Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang BK
Peluit ketiga dari guru pengawas kembali terdengar, kali ini lebih keras dan panjang, menggema di seluruh koridor timur. Suara langkah cepat bergema dari arah tangga utama, disertai aura otoritas yang langsung membuat semua kepala refleks menoleh.
Dari ujung lorong, Elvatir Vincenio, Ketua OSIS Starlight School, muncul dengan ekspresi datar namun tajam. Seragamnya rapi tanpa cela, lencana OSIS di dada kirinya berkilau tertimpa cahaya sore. Tatapannya berpindah perlahan dari satu wajah ke wajah lain — menilai, menimbang, mengingat.
Di belakangnya, beberapa anggota OSIS menyusul dengan peluit masih tergantung di leher, sementara di sisi lain Bu Retno, guru BK yang dikenal berwibawa, ikut datang dengan langkah cepat.
Pemandangan yang mereka temukan adalah kekacauan ringan: rambut berantakan, pita seragam terlepas, dan beberapa kertas dari map Zea yang tercecer di lantai.
Elvatir berhenti di tengah koridor, menatap mereka semua dengan pandangan tajam seperti pisau.
“Hari pertama kelas baru, dan kalian sudah bikin keributan?” katanya datar, tanpa perlu meninggikan suara.
Tak ada yang menjawab. Hanya terdengar desahan napas cepat dan detak jantung yang terasa di udara.
Bu Retno melangkah ke depan, nadanya tegas.
“Cukup. Semua yang terlibat, ikut saya ke ruang BK. Sekarang.”
Zea diam. Tangannya tanpa sadar masih digenggam oleh Agler yang belum melepaskan, namun tatapan tajam Bu Retno membuat pria itu buru-buru menarik tangannya cepat.
Zea menoleh sadar, lalu menunduk dan menarik napas dalam sebelum mengikuti langkah menuju ruang BK bersama yang lainnya.
Haura mendengus, tapi tak berani membantah.
Valesya hanya melirik dingin, menuntun Zea ke sampingnya tanpa bicara.
Arcelyn dan Claudy ikut di belakang, sementara The Vipers berjalan di sisi berlawanan — saling menatap sinis, tapi tak ada satu pun yang bicara lagi.
---
Ruang BK, Starlight School — 15 Menit Kemudian
Aroma lavender samar bercampur dengan dinginnya udara dari AC. Ruangan itu tertata rapi — meja kayu besar di tengah, beberapa kursi berderet, dan papan pengumuman di sisi kanan bertuliskan “Discipline Defines Dignity.”
Di kursi depan duduk Bu Retno, berhadapan langsung dengan seluruh kelompok yang kini tampak lebih diam dari sebelumnya. Di sampingnya, Elvatir duduk sambil membuka tablet OSIS, mencatat cepat tanpa banyak ekspresi.
“Baik,” suara Bu Retno memecah keheningan. “Saya ingin penjelasan. Satu per satu.”
Tak ada yang berbicara. Semua menunduk, hingga akhirnya Zea mengangkat kepala.
“Bu, saya cuma mau lewat. Mereka yang menghadang duluan.”
Haura langsung mendengus pelan.
“Jangan sok suci, lo juga mulai duluan!”
“Mulai?” Zea menatapnya datar. “Lo yang nyenggol, lo yang dorong, dan lo juga yang pertama kali ngomong ‘caper’. Gue cuma bela diri.”
“Cukup,” potong Bu Retno dingin. “Saya tidak mau dengar siapa duluan. Faktanya kalian berkelahi di area sekolah — itu sudah cukup untuk tindakan disiplin.”
Valesya, yang sejak tadi bersandar santai, akhirnya bicara. “Tapi kalau kami gak datang, Zea udah ditampar duluan, Bu.”
Arcelyn mengangguk pelan, menimpali, “Dan geng mereka — The Vipers — memang udah nungguin dia di koridor. Kami cuma lewat dan lihat kejadian itu.”
Elvatir menatap sekilas ke arah mereka, matanya tajam tapi tenang. “Saya sudah dapat laporan dari petugas OSIS di pos timur. Semua yang terlibat akan dapat surat peringatan. Kalian sadar gak, ini hari pertama, dan nama kalian sudah tercatat di daftar pelanggaran?”
Haura ingin membalas, tapi tatapan Bu Retno langsung menahannya. “Kalian beruntung tidak sampai menimbulkan cedera serius. Kalau iya, ini bukan cuma peringatan, tapi skors.”
Suasana kembali hening. Hanya suara pena Bu Retno yang terdengar, menulis di map laporan.
Zea menarik napas pelan, lalu berkata dengan nada tenang tapi tegas, “Kalau saya dianggap salah karena membela diri, saya gak masalah, Bu. Tapi tolong catat juga siapa yang mulai.”
Elvatir menatapnya lama. Tatapan itu seperti menembus lapisan tenangnya Zea — menilai, menguji.
“Catatan saya lengkap,” ujarnya datar. “Tapi tetap, tanggung jawab berlaku untuk semua pihak.”
Valesya menatapnya sinis dari samping.
“Tanggung jawab kolektif, ya. Klasik.”
Bu Retno mengetuk meja pelan, tanda pembicaraan selesai.
“Baik. Surat peringatan akan dikirim ke wali kelas masing-masing. Saya harap ini jadi pelajaran, bukan kebiasaan. Starlight bukan tempat untuk adu ego.”
Semua berdiri. Kursi bergeser pelan, menimbulkan suara serempak yang terdengar nyaris seram di ruang sunyi itu.
Ketika semua mulai keluar, Elvatir masih duduk di kursinya, memperhatikan diam-diam.
Sampai akhirnya, sebelum Zea sempat melangkah ke luar, suara rendahnya terdengar.
“Zee.”
Langkah gadis itu berhenti. Ia menoleh, bertemu tatapan Elvatir — dingin tapi tak bermusuhan, penuh wibawa khas seorang ketua OSIS.
“Ini hari pertama lo di sekolah ini, dan lo udah bikin keributan sebesar ini,” ucapnya datar tapi tegas. “Gue minta setelah ini, hati-hati. Di sekolah ini, bahkan bisik-bisik kecil bisa jadi headline.”
Zea menatapnya sebentar — tanpa reaksi — lalu melanjutkan langkah keluar tanpa menoleh lagi.
Koridor depan ruang BK sore itu terasa jauh lebih lengang dari biasanya — mungkin karena gosip sudah lebih dulu menyebar. Beberapa siswa yang lewat berusaha berpura-pura tidak menatap, padahal jelas telinga mereka menangkap setiap potongan rumor tentang “murid baru yang berani ngelawan The Vipers.”
Zea berjalan pelan, map-nya kini ia genggam lebih erat di dada. Wajahnya tenang, tapi di balik sorot matanya ada bayangan jenuh — bukan karena perkelahian tadi, melainkan karena cara Starlight memperlakukan rumor seperti bahan bakar harian.
Langkahnya baru saja berbelok ke arah lorong utama ketika suara rendah tapi jelas terdengar dari sisi kanan.
“Lo cepat juga bikin nama di sini.”
Zea berhenti sejenak, lalu menoleh. Agler bersandar di dinding dekat loker, tangan terlipat di dada. Ekspresinya sama seperti sebelumnya — datar, dingin, tapi kali ini ada sesuatu yang nyaris seperti... rasa ingin tahu.
Ia tidak mengenakan seragam dengan benar; dasinya longgar, lengan kemeja digulung sampai siku. Namun, entah bagaimana, aura karismatiknya tetap mendominasi.
Zea menatapnya beberapa detik sebelum menjawab datar, “Kalau maksud lo ‘bikin nama’ karena dibully senior, itu bukan prestasi yang patut dibanggain.”
Agler menyunggingkan senyum tipis — samar, tapi jelas mengandung ejekan.
“Tetep aja. Gak banyak yang berani ngelawan Haura. Biasanya orang baru langsung kabur sebelum sempat ngomong sepatah kata.”
Zea mengangkat alis ringan. “Mungkin karena mereka mikir gak ada gunanya ngeladenin orang kayak gitu.”
Ia menatap lurus, nada suaranya dingin tapi terkendali.
“Tapi tadi, gue cuma bales sewajarnya.”
Agler menunduk sedikit, menatap Zea dari bawah — ekspresinya setengah kagum, setengah menilai.
“Lo punya nyali. Gue akui itu.”
Ia melangkah pelan mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Tapi di sekolah ini, nyali kayak gitu bisa jadi senjata... atau malah jebakan.”
Zea tidak mundur. Tatapannya tetap lurus, tidak gentar sedikit pun. “Tergantung siapa yang megang senjatanya.”
Sekilas, sudut bibir Agler terangkat.
“Dan lo yakin bisa ngendaliin?”
Zea menjawab tanpa berpikir panjang, nadanya tenang tapi tajam, “Gue gak butuh ngendaliin siapa pun. Gue cuma tahu kapan harus berhenti pura-pura takut.”
Keheningan menggantung beberapa detik.
Sinar sore dari jendela memantul di lantai, menyorot wajah mereka berdua dalam cahaya dingin yang lembut — dua sosok dengan aura kontras, tapi sama-sama punya ketenangan yang mematikan.
Agler akhirnya mengembuskan napas pendek, seperti menahan tawa kecil. “Oke, noted. Lo bukan tipikal murid baru biasa.”
Zea melangkah melewatinya tanpa menoleh.
“Dan lo bukan orang pertama yang bilang gitu.”
Langkah sepatunya bergaung perlahan menjauh, sementara Agler hanya berdiri di tempat — menatap punggung Zea yang menghilang di tikungan, matanya menyipit, ekspresinya sulit dibaca.
Di ujung lorong, ia bergumam pelan, seolah hanya untuk dirinya sendiri, “Zea, huh... menarik.”
****
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶