Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peristiwa di kantin sekolah
Pukul 09.50, bel tanda istirahat akan segera berbunyi. Nurma, dengan wajah yang masih ditekuk dan menunjukkan kekesalan, menutup buku matematikanya dengan keras. Pikirannya masih dipenuhi rasa jengkel pada Pak Satria, guru matematika sekaligus suami rahasianya, yang tanpa ampun menyuruhnya maju mengerjakan soal di depan kelas, Nurma semakin kesal padanya.
"Ayo, kita ke kantin! Aku butuh pelampiasan rasa kesal ini," ajak Nurma sambil menyambar dompetnya.
Rea dan Wina, yang duduk di sampingnya, saling pandang dan tersenyum. "Pelampiasan apa? Bakso Mercon Mang Udin?" goda Rea.
"Tepat sekali! Kalau perlu, aku pesan yang sepuluh cabai sekalian!" seru Nurma, berjalan cepat menuju kantin sekolah.
Mereka bertiga berhasil mendapatkan meja di sudut kantin yang strategis. Tak lama, semangkuk Bakso Mercon Mang Udin yang mengepul telah berada di hadapan Nurma. Ia mulai menyendok bakso pedas itu dengan lahap, berusaha melupakan rasa kesal pada Pak Satria. Rea dan Wina asyik mengobrol tentang film terbaru, sementara Nurma sibuk dengan perangnya melawan cabai.
Tiba-tiba, bayangan seseorang berdiri di samping meja mereka, memutus fokus Nurma dari mangkuk baksonya. Ia mendongak, dan matanya langsung membulat kaget. Di sana, berdiri Damar, Ketua OSIS yang berwibawa, yang pernah menyatakan perasaannya dan telah ia tolak beberapa bulan yang lalu.
"Hai, Nurma." sapa Damar sambil melemparkan senyum ke arahnya.
Nurma terkejut, kemudian meletakkan sendoknya. "Eh, Damar? Kenapa?"
"Hai, Damar! Mau gabung?" Sapa Rea seraya melambaikan tangannya ke arah Damar.
"Tidak, terima kasih, Rea. Aku hanya ingin bicara sebentar dengan Nurma. Boleh aku duduk di sini sebentar?" Kemudian Damar Menarik kursi kosong di samping Nurma tanpa persetujuan dari Nurma.
"Tentu saja, ketua. Silakan."ujar Wina.
Lalu Damar menoleh serius ke arah Nurma.
"Aku dengar... gosip di luar sana cukup liar, Nurma. Tentang kamu dan Pak Satria..."
Wajahnya Nurma langsung berubah tegang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya memancarkan amarah.
"Ya, aku tahu. Dan itu membuatku muak! Aku bahkan baru saja kesal setengah mati padanya karena menyuruhku maju mengerjakan soal di depan kelas!" Nurma tanpa sadar menggertakkan gigi, rasa kesal pada Pak Satria semakin memuncak, bercampur dengan rasa tak nyaman karena gosip itu.
'Kenapa harus dia? Kenapa harus orang yang tidak bisa kuakui ini?' batinnya geram.
Damar telah melihat kemarahan di mata Nurma, Damar merasa hatinya teriris. Ia tidak rela melihat wanita yang masih dicintainya itu dihubung-hubungkan dengan guru tersebut.
"Aku tidak percaya sedikit pun dengan gosip itu, Nurma. Aku... tidak akan pernah membiarkan orang lain mengganggumu."
Damar mengambil napas dalam-dalam. Kantin sudah mulai ramai, dan banyak pasang mata yang diam-diam memperhatikan interaksi mereka. Dalam benaknya, ini adalah kesempatan terakhir untuk menunjukkan keseriusannya, untuk menenggelamkan semua gosip yang mengganggu Nurma.
Dengan suara lantang dan penuh keyakinan, Damar menatap lurus ke arah mata Nurma
"Aku mencintaimu, Nurma. Dari dulu sampai sekarang, perasaanku tidak pernah berubah. Jadilah pacarku. Biar semua orang tahu, kamu itu milikku! Aku tidak ingin ada lagi yang berani mengusik mu!"
Seketika, kantin yang ramai menjadi hening sesaat, sebelum akhirnya meledak dengan sorakan dan siulan dari para siswa.
"Woooo... terima! Terima! Ketua OSIS perfect!"
teriak beberapa siswa kelas dua belas.
Nurma benar-benar terkejut, wajahnya memerah karena malu dan terperangkap dalam situasi yang tidak terduga ini. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokannya.
Di tengah kegaduhan itu, Satria baru saja berjalan masuk ke kantin, berniat membeli segelas kopi hitam untuk mengusir rasa kantuknya. Langkahnya terhenti mendadak. Pandangannya terpaku pada pemandangan yang paling tidak ingin ia lihat. Istrinya, istri rahasianya, baru saja dinyatakan cinta di depan umum oleh seorang siswa,yaitu Damar.
Darah Satria seolah mendidih. Ia mengepalkan tangan sekuat tenaga di sisi tubuhnya, berusaha menahan emosi yang ingin meledak. Ia tidak bisa bergerak, hanya bisa menatap tajam ke arah Nurma dan Damar.
Tepat saat itu, Nurma yang masih terperangah dengan pernyataan Damar, tanpa sengaja mengalihkan pandangannya ke belakang, dan kedua mata mereka bertemu.
Mata Nurma melebar melihat Pak Satria berdiri di ambang pintu kantin, dengan wajah yang begitu gelap dan tegang, penuh amarah yang tertahan. Seketika, rasa gugup dan tidak enak hati yang amat sangat menjalari tubuh Nurma. Ia merasa seolah kepergok. Bakso mercon yang tadinya pedas pun terasa hambar
Mata Nurma dan Pak Satria terkunci. Ekspresi Pak Satria yang dingin dan penuh amarah membuat Nurma menahan napas. Sebelum Nurma sempat bereaksi, Satria berjalan tegap melewati kerumunan siswa yang masih bersorak, menuju meja tempat Nurma, Damar, Rea, dan Wina duduk. Langkahnya penuh otoritas, memaksa keheningan sesaat menyelimuti area itu.
Pak Satria berdiri tepat di samping Damar, suaranya rendah dan tajam, ditujukan langsung ke Nurma. "Nurma, ikut saya sebentar. Ada yang harus kita bahas sekarang."
Nurma Gugup dan pura-pura terkejut. "E-eh, Pak Satria? Ada apa, Pak?"
"Ini soal tugas Matematika yang akan dikumpulkan lusa. Saya butuh kamu menjelaskan sebentar, ada detail yang harus kamu perbaiki. Sekarang."
Damar yang mendengarnya merasa kesal karena Satria menginterupsi di momen pentingnya. Ia bangkit berdiri, menatap Satria dengan tatapan menantang. "Maaf, Pak Satria. Nurma sedang ada urusan penting dengan saya. Dan setahu saya, tugas lusa masih ada waktu, bukan?"
Satria membalas tatapan Damar dengan dingin. "Urusan siswa dengan guru lebih penting daripada urusan pribadi, Damar. Saya tidak bisa menunggu. Ini menyangkut nilai."
Damar malah tersenyum sinis, kepada Pak Satria.
"Atau, ini menyangkut gosip di sekolah, Pak? Anda tidak rela Nurma digosipkan dengan Anda, lalu tiba-tiba ada yang menyatakan perasaan padanya? Jadi Anda merasa harus memisahkannya?"
Pernyataan Damar yang begitu lancang dan blak-blakan membuat suasana kantin yang tadinya gaduh oleh sorakan, kini menjadi tegang mencekam. Semua mata tertuju pada tiga orang ini. Di sudut lain kantin, Santi dan Rena tersenyum penuh kemenangan. Rencana mereka berhasil! Mereka berhasil memprovokasi Damar agar menyatakan cinta secara terbuka demi "menyelamatkan" Nurma dari gosip, dan kini, Pak Satria sendiri yang datang dan memancing konfrontasi.
Satria mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan suaranya agar tetap profesional.
"Jaga bicaramu, Damar. Jangan mencampurkan urusan pribadi dengan urusan akademik."
Namun Damar malah mendesak Nurma
"Jawab, Nurma! Bagaimana? Apa jawabanmu atas perasaanku? Dan Pak Satria, jelaskan kepada semua orang di sini, apa yang terjadi di antara Anda dan Nurma! Gosip itu sudah kelewat batas!"
"Aduh, Nurma, bagaimana ini? Jawab saja!"
Wina berbisik kepada Nurma. "Cepat, Nurma! Jaga nama baikmu dan Pak Satria!"
Jantungnya Nurma berdebar kencang. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, pernikahan rahasianya akan terbongkar. Jika ia menerima Damar, Satria akan marah besar. Dalam keputusasaan, ia harus mencari solusi yang cepat.
Kemudian Nurma menarik napas dalam-dalam, ia menatap Damar, lalu menoleh ke arah Pak Satria dengan ekspresi yang dipaksakan.
"Damar, aku... aku minta maaf. Aku tidak bisa menerimanya." Ia menatap semua siswa yang kecewa. "Dan dengarkan semua! Gosip tentang aku dan Pak Satria itu semua bohong!"
Nurma malah meraih lengan Pak Satria dan memaksakan senyum ramah. "Pak Satria itu... adalah pamanku! Paman jauhku dari luar kota yang kebetulan pindah mengajar di sini! Tadi dia memanggilku karena ada masalah keluarga yang mendesak, bukan tugas sekolah atau hal lainnya. Kami ada janji makan malam keluarga. Jadi, tolong, berhenti menyebarkan gosip konyol ini!"
Kebohongan Nurma yang diucapkan dengan sangat yakin itu cukup ampuh memecah ketegangan. Beberapa siswa tampak terkejut, namun ada juga yang mengangguk-angguk, merasa masuk akal. Pak Satria, yang tangannya dipegang Nurma, terkejut mendengar pengakuan "paman" tersebut, tetapi ia segera mengerti bahwa Nurma sedang berusaha menyelamatkan situasi. Ia mengikuti permainan Nurma
Satria mengangguk kecil. "Betul. Saya adalah Pamannya. Maaf sudah membuat keributan di kantin. Nurma, ayo kita pergi. kita harus berbicara penting soal acara pertemuan nanti malam.
Wajahnya Damar tampak kecewa dan terkejut.
"Pa-paman? Tapi..."
Nurma bergegas menarik Pak Satria. "Maaf, Damar. Terima kasih atas keberanianmu, tapi aku sudah menjawabnya. Aku pergi dulu."
Nurma segera menyeret Pak Satria keluar dari kantin yang penuh sorakan kecewa dan tatapan ingin tahu. Begitu mereka berdua berada di lorong yang sepi, Nurma melepaskan cengkeramannya dari lengan Satria, napasnya terengah-engah.
Bersambung.