Keyz berpetualang di Dunia yang sangat aneh. penuh monster dan iblis. bahaya selalu datang menghampirinya. apakah dia akan bisa bertahan?
Ini adalah remake dari novel yang berjudul sama. dengan penambahan alur cerita.
selamat membaca
kritik dan saran di tunggu ya. 😀
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Quest 3. Collecting Nisel Wood. Success
The Last Twenty-Seven Pieces
Keyz melanjutkan kembali perburuannya. Ia tidak lagi membuang-buang waktu; kini ia berubah meningkatkan efisiensi perburuan nya.
Pertarungan-pertarungan selanjutnya tidak lagi menggunakan strategi, melainkan pertarungan yang membabi buta. Ia menyadari Nisel Boar lebih peka terhadap suara di malam hari—dan ia memanfaatkannya dengan sempurna.
Ia akan mengeluarkan geraman rendah, semacam umpan, membuat para Nisel Boar saling beradu arah, saling tabrak, dan kebingungan mencari sumber suara. Saat dua atau tiga monster itu saling bertubrukan, Keyz akan menyerbu tanpa ragu.
Kali ini, ia tidak lagi mengincar perut. Ia mengincar tengkorak kepala. Itu bisa membunuh Nisel Broar lebih cepat.
Dengan kecepatan yang lahir dari keputusasaan, Keyz melompat di atas punggung mereka, menancapkan pedang pemberian Syalala di antara tulang belikat monster dan tulang kepala, dan mencabut serat cangkang kayu keras itu dengan kejam. Bilah pedang itu menembus lapisan kayu, merobek urat saraf, hingga membelah inti tengkorak.
Darah hangat memancar di tengah kegelapan, mengotori wajah Keyz, namun ia hanya menghitung setiap Nisel Wood yang dia butuhkan. dua enam, dua tujuh, tiga puluh,…
Setiap keping Kayu Nisel yang muncul di tengah kepulan asap adalah suntikan motivasi baru untuk Keyz, dia terus dan terus meningkatkan serangannya.
Saat Keyz sedikit lengah, seekor Nisel Boar menabraknya dari samping, membuat Keyz terpental dan jatuh ke tanah berbatu. Tanduk monster itu menggores zirah kulitnya hingga robek, menembus ke kulit. Rasa sakit itu membuat Keyz menyeringai.
Ketika monster itu bersiap menyerang lagi, Keyz menggunakan lengan kirinya untuk menangkap tanduknya. Ototnya menegang hingga hampir robek. Ia menggeram, matanya berkilat, menggila, dan dengan kekuatan yang entah dari mana, ia memutar kepala monster itu dengan sekuat tenaga.
Krak!
Leher Nisel Boar itu patah disertai suara mengerikan. Keyz melemparkan bangkai itu ke arah monster lain, menciptakan kekacauan di sana. Keyz terus menerus mengambil Kayu Nisel yang berceceran.
Tiga puluh sembilan keping. Empat puluh dua keping.
Keyz telah mencapai titik di mana pikirannya berhenti bekerja. Ia hanya bergerak, mengayunkan pedangnya, melompat tanpa berpikir. Seolah-olah dia adalah bayangan hitam yang menyapu bersih lereng Gunung Nisel dari kawanan Monster babi hutan itu.
End of the Hunt
Waktu terus berlalu. Tanpa terasa, hari sudah mulai pagi. Embun mulai turun, membasahi wajah Keyz yang dingin dan kaku. Ia berdiri di atas gundukan rumput yang dilingkupi sisa asap dari monster-monster yang memuai.
Ia menghitung hasil buruannya.
“Empat puluh tujuh, empat puluh delapan, empat puluh sembilan…”
Ia hanya butuh satu lagi.
Napasnya berat dan terputus-putus. Pedang di tangannya meneteskan cairan gelap yang entah darah atau getah. Lalu matanya menangkap sosok besar di kejauhan—seekor Nisel Boar raksasa, jauh lebih besar dari monster lainnya, tengah menggerogoti akar pohon mati.
Monster itu tampak tenang, terpisah dari kekacauan yang baru saja terjadi.
Keyz melangkah mendekat dengan langkah tertatih. Ia terlalu lelah untuk berpikir tentang. Yang tersisa hanyalah pertarungan hidup dan mati. Atau tidak bisa membayar hutang satu juta koin emas.
Monster itu mendongak. Matanya membesar, dan dalam saat menyadari Keyz mendekati nya, raungan berat keluar dari tenggorokannya—suara yang dalam, bergema, seperti pohon tua yang retak. Ia menyerbu, membabi-buta, menghancurkan apa pun yang ada di depannya menuju Keyz berada.
Keyz kini diam di tempatnya, mengamati setiap langkah Broar Rasaksa itu. keyz menunggu hingga detik terakhir—saat tanduk raksasa itu tinggal sejengkal dari wajahnya.
"Demon Slayer."
Keyz, Dengan gerakan mustahil di lakukan oleh manusia pada umumnya, ia memiringkan tubuhnya, membiarkan tanduk itu merobek udara di atas bahunya. Pada saat bersamaan, ia menancapkan pedangnya ke bahu monster, memutar gagangnya dengan seluruh kekuatan di pergelangan tangannya.
Tulang bahu Nisel Boar itu hancur. Raungan kesakitan menggema ke seluruh lembah.
Keyz menarik pedangnya saat itu juga. Darah dan serpihan kayu berhamburan. Ia meloncat ke sisi kepala monster itu, lalu menusukkan pedang lurus ke mata Nisel Boar yang masih mengamuk.
Sreeett—
Pedang itu menembus hingga ke otak.
Tubuh raksasa itu membeku, lalu dia roboh, menciptakan suara yang bergemuruh, menggema di gunung Nisel . Dalam sekejap, ia memuai menjadi asap tebal.
Keyz terhuyung mundur. Ia jatuh ke tanah, membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak dari segala rasa sakit dan kelelahan yang menumpuk.
Di tengah asap itu, sesuatu bersinar pucat di bawah sinar rembulan—satu potongan terakir Nisel Wood.
Keyz tersenyum tipis. Ia merangkak, meraih potongan kayu itu, dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam ransel besarnya yang dia taruh di tanah.
Lima puluh batang Nisel Wood telah di dapatkan.
Sempurna.
Return to the City Full of Accidents
Ketika fajar menyingsing sepenuhnya, Keyz berjalan tertatih-tatih kembali menuju Sad Town. Sinar matahari pagi menembus celah pepohonan, menyentuh wajahnya yang penuh noda keringat, debu, dan darah monster. Setiap langkah terasa menyakitkan, namun beban di punggungnya—ransel yang kini terisi penuh—memberi kepuasan tersendiri. Beban keberhasilan.
Ia melewati para petualang yang baru berangkat menuju Gunung Nisel. Tatapan mereka tertuju padanya: pakaian compang-camping, pedang yang masih berlumur darah, dan yang paling menggetarkan—mata kirinya yang hitam legam, kontras dengan mata kanannya yang normal.
Tanpa sadar, mereka menyingkir memberi jalan.
Keyz tak peduli. Ia terlalu lelah untuk mengindahkan rasa takut atau tatapan cemooh orang lain.
Begitu Keyz melangkah melewati Gerbang Utara Sad Town, hiruk-pikuk kota menyambutnya. Bau roti panggang dari kedai pinggir jalan, dentang palu dari bengkel pandai besi, serta tawa para pedagang bercampur menjadi harmoni kehidupan yang kontras dengan tragedi pembantaian Babi di kaki gunung Nisel semalam.
The Elder Tree
Keyz berjalan lurus menuju pusat kota, mencari Toko Bangunan & Kerajinan "The Elder Tree". Tak jauh dari papan pengumuman, ia menemukannya—bangunan kayu besar yang terawat baik, dengan lambang pohon tua terukir di atas pintu masuk.
Begitu ia membuka pintu, denting bel kecil menyambutnya.
Udara di dalam toko beraroma serbuk gergaji dan pernis—bersih, hangat, dan nyaman. Dinding-dindingnya dipenuhi balok kayu yang dipoles, perkakas tukang, serta berbagai ukiran seni yang menenangkan mata.
Dari balik tumpukan papan kayu, muncul seorang pria tua berjanggut putih tebal, mengenakan celemek kulit. Matanya sipit, menatap ramah, namun senyumnya perlahan memudar ketika melihat kondisi Keyz—pakaiannya yang robek dan mata kirinya yang hitam legam dan tak wajar.
“Selamat datang, Tuan Muda. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya berusaha terdengar sopan, suaranya berat mencoba hangat dan bersahabat.
Keyz tidak membuang waktu. Ia menjatuhkan ransel besarnya ke lantai dengan bunyi “gedebuk” yang menggema di seluruh ruangan.
“Aku datang untuk menyelesaikan Quest Nisel Wood,” katanya datar, suaranya parau karena kelelahan. Lalu mengeluarkan pamflet yang dia ambil dari papan pengumuman di tengah kota.
Pria tua itu menatap terkejut ketika Keyz mengeluarkan isi ranselnya—tumpukan Kayu Nisel yang tebal dan kokoh, beberapa masih berlumur darah kering. Ia menghitung satu per satu, mengamati serat dan kualitas setiap potongannya dengan mata pengrajin sejati.
“Satu… dua puluh… empat puluh sembilan… lima puluh,” gumamnya perlahan. “Luar biasa. Kualitasnya sempurna… dan Tuan Muda, kau menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu hari.”
Ia menatap Keyz, hampir tak percaya.
“Banyak petualang tak mampu membawa dua puluh potong dalam dua hari.”
“Aku butuh uang,” jawab Keyz singkat.
Pria tua itu mengangguk, memahami lebih dari yang diucapkan. Ia mengambil sebuah kantong kulit dari laci di balik meja, menyerahkannya dengan hormat. Suara dentingan koin di dalamnya terdengar merdu di telinga siapa pun yang kelaparan akan uang.
“Ini, Tuan Muda—lima puluh ribu koin perak, ditambah bonus sepuluh persen karena menyelesaikan nya lebih cepat. Total lima puluh lima ribu koin perak,” ujarnya.
Keyz menerima kantong itu tanpa banyak berbicara. Berat koin di tangannya terasa nyata, meski jauh dari kata cukup untuk menebus utang yang menghantuinya.
Namun, setiap langkah besar selalu dimulai dari sesuatu yang kecil.
Pria tua itu kembali tersenyum. “Terima kasih, Tuan Keyz. Saya harap kita bisa bekerja sama lagi.”
Keyz mengangguk pelan. Ia berbalik, melangkah pergi membawa pedangnya yang berlumur darah dan zirah compang-camping, tanpa menoleh.
Nex
Di tengah keramaian Sad Town, ia berhenti, menengadah pada langit biru kota itu. Lalu dia berteriak kencang sambil menjatuhkan diri ke jalan.
“AARRRGGGG!!! SERATUS JUTA KOIN EMAS!!!”
Semua orang menatapnya.
Hening sesaat.
Lalu seorang petualang di tepi jalan bergumam sambil menggeleng pelan,
“Dasar orang gila…”