Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 — Kelas Ramuan
Sayangnya, ide mengekstrak daging dan darah musuh tampaknya agak brutal. Namun tak lama kemudian, Ethan Cross mendapatkan ide baru. Hanya karena seseorang tidak bisa langsung merapal mantra ke tubuh manusia dalam pertempuran, bukan berarti Kutukan Ekstraksi tidak berguna.
Jika mantra itu diarahkan ke tanah tempat musuh berdiri, dan ia mengekstrak material di bawah kaki mereka—tanah, lumpur, atau batu—efeknya akan langsung terasa. Keseimbangan lawan terganggu, pijakan mereka menghilang, dan dalam sekejap sebuah jebakan tercipta.
Ia menatap tesis yang ditulis Vanessa, alisnya berkerut, pikirannya tenggelam dalam analisis. Dalam arti tertentu, Ethan adalah seorang akademisi sejati—meski arah risetnya kerap menyimpang ke ranah militer dan taktik. Bertahun-tahun dalam kehidupan sebelumnya sebagai prajurit dan seniman bela diri membuatnya terbiasa melihat segala hal dari sisi praktis: “Bisakah ini digunakan di medan tempur? Apakah memiliki nilai strategis?”
Profesor Flitwick memperhatikan dari jauh, sudut bibirnya terangkat dalam senyum kecil. Ia mengenali sorot mata itu—mata seorang penyihir muda yang benar-benar haus akan pengetahuan, bukan sekadar nilai.
Waktu berlalu tanpa terasa. Pertemuan Klub Mantra pun berakhir dengan tertib. Para siswa berbaris keluar ruangan, sementara Ethan berjalan bersama Vanessa kembali ke ruang rekreasi Slytherin. Malam sudah cukup larut; jam malam untuk siswa tahun pertama berlaku pukul delapan, sedangkan senior bisa keluar hingga pukul sembilan. Vanessa, dengan gaya kakak yang protektif, menuntunnya agar tak tertangkap Filch.
“Jalan pelan saja. Kita belok lewat koridor barat, lebih sepi,” ucap Vanessa lirih.
Ethan hanya mengangguk. Malam itu ia membawa banyak hal dari klub—bukan hanya ilmu, tapi juga rasa puas. Ia berhasil mempelajari Kutukan Ekstraksi lebih cepat dari kurikulum tahun keempat. Bahkan menemukan teknik baru untuk mempercepat rapalan.
Sesampainya di kamar, ia menyalakan lampu kecil dan kembali membuka buku teks. Suara lembut air yang menetes di pipa dinding menjadi latar sunyi bagi pikirannya yang terus bekerja.
Keesokan harinya, kelas Ramuan.
“Luar biasa! Aku tak menyangka kelompok Ethan dan Agnes bisa menghasilkan Ramuan Penenang sebaik ini pada percobaan pertama mereka,” ujar Profesor Horace Slughorn dengan nada kagum. Sosok gemuk dan ramah itu menatap kuali mereka yang beruap lembut dengan warna perak keunguan—tanda ramuan berhasil.
Beberapa meja lain tampak berantakan. Kuali yang gosong, cairan hijau kental yang menetes ke lantai, bahkan bau menyengat sulfur yang membuat beberapa siswa menutup hidung. Tapi kuali Ethan? Nyaris sempurna.
Agnes yang berdiri di sebelahnya hanya tersenyum gugup. Sepanjang proses, ia nyaris tidak melakukan apa pun selain menyerahkan bahan. Setiap kali Ethan meminta sesuatu, suaranya tegas namun tenang:
“Bubuk akar asphodel... sekarang serpihan kulit murtlap... aduk searah jarum jam, tiga kali.”
Bahkan saat Agnes sempat salah menyerahkan bahan, Ethan masih sempat memeriksa ulang dengan teliti. Jika tidak, ramuan mereka mungkin sudah meledak bersama percikan api hijau seperti meja di sebelah.
Slughorn menepuk bahu Ethan dengan puas. “Kau punya tangan seorang pembuat ramuan sejati, Nak. Jarang ada anak tahun pertama yang bisa mengendalikan panas sedetail ini.”
Ethan menunduk sopan. “Terima kasih, Profesor. Saya hanya mengikuti resepnya.”
Ia tidak berbohong. Bagi Ethan, menyeduh ramuan terasa seperti memasak dengan prosedur militer. Ada tahapan, standar bahan, waktu yang harus tepat, dan disiplin yang mutlak. Selama proses itu, tangannya tak pernah gemetar sedikit pun—memotong bahan dengan ukuran seragam, menimbang serbuk sesuai takaran, mengatur panas api biru di bawah kuali.
“Ramuan,” pikir Ethan dalam hati, “tidak berbeda jauh dengan memasak sup.”
Kesulitan utamanya bukan pada teknik, melainkan pada bahan. Dua bahan yang tampak sama bisa menghasilkan hasil berbeda hanya karena kadar kelembapan atau waktu pengeringannya. Buku teks hanya memberi teori; pengalaman dan ketelitianlah yang menentukan.
Meski Ramuan bukan bidang favoritnya seperti Mantra, Ethan mulai menyukai prosesnya. Ramuan membuat pikirannya tenang, terfokus, seperti meditasi.
“Mungkin aku harus memeriksa ruang penyimpanan nanti. Siapa tahu ada buku teks lama tersisa,” gumamnya sambil membersihkan meja.
Di sisi lain laboratorium, suara decakan terdengar.
“Tch, cuma bikin ramuan berhasil sekali aja udah sombong,” gumam Travers dengan nada sarkastis. Di kualinya, cairan hitam bergolak, mengeluarkan bau busuk seperti telur busuk. Ia mencampur bahan asal-asalan, batang pengaduknya menabrak dinding kuali hingga mengeluarkan bunyi logam.
Randel Rosier yang duduk di sebelahnya menahan napas panjang. “Sudahlah, Travers. Vanessa sedang mengawasi. Jangan buat masalah lagi.”
“Hmph, wanita itu malah berpihak ke bocah itu,” dengus Travers tajam. “Sial, seharusnya dia ingat siapa keluarga Cross itu dibanding Slytherin sejati.”
Randel menatap sekeliling, memastikan tak ada profesor di dekat mereka. “Tolong jangan bawa nama keluarga di sini. Kau mau Slughorn dengar dan lapor ke Dumbledore?”
“Dumbledore?” Travers mencibir. “Kakek tua itu sudah tidak relevan. Begitu Pangeran Kegelapan menaklukkan Kementerian, dunia ini akan kembali ke tangan keluarga darah murni sejati. Dan waktu itu tiba… keluarga McKinnon yang sok suci itu akan jadi contoh pertama.”
Rosier menelan ludah, cemas. “Jaga ucapanmu. Kalau kau terus bicara seperti itu, kita bisa diselidiki.”
“Kalau begitu jangan dekat-dekat denganku,” balas Travers dingin. “Aku tahu kau juga tak tahan melihat mereka berpura-pura baik.”
Ucapan itu menggantung di udara, tertelan oleh suara desis ramuan mendidih.
Di meja seberang, Charles McKinnon—seorang Gryffindor berambut pirang—bersin pelan akibat bau ramuan gosong. Travers memandanginya dari jauh dengan tatapan dingin, seperti predator menilai mangsa.
Slughorn, yang kembali berkeliling, tak menyadari ketegangan itu. Ia tersenyum hangat kepada Ethan dan berkata riang, “Hebat sekali, Nak! Kau sepertinya cocok jadi asistenku suatu hari nanti!”
Ethan hanya tersenyum tipis. “Saya akan berusaha, Profesor.”
Namun di dalam pikirannya, ia mencatat semua yang terjadi di sekelilingnya: bisikan, tatapan, bahkan nada permusuhan dari Travers. Ia tahu konflik seperti itu bukan sekadar perbedaan karakter, tapi warisan kebencian lama antar keluarga sihir.
Dan meski ia masih tahun pertama, Ethan mulai menyadari—di balik dinding batu kastil Hogwarts, dunia sihir sedang perlahan terbelah dua.