NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hanasta 16

Bus berhenti di sebuah jalan gang perumahan kecil di pinggiran kota.

Raina turun dengan lutut masih gemetar, napas tidak stabil.

Ia menoleh ke kiri—

ke kanan—

memastikan tidak ada yang mengikutinya.

Gang itu sepi.

Terlalu sepi.

Burung tidak berkicau.

Angin berhenti.

Bahkan anjing tetangga yang biasanya menggonggong pun tidak bersuara.

Raina menelan ludah.

Perasaan buruk mencengkeram dadanya.

Ia meremas tasnya dan berjalan cepat menuju rumah kecil bercat hijau—rumah yang ia tinggali seorang diri sejak lulus SMA.

“Buka pintu… buka pintu…”

gumamnya gemetar.

Tangannya mencari kunci, tapi karena gugup, ia menjatuhkannya dua kali.

“Kumohon… kumohon…”

Klik.

Pintunya terbuka.

Raina langsung masuk dan menutup pintu keras-keras, mengunci semua slot, memasang rantai pintu, lalu berdiri dengan punggung menempel tembok.

Napasnya tersengal.

Air mata menetes tanpa ia sadar.

“Aku… aman…”

bisiknya.

“Aku aman… aku aman…”

Namun kalimat itu tidak benar-benar membuatnya percaya.

Ia berjalan ke ruang tamu yang kecil, memandang jendela yang tertutup tirai.

Tidak ada orang di luar.

Tapi firasatnya… buruk.

Raina mengambil ponsel.

Tangannya bergetar saat ia mencoba mengetik nomor polisi.

Namun sebelum layar ponsel menyala penuh—

BRAAAK!!

Suara keras datang dari dapur.

Raina membeku.

Ponselnya hampir jatuh dari tangan.

Ia tidak bernapas.

Ada suara lain—

pelan, berat, seperti seseorang…

bernapas.

“…hhaa…”

Raina menutup mulutnya rapat-rapat.

“Bukan tikus… bukan angin… itu terlalu… berat…,”

bisiknya nyaris tanpa suara.

Pelan-pelan ia berjalan mundur ke arah kamar, tapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar:

Gubrak.

Suara kursi jatuh.

Raina menutup mulut lebih kuat.

Air matanya mengalir deras.

Ada seseorang di rumahnya.

Dan dia masuk lebih dulu—

sebelum Raina tiba.

Pintu depan yang ia kunci sekarang…

hanya mengunci dirinya bersama orang itu.

Raina menatap ke arah dapur, lututnya lemas.

Ia tidak tahu siapa yang ada di dalam.

Namun ketika suara sepatu menyeret di lantai terdengar mendekat…

Raina tahu:

Itu bukan Lima.

Bukan Tujuh.

Orang ini datang dengan misi berbeda.

Orang ini…

lebih berbahaya.

Raina berlari ke kamar.

Ia mengunci pintu, mendorong lemari kecil untuk mengganjal, lalu merangkak ke bawah ranjang.

Ia menutup mulutnya, menahan napas.

Detak jantungnya menggelegar.

Langkah dari dapur mendekat…

lebih dekat…

lebih dekat…

Tok.

Tok.

Tok.

Setiap langkah seperti palu menghantam lantai.

Raina memejamkan mata, mencoba tidak menangis keras.

Jika dia menangis…

dia ketahuan.

Kemudian seseorang berhenti di depan pintunya.

Sunyi.

Lalu—

Ketuk. Ketuk.

dua kali.

Raina menggigil hebat.

Tidak ada suara.

Sampai akhirnya…

suara pria itu terdengar dari balik pintu.

Suara berat.

Tenang.

Terlalu tenang.

“Raina…”

panggil suara itu.

“Kau di dalam, ya?”

Raina menutup telinganya dengan kedua tangan, air mata jatuh di lantai.

“Tidak… tidak… bukan dia… bukan dia juga…”

bisiknya keras di dalam hati.

Suara itu terdengar lagi, lebih lembut:

“Rai… aku cuma mau bicara.”

Tidak mungkin.

Tidak ada orang yang ia kenal memiliki suara seperti itu.

Suara yang terlalu…

diatur.

Diukur.

Dingin.

Tok.

Ketukan ketiga.

Suara itu turun lebih rendah.

“Kau lihat sesuatu malam itu, kan?”

Raina hampir menjerit.

Itu pertanyaan yang tidak boleh dia dengar lagi seumur hidupnya.

Ia menutup mulut dengan tangan.

Air matanya jatuh membasahi lantai.

Pria itu tertawa kecil.

Lembut.

Namun menyeramkan.

“Jangan takut, Raina…

aku bisa memastikan kau tidak perlu ingat apa pun lagi.”

Kaki Raina menendang dinding tanpa sengaja.

THUK!

Suara keras.

Pria itu langsung berhenti bicara.

Raina menahan napas.

Hening lima detik.

Sepuluh.

Lima belas.

Lalu tiba-tiba—

BRAAAAAAAK!!

Pria itu menendang pintu dengan kekuatan brutal.

Pintu hampir terbuka.

Lemari kecil bergeser.

Raina menjerit dalam hati.

Tidak ada waktu.

Ia harus keluar.

Ia harus kabur dari jendela kamar.

Ia merangkak keluar dari bawah ranjang, tubuhnya gemetar hebat, berlari kecil ke arah jendela yang menghadap gang belakang.

Ia membuka jendela dengan tangan bergetar.

Udara hening masuk.

Raina memanjat bingkai jendela, menjuntai tubuhnya…

BRAK!

Pintu kamar pecah setengahnya.

Pria itu masih berusaha menembusnya.

Raina hanya punya waktu detik.

Ia melompat keluar—

Terjatuh di tanah keras.

Perih.

Tapi ia bangkit.

Lalu ia berlari.

Tanpa menoleh.

Tanpa henti.

Karena ia tahu:

Orang itu—

yang entah siapa—

bukan hanya ingin menangkapnya.

Dia ingin menghapus saksi.

Raina berlari tanpa menoleh.

Lututnya sakit, telapak tangannya lecet karena jatuh tadi, napasnya tersengal seperti tersayat.

Namun suara langkah dari arah rumah—

langkah berat itu—

masih memburu dari kejauhan.

Ia tidak tahu siapa dia.

Tidak tahu apa yang ia mau.

Tapi satu hal pasti:

Pria itu bukan hanya ingin menemukannya.

Dia ingin menghilangkannya.

Raina menyembunyikan wajah dari pandangan orang-orang di gang, lalu berlari ke jalan besar. Setiap napas adalah rasa sakit, tapi tubuhnya memaksa terus bergerak.

Setelah beberapa tikungan—

terlihatlah sebuah bangunan luas dan ramai:

Terminal Bus Utama Kota.

Tempat penuh kerumunan.

Ribut.

Tidak teratur.

Tempat terbaik untuk bersembunyi.

Raina masuk ke dalam kerumunan dengan langkah cepat, menundukkan kepala, memeluk tasnya erat-erat.

Terminal itu penuh suara:

Pengumuman keberangkatan.

Suara bus menderu.

Orang berteriak.

Penjual memanggil-manggil.

Namun semua suara itu seperti kabur di kepala Raina.

Yang ia dengar hanya satu:

Detak jantungnya sendiri.

gedebak-gedebak-gedebak

Ia melihat papan besar.

DESTINASI ANTAR KOTA.

Mata Raina menyapu cepat:

Bandar Suri.

Bakkara.

Parapati.

Medan.

Jambi.

Bogor.

Tujuan mana saja—

asal jauh.

Asal bukan kota ini.

Ia berjalan ke loket tiket, tangan gemetar.

“Pe-pergi… satu…”

ucapnya letih.

Petugas loket mendongak.

"Tujuan?"

"Se—… sejauh mungkin,"

Raina terdengar hampir menangis.

Petugas menatapnya aneh.

Tapi ia mengambil tiket ke kota terjauh.

“Ini. Berangkat 15 menit lagi. Jalur 4.”

Raina mengangguk cepat.

Ia mengambil tiket, tapi tangannya hampir jatuh.

Ia berjalan ke jalur 4, memeluk tasnya.

Setiap orang yang lewat membuatnya takut.

Setiap suara sandal diseret membuatnya menggigil.

Ia duduk di bangku besi dekat bus jalur 4, menundukkan kepala.

Aman…?

Tidak.

Dia tidak yakin.

Raina melihat sekeliling.

Ramai.

Terlalu ramai.

Siapa saja bisa masuk.

Siapa saja bisa menyamar.

Siapa saja bisa memegang foto dirinya dan menyeretnya pergi tanpa ada yang peduli.

Ia merapatkan tas.

Air mata masih menetes.

Namun saat ia menarik napas pelan…

Seseorang duduk di bangku sebelahnya.

Sangat dekat.

Dan berkata dengan suara tenang:

“Kau terluka.”

Raina langsung melonjak, menoleh cepat—

ketakutan luar biasa.

Pria itu memakai hoodie abu-abu, kepala tertunduk.

Ia tidak terlihat berbahaya, tidak terlihat kuat.

Namun wajahnya…

Wajah itu membuat dada Raina menegang.

Ia kenal wajah itu.

Bukan dari dunia berbahaya yang mengejarnya…

Melainkan dari berita.

Pria itu mengangkat wajahnya.

Dan mata Raina melebar, tubuhnya kaku.

“…Ja—”

suara Raina hilang di tenggorokannya.

Itu James Arther.

Putra dari wanita yang ia lihat malam itu.

Pria yang ibunya… mati di depan mata Raina.

Raina ingin berdiri.

Lari.

Menghilang.

Tapi James memegang pergelangan tangannya ringan—

bukan menahan, tapi meminta ia diam.

“Kau perhatikan sejak tadi?”

James bertanya.

“Ya. Aku tahu ada seseorang yang mengejarmu.”

Raina meneteskan air mata, takut antara hidup–mati.

“Tidak perlu takut padaku,”

kata James pelan.

“Aku bukan musuhmu.”

Raina menggeleng cepat.

“Ka—kau tidak mengerti… mereka akan bunuh aku… aku harus pergi… jauh…”

James menatap lurus ke matanya.

“Raina,” katanya sangat perlahan,

“…aku mencari kebenaran tentang malam ibuku meninggal.”

Raina membungkam bibirnya, tubuhnya bergetar hebat.

James melanjutkan:

“Aku tahu kau ada di sana malam itu.”

Raina menutup mulut, mencoba menahan isak.

“Dan aku tahu…”

James menurunkan suara,

“…ada seseorang lain yang mengejar ibuku sebelum ia jatuh.”

Raina membeku.

James mendekat sedikit, suaranya berubah menjadi sangat serius.

“Siapa dia?”

Raina gemetar.

“Sa—saya tidak tahu namanya…”

“Tapi kau lihat dia?”

Air mata Raina jatuh deras.

Ia mengangguk.

James menatapnya tajam,

tapi bukan marah.

Lebih seperti luka.

“Kau harus ceritakan semuanya.”

Raina menunduk, menangis keras,

“…kalau aku ceritakan… aku mati…”

James mencengkeram bahunya.

“Kau tidak sendiri sekarang,” katanya tegas.

“Dan aku… berjanji… aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuhmu.”

Tiba-tiba—

BRRAAAK!!!

Suara pintu gerbang terminal terbanting dari jauh.

James dan Raina serempak menoleh.

Dua pria berseragam hitam masuk.

Lima.

Tujuh.

James langsung berdiri, wajahnya berubah gelap, naluri bertarung menyala.

Ia maju setengah langkah ke depan Raina, melindunginya.

Raina menjerit kecil.

James berbisik cepat:

“Raina.

Jangan bergerak.

Apa pun yang terjadi, tetap di belakangku.”

Mata James mengeras.

Karena inilah pertama kalinya—

dia tahu benar:

Musuhnya bukan masa lalu.

Melainkan ayahnya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!