Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan Masalalu
Setelah pertemuan dengan Riani di kamar hotel yang itu, Gita merasa seolah ada bara api yang membakar seluruh tubuhnya. Kata-kata Riani, bagaikan bisikan iblis, terus menerus menghantuinya, mengoyak-ngoyak hatinya yang sudah lama terluka. Setiap kalimat yang diucapkan Riani terasa seperti pisau yang ditusukkan tepat di jantungnya, membangkitkan kembali kenangan pahit yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
Riani, dengan senyum sinis yang khas, telah membuka tabir masa lalu yang selama ini disembunyikan Bima. Ia mengungkap bahwa semua janji manis yang pernah diucapkan Bima hanyalah kebohongan belaka, bualan kosong yang bertujuan untuk memperdaya dirinya. Riani menceritakan bagaimana Bima, dengan tega dan tanpa perasaan, telah memanfaatkan dirinya hanya untuk kesenangan sesaat, tanpa pernah benar-benar mencintainya.
"Dia tidak pernah mencintaimu, Gita," bisik Riani, suaranya bagaikan desisan ular yang mematikan. "Baginya, kamu hanyalah seorang gadis desa yang lugu dan mudah diperdaya. Dia menikahi Maya bukan karena cinta, tapi karena Maya kaya dan bisa memberikan kehidupan yang nyaman untuknya. Kamu hanyalah masa lalu yang ingin dia lupakan."
Mendengar semua itu, Gita merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya. Ia merasa seperti orang bodoh yang telah dipermainkan dan dimanfaatkan selama bertahun-tahun. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat pasi. Ia tidak menyangka bahwa orang yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati, orang yang pernah ia impikan untuk menjadi pendamping hidupnya, ternyata adalah seorang pembohong dan pengkhianat ulung.
Kebenciannya pada Bima semakin membuncah, meluap-luap seperti lahar panas yang siap menghancurkan segala sesuatu yang ada di hadapannya. Ia merasa dikhianati, direndahkan, dan dipermalukan. Ia tidak akan membiarkan Bima lolos begitu saja. Ia akan membalas dendam, membuat Bima membayar semua sakit hati dan penderitaan yang telah ia alami.
"Aku akan membuatmu membayar, Bima," gumam Gita, suaranya bergetar karena amarah yang membara. "Kamu akan menyesal telah mempermainkan perasaanku. Aku akan menghancurkan hidupmu, membuatmu merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan."
Gita mulai menyusun rencana yang mengerikan di dalam benaknya. Ia tidak ingin langsung membunuh Bima, karena itu terlalu mudah dan tidak akan memberikan kepuasan yang sepadan. Ia ingin membuat Bima menderita terlebih dahulu, merasakan sakit yang sama seperti yang ia rasakan dulu, bahkan lebih parah lagi. Ia ingin menghancurkan hidup Bima secara perlahan namun pasti, membuatnya kehilangan segala sesuatu yang berharga dalam hidupnya.
"Aku akan menghancurkan hidupmu, Bima," pikir Gita, matanya berkilat-kilat penuh dendam. "Aku akan mengambil semua yang kamu miliki: keluargamu, hartamu, reputasimu. Aku akan membuatmu menjadi orang yang paling hina dan menyedihkan di dunia ini."
Gita mulai mengintai Bima, mempelajari setiap aspek dari kehidupannya. Ia mencari tahu kebiasaannya, tempat-tempat yang sering dikunjunginya, teman-temannya, dan bahkan musuh-musuhnya. Ia ingin tahu semua kelemahan Bima agar bisa menyerangnya dengan tepat, tanpa ampun.
Ia mulai mengikuti Bima secara diam-diam, mengamati setiap gerak-geriknya, mencatat setiap detail penting yang bisa ia gunakan untuk melancarkan aksinya. Ia bahkan menyewa seorang detektif swasta untuk membantunya mengumpulkan informasi tentang Bima.
Sementara itu, Riani sibuk menciptakan alibi yang sempurna untuk dirinya sendiri. Ia tahu bahwa jika sampai ketahuan terlibat dalam rencana jahat Gita, maka semua impiannya untuk menguasai harta Pak Rahman akan hancur berantakan.
Ia mengatur pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya, membuat catatan palsu tentang perjalanannya ke luar kota, dan bahkan meminta bantuan teman-temannya untuk bersaksi bahwa ia berada di tempat lain saat kejadian berlangsung. Ia juga menyuap beberapa oknum polisi untuk memastikan bahwa namanya tidak akan terseret dalam penyelidikan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Aku harus memastikan bahwa aku tidak terlibat dalam masalah ini," pikir Riani, otaknya berputar-putar mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri. "Aku tidak ingin kehilangan kesempatan emas ini. Aku sudah terlalu lama menunggu untuk bisa menguasai harta Pak Rahman."
Disisi lain Gita mulai melakukan tindakan sabotase kecil terhadap Bima, dengan tujuan untuk membuatnya stres dan tertekan. Ia merusak mobil Bima, menyebarkan gosip tentangnya di tempat kerja, membuat masalah dengan klien-kliennya, dan bahkan mengirimkan surat ancaman anonim ke rumahnya.
Bima mulai merasa stres dan tertekan. Ia tidak tahu mengapa hidupnya tiba-tiba menjadi begitu sulit. Ia merasa seperti ada seseorang yang sedang berusaha untuk menghancurkannya, namun ia tidak tahu siapa orang itu dan apa motifnya.
Ia mulai kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. Ia menjadi mudah marah dan sering bertengkar dengan Maya. Hubungannya dengan keluarganya pun mulai merenggang.
Suatu malam, Gita melihat Bima keluar dari sebuah bar sendirian dalam keadaan mabuk berat. Ia mengikuti Bima hingga ke rumahnya. Saat Bima hendak membuka pintu, Gita mendekatinya dengan langkah mengendap-endap.
"Hai, Bima," sapa Gita dengan suara dingin yang menusuk.
Bima terkejut melihat Gita. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Gita di tempat dan waktu seperti ini.
"Gita? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Bima dengan nada bingung.
"Aku hanya ingin bicara denganmu," jawab Gita, matanya menatap tajam ke arah Bima.
"Aku tidak punya waktu untuk bicara denganmu," kata Bima sambil berusaha membuka pintu. Ia merasa tidak nyaman berada di dekat Gita, apalagi dalam keadaan mabuk seperti ini.
Gita meraih tangan Bima dan menariknya menjauh dari pintu. "Kamu harus mendengarkan ku, Bima," katanya dengan nada mengancam.
Bima mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Gita, tetapi Gita terlalu kuat. Ia mendorong Bima hingga terjatuh ke tanah.
"Kamu sudah menghancurkan hidupku, Bima," teriak Gita, suaranya penuh dengan amarah dan kebencian. "Sekarang kamu harus membayar akibatnya!"
Gita mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan dari tasnya. Ia membuka botol itu dan menyiramkan cairan itu ke wajah Bima.
Bima berteriak kesakitan. Cairan itu terasa panas dan membakar kulitnya. Ia berusaha untuk membersihkan wajahnya dengan tangannya, tetapi Gita menahannya dengan kuat.
"Ini adalah air keras, Bima," kata Gita dengan nada puas dan tanpa belas kasihan. "Sekarang kamu akan merasakan bagaimana rasanya menjadi jelek dan tidak berharga. Kamu akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan semua yang kamu miliki."
Gita kemudian meninggalkan Bima yang tergeletak di tanah sambil merintih kesakitan dan memegangi wajahnya yang terbakar. Ia tersenyum sinis dan berjalan pergi, meninggalkan Bima dalam kegelapan dan keputusasaan.
"Ini baru permulaan, Bima," pikir Gita, hatinya dipenuhi dengan kepuasan yang mengerikan. "Aku akan membuatmu menderita lebih dari ini. Aku akan menghancurkan hidupmu hingga berkeping-keping.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*