Tak pernah terbayangkan dalam hidup Selena Arunika (28), jika pernikahan yang ia bangun dengan penuh cinta selama tiga tahun ini, akhirnya runtuh karena sebuah pengkhianatan.
Erlan Ardana (31), pria yang ia harapkan bisa menjadi sandaran hatinya ternyata tega bermain api dibelakangnya. Rasa sakit dan amarah, akhirnya membuat Selena memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka dan memilih hidup sendiri.
Tapi, bagaimana jika Tuhan mempermainkan hidup Selena? Tepat disaat Selena sudah tak berminat lagi untuk menjalin hubungan dengan siapapun, tiba-tiba pria dari masalalu Selena datang kembali dan menawarkan sejuta pengobat lara dan ketenangan untuk Selena.
Akankah Selena tetap pada pendiriannya yaitu menutup hati pada siapapun? atau justru Selena kembali goyah ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna_Ama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19.
“Sel…” panggil Lily pelan sambil menepuk pundak Selena yang duduk di sampingnya. Saat ini, keduanya tengah berada di dalam taksi menuju kafe.
Sebelumnya, mereka berpisah dengan Mama Jana di halaman gedung pengadilan. Wanita paruh baya itu tiba-tiba mendapat panggilan dari sekretaris pribadinya, ada rapat mendadak di kantor DPP yang harus segera dihadiri. Akhirnya, Mama Jana berangkat lebih dulu bersama Fandi yang mengantarnya.
"Ah ya Ly?" sahut Selena tersadar dari lamunannya, ia menoleh menatap kearah Lily.
"Are you okey?" tanya Lily khawatir
Selena mengulas senyum tipis lalu menganggukkan kepala pelan. "Aku baik-baik aja Ly, tenang saja".
Mendengar itu, Lily menghela nafas pelan. Ia meraih kedua tangan Selena dan menggenggam nya erat.
“Sel… kamu beneran yakin mau berpisah sama Erlan? Setelah tiga tahun kalian bareng-bareng ngelewatin suka duka pernikahan? Aku tahu perselingkuhan yang dia lakuin memang nggak bisa dimaafin. Tapi… gimana dengan perasaan kamu ke dia? Apa kamu masih cinta sama Erlan?”
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Lily, membuat Selena terdiam untuk beberapa saat. Ia menolehkan kepalanya menatap kearah luar jendela memperhatikan bayangan gedung-gedung yang bergerak mundur seiring taksi melaju.
“Aku…” suara Selena terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Aku nggak akan bohong, Ly. Perasaanku ke Erlan itu… masih ada.”
Lily menatapnya iba, tapi tetap diam memberi ruang.
Selena menelan ludah, kedua bahunya turun sedikit seakan menahan berat yang tak terlihat. “Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku ngeliat dia sebagai rumah… sebagai tempat aku pulang.”
Ia tersenyum getir. “Tapi rumah itu ternyata retak dari dalam tanpa aku sadar.”
Lily mempererat genggamannya. “Selena…”
“Tapi mencintai seseorang,” lanjut Selena dengan suara lebih stabil, “nggak berarti aku harus bertahan di tempat yang nyakitin aku. Cinta itu… harusnya dijaga dua arah. Dan Erlan milih buat ngerusak kepercayaan itu.”
Selena menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca namun ia masih menahan diri.
“Aku masih cinta, Ly. Tapi aku lebih cinta diriku sendiri sekarang. Itu yang aku pelajari hari ini.”
Lily mengangguk pelan, jelas terharu. “Aku bangga sama kamu, Sel.”
Selena kembali menoleh menatap Lily, mencoba tersenyum tipis. “Aku cuma mau sembuh. Mau mulai lagi dari awal. Tanpa dibayang-bayangi rasa takut.”
"Aku paham perasaan kamu Sel. Semoga keputusan yang kamu ambil ini bisa mengubah rasa sakit mu menjadi kebahagiaan tiada Tara dikemudian hari, Sel". Doa Lily tulus
Selena hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis. Didalam hatinya ia meng-aminkan ucapan Lily.
.
.
Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, akhir nya taksi itu berhenti tepat di depan café, Selena tidak langsung turun. Ia menatap bangunan dua lantai dengan kaca besar yang memantulkan cahaya siang itu. Café itu terlihat hangat, bercat krem lembut, tanaman gantung di bagian depan, dan aroma kopi dari dalam yang samar tercium bahkan sebelum pintu dibuka.
Café itu adalah rumah kecil keduanya. Salah satu hal yang dulu ia bangun bersama impian-impian kecilnya.
Lily turun lebih dulu, lalu membungkuk sedikit untuk melihat Selena di dalam taksi.
“Ayo, Sel. Lihat café yang kamu bangun sendiri, Semua aman kok.”Kata Lily dengan begitu antusias nya
Selena menarik napas pelan lalu melangkah turun dari dalam taksi. Begitu kakinya menyentuh trotoar, ada perasaan aneh di dadanya, semacam perasaan campur aduk antara lega, gugup, dan sedikit sentimental.
Selena berdiri diam sejenak, menatap papan nama cafe nya yang bertuliskan 'Serenite Coffe' , nama yang sederhana tapi manis.
“Ternyata aku udah lama banget nggak ke sini,” gumam Selena lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Lily tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat. Tangannya langsung merangkul begitu saja lengan Selena.
“Makanya aku ajak kamu ke sini, Sel. Supaya kamu perlu lihat kalau semua yang kamu bangun nggak ikut hancur cuma karena pernikahan kamu rusak. Café ini masih hidup, Sel. Dan orang-orang masih datang.”
Mendengar itu, Selena menelan ludahnya pelan.
Ia melirik jendela besar cafe itu dan melihat beberapa pengunjung sedang mengobrol, barista sibuk membuat minuman, dan suasana hangat yang sangat berbeda dari kekacauan hidupnya belakangan ini.
“Ayo masuk,” ajak Lily sambil menepuk lembut punggung Selena.“Kamu pasti kangen.”
Selena mengangguk pelan. Lalu, keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam cafe.
Saat tangan Selena menyentuh gagang pintu kaca café itu, jantungnya terasa berdebar bukan karena takut, melainkan karena rindu.
Sudah hampir satu bulan ia tidak datang mengunjungi cafe atau bahkan toko kue nya. Semua tanggungjawab ia percayakan untuk sementara waktu pada Lily. Dan, disinilah ia berada sekarang. Begitu masuk Selena langsung disambut oleh suara lonceng kecil di atas pintu yang langsung berbunyi ting pelan. Aroma kopi dan sedikit wangi butter dari pastry yang baru matang menyambut Selena seketika.
Beberapa pegawai yang sedang bekerja di balik meja kasir dan barista sempat menoleh, mereka tampak terkejut sebelum akhirnya tersenyum lebar.
“Bu Selena…?” sapa Rani, barista yang paling lama bekerja di sana.
Selena mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Hai, Ran.”
Rani buru-buru melepas sarung tangannya lalu menghampiri Selena. “Aduh, ibu akhirnya datang juga. Kita semua kangen, Bu Selena. Bu Lily bilang ibu lagi istirahat dulu, tapi… ya ampun, senang banget lihat ibu hari ini.”cerocos nya dengan begitu antusias nya menyambut kedatangan Selena.
Selena hanya tersenyum, agak kikuk, tapi sorot matanya menghangat.
“Aku juga kangen kalian,” balasnya pelan.
Lily berdiri di samping Selena, menyenggol pelan lengan perempuan itu. “Tuh kan, aku bilang apa. Café kamu aman. Orang-orangnya juga nunggu kamu balik, Sel.”
Selena mengangguk sambil tersenyum tipis melihat sekeliling cafenya. Beberapa pelanggan memperhatikan sebentar lalu melanjutkan aktivitas mereka. Suasananya terasa begitu hangat. Lampu kuning, musik akustik, dan pemandangan barista sibuk yang meracik dan membuatkan pesanan pelanggan entah kenapa seketika langsung membuat Selena merasa pulang.
“Sel, duduk dulu,” ajak Lily sambil menarik kursi di sudut cafe tempat favorit Selena didekat jendela, tempat dia dulu sering mengerjakan administrasi café sambil minum latte.
Selena perlahan duduk. Jantungnya masih terasa campur aduk. Lily duduk diseberang Selena berhadapan dengan perempuan itu.
"Ly, makasih ya..." ucap Selena
"Untuk ?" ujar Lily, dahinya mengernyit kebingungan.
"Kamu udah mau bantu urus cafe ini selama aku gak ada, memastikan cafe ini tetap hidup dan ramai pelanggan". Kata Selena, matanya kembali menatap sekeliling dimana para pelanggan berlalu-lalang keluar masuk cafe.
Mendengar itu, Lily mengulas senyum tipis. "Sel, meskipun pernikahan mu hancur, jangan sampai hidup kamu ikut hancur juga. Kafe ini kan memang tempat kamu cari napas. Aku cuma bantu jagain biar kamu nggak kehilangan semuanya sekaligus.”
Selena mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi penuh kegetiran disana. “Iya… aku tau. Dan aku bersyukur punya kamu, Ly.”
Lily meraih tangan Selena di atas meja, menggenggamnya pelan. “Kamu masih punya banyak hal yang bisa kamu banggakan, Sel. Jangan lupa itu.”
.
.
.
Jangan lupa dukunganny genggss! Like, vote dan komen.. Terimakasih 🎀❤️
dan sekarang datang