel. Buat manggil sesuatu. Dan darah… itu tumbalnya.”
Belum sempat mereka mencerna, suara langkah kaki berat terdengar dari atas lorong. “Kreeek… kreeek…”
Bayu refleks mematikan senter, menahan napas. Dari celah lantai, tampak bayangan seseorang berjalan mondar-mandir di atas ruangan itu.
“Lu liat siapa?” bisik Bayu.
Kevin menatap tajam ke atas. Pupil matanya melebar. “Itu… Zikri. Tapi… dia udah mati.”
Bayu menahan napas sambil memandang ke arah Kevin. “Lu yakin itu Zikri?”
Kevin mengangguk pelan. Tubuhnya kaku, suaranya gemetar. “Iya… dia muter-muter, kayak nyari sesuatu.
Tapi wajahnya berlumuran darah. Dia nggak sadar kalo udah mati.”
Bayu menelan ludah. Otaknya masih berusaha membedakan mana yang nyata, mana yang gaib. “Oke, kalo itu beneran arwah Zikri, berarti dia nyari bantuan. Kita harus cari tahu apa yang dia maksud.”
Mereka menunggu sampai suara langkah itu menjauh. Setelah yakin aman, Bayu menyalakan senter lagi. Cahaya kuning menyapu dinding penuh simbol. Lalu matanya berhenti pada sebuah bekas goresan besar di semen.
“Pin, sini. Lu liat tanda ini? Kayak huruf A… terus ada lingkaran di sekitarnya. Apa ini bagian dari ritual juga?”
Kevin melangkah pelan, matanya langsung melebar. “Bukan… itu bukan segel. Itu tanda. Kayak… tanda kepemilikan.”
Bayu mengernyit. “Maksud lu?”
Kevin menarik napas dalam-dalam. “Arwah Zikri nunjukin ini ke gua barusan. Bayu, gua tau siapa yang bikin semua ritual ini…”
Bayu terdiam. “Siapa?”
Kevin menatap sahabatnya dengan wajah serius. “Pak Alex.”
Nama itu langsung bikin bulu kuduk Bayu berdiri. “Yang punya rumah sebelum Zikri? Tapi… bukannya dia kelihatan ramah banget? Suka senyum, suka ngobrol?”
Kevin menunduk, tubuhnya gemetar. “Itu Cuma topeng. Gua liat… Zikri dibunuh di sini. Tangannya diikat. Darahnya dipakai buat nyelesain ritual. Dan bayangan pelakunya… jelas-jelas Pak Alex.”
Bayu menatap langit-langit seakan bisa menembus ke atas. “Ya Tuhan… kalo ini bener, berarti kita lagi berdiri di TKP pembantaian.”
Suasana makin mencekam. Bau busuk makin terasa, seolah ada sesuatu yang membusuk di sudut ruangan. Bayu mengangkat senter ke arah tumpukan karung. Tangannya ragu, tapi rasa penasaran mendorongnya. Perlahan ia buka salah satu karung…
“Astagfirullah…” Bayu langsung mundur.
Di dalamnya ada potongan tubuh yang sudah menghitam, tulang-tulang masih menempel dengan sisa daging. Kevin menutup mulut, hampir muntah.
“Bayu… itu mereka. Orang-orang yang hilang dari desa. Arwah mereka nggak tenang. Gua bisa ngerasain semuanya ada di sini.”
Tiba-tiba udara di ruangan makin dingin. Lilin hitam yang sudah mati tiba-tiba menyala lagi dengan sendirinya. Bayangan Zikri muncul di pojok, wajahnya rusak, matanya penuh darah. Ia menunjuk ke atas lorong dengan tangan bergetar.
Bayu menelan ludah kali ini pria itu melihat langsung bagaimana bentuk sebuah arwah, dia kaget karena wujudnya benar benar menyeramkan, ternyata selama ini wujud begini yang selalu Kevin lihat, lalu dia menatap Kevin. “Dia nunjuk ke mana?”
Kevin memicingkan mata, mengikuti arah telunjuk roh itu. “Ke ruang tamu… ke lukisan tua di dinding.
Katanya… kunci semua jawaban ada di situ.”
Langkah mereka terdengar pelan saat menapaki tangga kayu yang berderit. Bayu menggenggam senter erat-erat, sementara Kevin sesekali berhenti karena melihat sosok-sosok samar yang berjejer di lorong.
“Jangan nengok, Bay. Jangan liat ke samping,” bisik Kevin lirih.
Bayu menahan napas. “Apa lagi sekarang?”
“Korban-korban lain… mereka berdiri di sepanjang lorong. Semua mata mereka kosong, kayak nunggu sesuatu.”
Bayu merinding. Ia mempercepat langkahnya. Begitu sampai di ruang tamu, suasana terasa lebih lapang, tapi hawa dingin tetap menusuk tulang. Lampu gantung bergoyang pelan, seakan ada angin padahal jendela tertutup rapat.
Kevin berhenti tepat di depan lukisan besar yang menggantung di dinding. Lukisan itu bergambar seorang pria berjas hitam dengan tatapan tajam.
“Gua udah pernah liat wajah ini…” gumam Kevin.
Bayu mendekat, menyorotkan senter. “Loh, ini mirip banget sama Pak Alex waktu muda, kan?”
Kevin mengangguk pelan. “Iya. Roh Zikri tadi nunjukin ini… berarti ada sesuatu di balik lukisan.”
Bayu mendesah, lalu mencoba melepas bingkai lukisan. Berat sekali, seolah menempel kuat pada dinding. Dengan susah payah, akhirnya mereka berhasil mengangkatnya. Di baliknya, ada tembok tua dengan garis retakan berbentuk kotak.
“Ini kayak pintu kecil,” ujar Bayu.
Kevin mendekat, menempelkan telinga. “Ada sesuatu di dalamnya.”
Bayu mengambil linggis dari tas kecil yang ia bawa, lalu mulai mencongkel retakan itu. Setelah beberapa kali hentakan, tembok tipis itu runtuh, menyingkap sebuah ruang rahasia sebesar lemari.
Di dalamnya tersusun beberapa benda.
Sebuah buku kulit lusuh berisi catatan ritual.
Topeng kayu dengan noda darah kering.
Dan sebuah kotak kecil besi yang terkunci.
Bayu menelan ludah. “Astaga… ini beneran altar mini.”
Kevin menyentuh buku kulit itu dengan hati-hati. Begitu jarinya menyentuh sampul, bayangan hitam melintas sekilas. Matanya langsung membelalak, tubuhnya kaku.
“Pin! Lu kenapa?!” Bayu mengguncang bahunya.
Kevin menggertakkan gigi, suaranya serak. “Gua liat… gua liat Pak Alex sendiri yang nulis semua catatan ini. Dia bikin perjanjian sama makhluk itu sejak belasan tahun lalu. Tumbal pertama… bahkan sebelum rumah ini dijual ke Zikri.”
Bayu mengernyit. “Berarti semua korban… dari dulu udah direncanain?”
Kevin mengangguk, wajahnya pucat. “Dan kotak besi itu… isinya bukti yang bisa kita pakai buat buka kasus ini. Gua rasa di dalamnya ada identitas korban, mungkin juga sesuatu yang bisa terkait langsung ke Pak Alex.”
Bayu memegang kotak itu. “Masalahnya… ini kekunci rapet banget. Kita harus cari kuncinya.”
Tiba-tiba suara berbisik terdengar di telinga Kevin. Ia tersentak, lalu menoleh ke arah lorong. Roh Zikri berdiri di sana, darah terus menetes dari wajahnya. Ia mengangkat tangan, menunjuk ke arah dapur.
“Bayu…” suara Kevin bergetar. “Dia bilang kuncinya ada di dapur. Tapi… dijaga.”
“Dijaga? Maksud lu?”
Kevin menelan ludah. “Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang lebih gelap dari roh… mungkin makhluk yang dipanggil Pak Alex buat ngawasin semua rahasia ini.”
Dapur rumah putih itu sunyi. Lampu neon tua menggantung di langit-langit, berkedip-kedip seakan hampir mati. Bau anyir menusuk hidung Bayu dan Kevin begitu mereka melangkah masuk.
“Kenapa bau darah di sini makin kuat, Pin?” tanya Bayu pelan.
Kevin menyipitkan mata, matanya merah seperti menahan sesuatu. “Karena ada sesuatu yang nggak boleh kita lihat… tapi gua liat jelas. Dia di pojok itu.”
Bayu menyorotkan senter ke arah sudut gelap dekat lemari tua. Kosong. Tapi wajah Kevin berubah pucat pasi.
“Dia ada di sana, Bay. Tingginya hampir dua meter, badannya hitam pekat kayak arang. Matanya merah, dan mulutnya kebuka lebar, penuh gigi tajem. Dia lagi nunduk, ngeliatin kita.”
Bayu merinding, tangannya refleks menggenggam linggis. “Kuncinya ada di situ juga?”
Kevin mengangguk pelan. “Di lemari besi tua itu, tepat di samping kakinya.”
Tiba-tiba suara geraman rendah terdengar, membuat gelas-gelas di rak bergetar. Lampu neon padam seketika. Gelap gulita.
“Bayu! Jangan gerak!” bisik Kevin panik.
Suara langkah berat menghentak lantai kayu. Nafas kasar terdengar semakin dekat. Bayu menutup mulutnya, keringat dingin mengucur deras.
Kevin, dengan wajah tegang, memejamkan mata. Ia berusaha berkomunikasi. “(Dalam hati) Kalau kau hanya penjaga, biarkan kami lewat… kami bukan musuh.”
Namun makhluk itu menggeram lebih keras. Bayu nyaris teriak ketika merasakan sesuatu menyentuh bahunya.
“PIN! Dia nyenggol gua!”
Kevin langsung membuka mata, melihat makhluk itu berdiri tepat di belakang Bayu. Tangan hitam besar dengan kuku panjang menempel di pundaknya.
“Bay! Jongkok sekarang!”
Tanpa pikir panjang, Bayu menjatuhkan diri ke lantai. Sesaat kemudian, makhluk itu menghantam dinding dengan kekuatan besar. Retakan langsung menjalar di tembok dapur.
Kevin menahan nafas, lalu berteriak lirih, “Lari ke lemari! Ambil kuncinya!”
Bayu merangkak cepat ke arah lemari besi tua. Tangannya gemetar saat mencoba membukanya. Benar, di sana tergantung sebuah kunci tua berkarat. Ia meraihnya dengan cepat.
Makhluk itu mengaum marah, tubuhnya meliuk tak wajar, kepala berputar hampir 180 derajat. Matanya menyalak merah ke arah Bayu.
“PIN! DIA LIAT GUA!!”
Kevin melangkah maju, menatap makhluk itu dengan mata tajam. “Berhenti! Kau nggak bisa lewat. Aku tahu kau Cuma dijadikan budak oleh Alex. Kau nggak punya kuasa atas kami!”
Makhluk itu terhenti sejenak, lalu mengeluarkan suara parau. “Pergiii… sebelum… aku cabik… kalian…”
Kevin menggertakkan gigi. “Kami nggak akan pergi sebelum membawa kebenaran keluar dari rumah ini.”
Bayu berhasil meraih kunci dan kembali ke sisi Kevin. Mereka mundur perlahan, sementara makhluk itu merayap ke langit-langit, mengawasi dari atas dengan tatapan membara.
Begitu keluar dari dapur, pintu tiba-tiba membanting menutup sendiri. Suasana rumah kembali sunyi, hanya suara napas mereka yang tersengal.
Bayu terengah-engah. “Anjir… gua kira tadi gua udah tamat.”
Kevin menatap kunci tua berkarat di tangan Bayu. “Enggak, Bay. Ini baru permulaan. Sekarang… kita buka kotak besinya.”
Malam makin larut. Angin kencang menampar jendela, membuat kaca bergetar. Kevin dan Bayu duduk di ruang tamu, kotak besi tua itu tergeletak di atas meja. Kunci berkarat yang mereka rebut dari dapur terasa berat di tangan Bayu.
“Lu siap, Pin?” tanya Bayu dengan wajah tegang.
Kevin menatap kosong ke arah kotak. Matanya redup, seperti masih dibayangi arwah yang tadi ia lihat. “Nggak ada jalan balik, Bay. Begitu kita buka ini, semua rahasia keluar. Siap nggak siap, kita harus hadapi.”
Bayu mengangguk pelan, lalu memutar kunci. Suara klik terdengar keras, memecah keheningan. Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu.
Isi di dalamnya membuat mereka membeku.
Ada kumpulan foto korban dengan kondisi mengenaskan, beberapa masih utuh, sebagian lain sudah menjadi potongan. Setiap foto bertuliskan tanggal dengan tinta merah. Ada juga kartu identitas yang sudah bernoda darah Nabila, Zikri, dan beberapa warga yang hilang dalam 10 tahun terakhir.
Namun yang paling mengejutkan sebuah surat perjanjian bertuliskan tangan:
“Aku, Alex Gunawan, menyerahkan jiwa para korban ini untuk memperoleh kekuatan dan kekayaan. Sebagai gantinya, aku akan menjaga ritual di rumah ini, dan memastikan darah terus mengalir setiap bulan purnama.”
Bayu langsung memukul meja. “Anjir, ini bukti mati, Pin! Semua ada namanya! Bahkan tanda tangannya jelas banget!”
Kevin mengangguk, wajahnya pucat. “Gua udah liat… dia sendiri yang nulis itu. Roh Zikri nunjukin ke gua berkali-kali. Bayu, ini cukup buat bikin Alex nggak bisa ngeles lagi.”
Belum sempat mereka bernapas lega, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Seseorang masuk tanpa mengetuk. Lampu di ruang tamu bergetar pelan.
Bayu menegang. “Jangan bilang…”
Dari balik pintu, muncullah sosok yang sangat familiar Pak Alex. Dengan senyum tipis, ia menatap mereka.
“Ah… rupanya ada tamu tak diundang yang berani bongkar rahasia saya.”
Bayu berdiri, linggis di tangannya. “Jangan pura-pura polos, Alex. Semua bukti ada di sini. Foto, identitas, bahkan surat perjanjian lu sendiri!”
Pak Alex tertawa kecil, tenang. “Kalian pikir orang akan percaya? Anak kampung sok jadi detektif? Dan satu lagi… siapa yang mau percaya sama Kevin, si anak aneh yang katanya bisa lihat hantu?”
Kevin maju selangkah, matanya menatap tajam. “Arwah Zikri ada di sini, Alex. Dia nggak akan diem sampai lu bayar semua dosa lu.”
Tiba-tiba lampu padam total. Hawa dingin menyelimuti ruangan. Suara jeritan samar terdengar dari arah lorong jeritan para korban.
Bayu menggenggam linggis makin erat. “Pin… gua nggak suka ini…”
Lalu sesuatu terjadi. Dari gelap, bayangan hitam muncul, mendorong Pak Alex hingga tersungkur. Arwah Zikri muncul, berdiri tepat di belakangnya. Wajahnya rusak, darah terus menetes, tapi matanya penuh amarah.
Kevin berbisik, “Itu dia… Zikri nggak akan biarin Alex kabur.”
Pak Alex menjerit, mencoba melawan bayangan yang menahan tubuhnya. “Lepaskan aku! Lepaskan!!!”
Namun bayangan itu menekan tubuhnya ke lantai. Bayu cepat-cepat menyalakan senter, sorot cahaya memperlihatkan Alex yang gemetaran, matanya liar penuh ketakutan.
“Bayu, rekam ini! Semua harus lihat bukti kalau dia ngaku!” teriak Kevin.
Dengan tangan gemetar, Bayu mengangkat ponselnya, merekam. “Ngaku, Alex! Semua orang bakal tahu! Lu bunuh Zikri sama istrinya, kan?!”
Pak Alex meraung. “Iya! Iya, itu saya! Mereka semua tumbal! Aku lakukan demi kekayaan, demi kekuatan! Tapi aku nggak bisa berhenti, mereka nggak pernah puas!!”
Suara Alex menggema di ruang tamu. Jeritan para arwah makin keras, seperti menyambut pengakuannya.
Beberapa menit kemudian, polisi desa datang dipanggil oleh warga yang mendengar kegaduhan. Mereka mendobrak masuk, menemukan Pak Alex terduduk di lantai dengan wajah pucat dan tubuh bergetar. Kotak besi terbuka di meja, penuh bukti mengerikan.
Pak RT ikut masuk, wajahnya terkejut. “Ya Allah… ini semua…”
Bayu menyerahkan ponsel dengan rekaman pengakuan Alex. “Pak, ini buktinya. Dia yang bunuh Zikri, Nabila, dan semua korban hilang.”
Polisi segera memborgol Alex yang masih berteriak histeris. “Mereka nggak akan biarin aku hidup! Mereka bakal datang lagi!!”
Arwah Zikri berdiri di pojok, menatap Kevin. Perlahan, wajahnya yang penuh darah mulai pudar, berganti dengan senyum tipis penuh rasa terima kasih. Lalu… ia menghilang.
Kevin menghela napas panjang. “Akhirnya… dia tenang sekarang.”
Bayu menepuk bahu sahabatnya. “Kerja bagus, Pin. Lu bukan Cuma nolong gua… tapi lu nolong satu desa.”
Kevin menatap kosong ke jendela gelap. “Tapi gua tau, Bay… ini bukan akhir. Selama gua masih bisa lihat mereka, gua nggak akan pernah bener-bener bebas.”
Bayu tersenyum kecut. “Ya udah, berarti mulai sekarang kita resmi partner. Lu bagian dunia gaib, gua bagian dunia nyata. Bareng-bareng, kita beresin semuanya.”
Malam itu, kasus rumah putih Desa Warengi Jati resmi terbongkar. Tapi di balik itu semua, Kevin tahu… masih banyak rahasia kelam yang menunggu untuk diungkap. Perjalanan masih jauh bagi Kevin dia tau pasti desa ini mempunyai sejarah kelam...
......**--------------------**...
...
DISCLAMER❗️⚠️
Cerita ini hanya karangan semata jika ada perilaku/kata yang kasar mohon di maafkan. Dan apabila jika ada kesalahan dalam pengetikan kata/typo saya mohon maaf, namanya juga kan manusia mimin juga manusia lohh, jadi mohon dimaklumi ya hehe..
Sekali lagi mimin mengucapkan mohon maaf jika per episode di dalam cerita yang mimin buat terlalu pendek soalnya mimin sengaja membagi agar BAB nya banyak, dan biar kaliannya juga greget hehehe😜