ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 19
berbulan bulan setelah Clara kembali ke kota ibunya berjalan dengan tenang. Seperti ombak kecil yang tidak mengganggu, tapi cukup membuat hidup terasa lebih hidup. Clara mulai fokus menata masa depan—mencari universitas yang tepat, membantu ibunya di toko, dan sesekali berjalan pagi hanya untuk membersihkan kepala.
Namun di sela semua itu, ada seorang yang diam-diam mulai mengisi ruang kosong yang pernah retak: Reymon.
Mereka tidak langsung intens. Tidak terburu-buru. Tidak seperti remaja yang terjebak euforia. Kini keduanya sudah dewasa, sudah belajar dari luka masing-masing.
Percakapan mereka lebih hangat, lebih jujur, dan lebih ringan. Kadang hanya bertukar foto langit pagi. Kadang membahas motor Reymon yang mogok. Kadang tentang kue buatan nenek Clara yang akhirnya sampai ke kota dalam bentuk paket kecil.
Keduanya seolah sama-sama memberi jalan, memberi ruang, tanpa memaksa apa pun.
Dan entah sejak kapan…
Nama Reymon kembali menjadi hal pertama yang membuat Clara tersenyum setiap pagi.
Kabar yang Terputus
Suatu pagi, Clara bangun dengan nyeri tajam di perut bagian kanan. Awalnya ia pikir hanya masuk angin, tapi semakin siang rasa sakitnya semakin tidak tertahankan. Hingga akhirnya ibunya membawa Clara ke rumah sakit.
Diagnosisnya jelas: usus buntu akut.
Clara harus dioperasi hari itu juga.
Semua terjadi cepat. Terlalu cepat.
Ponselnya diletakkan di laci rumah sakit. Mati total karena jatuh saat ia dibawa masuk ruang gawat darurat.
Dalam ketergesaan itu…
Clara tidak sempat memberi kabar pada Reymon.
Dan operasi berjalan.
Tiga hari pertama pasca operasi terasa berat. Tubuh lemah, kepala pusing, perih di bekas sayatan membuat Clara sulit bergerak. Ia hanya tidur, bangun, tidur lagi. Dunia terasa buram.
Baru di hari kelima ia cukup pulih untuk memperhatikan ponselnya. Ponsel itu rusak parah dan akhirnya diperbaiki oleh ibunya.
Barulah Clara melihat—
Puluhan pesan dari Reymon.
Bertanya di mana Clara.
Apakah Clara marah.
Apakah Clara sedang menjauh.
Apakah Clara baik-baik saja.
Dan yang paling menusuk:
“Clara, kamu jangan hilang gini. Aku takut.”
Clara menggigit bibirnya.
Ia tahu Reymon pasti panik. Tapi ia juga tidak punya cukup tenaga untuk menjelaskan semuanya saat itu.
Lalu hari ketujuh… Clara pulang dari rumah sakit.
Dan hari kedelapan, ia akhirnya membuka TikTok hanya karena ingin mengalihkan pikiran dari bekas luka yang masih perih.
Saat melihat salah satu tren—video tentang “siapa orang yang membuat hidupmu berwarna”—ia teringat seseorang.
Tanpa pikir panjang, ia merekam video sederhana. Hanya foto langit, musik lembut, dan di akhir ia menulis:
“Siapa orang yang paling membuat hidupmu berwarna?”
Disertai emoji yang ia sendiri tak berani maknai.
Ia mengirimkannya pada Reymon.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar.
“Clara… maksudnya apa ini?”
Clara tersenyum kecil, menahan perih di perutnya.
Ia mengetik pelan:
“Gak apa-apa, cuma ikut tren.”
Balasan Reymon datang sangat cepat.
“Seminggu kamu hilang… terus tiba-tiba kirim video ini. Kamu bikin aku kaget.”
Clara memilih mengalihkan.
“Maaf ya, hp-ku sempet rusak.”
Dan seperti yang ia duga…
Reymon langsung percaya.
“Ohh… syukur kalau gitu. Aku kira kamu…”
“…gak mau ngobrol lagi.”
Clara memandangi layar cukup lama.
Ada rasa bersalah. Namun juga… rasa disayangi.
Ia ingin jujur. Ia ingin bilang bahwa ia baru saja melewati operasi yang membuatnya hampir tidak bisa bangun selama beberapa hari. Ia ingin bilang bahwa saat sakit, nama Reymon berkali-kali hadir di kepalanya.
Tapi ia memilih diam.
Bukan karena takut—namun karena belum siap membuat Reymon khawatir.
Pendaftaran Kuliah dan Keputusan Kembali
Waktu berjalan. Luka operasi perlahan sembuh. Clara kembali menjalani hari-harinya seperti biasa. Hingga pengumuman pendaftaran mahasiswa baru resmi dibuka.
Clara mendaftar di salah satu universitas negeri. Ia mengisi formulir panjang, mengunggah berkas-berkas, dan menekan tombol submit dengan tangan bergetar.
Begitu selesai, ia menghela napas lega.
Dan di tengah rasa lega itu, muncul keinginan yang sudah lama ia tahan:
Ia ingin pulang ke kampung nenek.
Bukan untuk kabur. Bukan untuk melupakan apa pun.
Tapi untuk menenangkan diri…
dan mungkin… untuk melihat seseorang lagi.
Siapa lagi kalau bukan Reymon.
Clara mengirim pesan:
“Rey, aku mau balik ke kampung nenek untuk beberapa hari. Mau istirahat sebelum mulai kuliah nanti.”
Balasan datang hanya satu menit kemudian.
“Serius? Aku juga pengen balik. Udah lama gak pulang.”
Clara terpaku.
Lalu tersenyum.
“Kapan kamu ke sana?”
“Minggu depan. Kamu?”
“Sama.”
“Kita bakal ketemu.”
Hanya tiga kata.
Tiga kata sederhana.
Namun cukup untuk membuat Clara merasakan sesuatu yang ia kenal baik:
Harapan.
Pertemuan Itu Akhirnya Terjadi
Hari liburan tiba.
Clara turun dari mobil sewaan, membawa dua koper kecil, dan menghirup udara desa yang ia rindukan. Jalan tanah, bau pohon pisang, suara ayam dari kejauhan—semua terasa seperti memeluknya hangat.
Nenek menyambutnya dengan pelukan dan tawa.
Baru sore hari pertama, saat Clara membantu nenek menjemur kain, suara motor terdengar dari jauh.
Motor hitam.
Hati Clara langsung berdebar.
Motor itu berhenti tepat di depan pagar. Reymon turun, melepas helm, dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun… tatapan mereka bertemu tanpa jarak.
Dan kali ini, mereka tidak diam.
Clara tersenyum.
Reymon balas tersenyum.
Wajahnya tampak bahagia—bahagia yang ia sendiri mungkin tidak sadar.
“Clara…” suaranya rendah.
Hanya itu. Tapi cukup membuat dada Clara hangat.
“Akhirnya ketemu lagi,” jawab Clara pelan.
Reymon mengusap belakang kepalanya, gugup, lalu tertawa kecil. “Aku… seneng banget kamu balik.”
“Ya… aku juga.”
Ada jeda. Ada angin pelan. Ada dua hati yang bingung bagaimana harus memulai, namun tidak ingin berhenti.
“Clara,” ujar Reymon akhirnya, nada suaranya berubah serius namun lembut. “Aku… pengen bicara. Banyak hal.”
Clara mengangguk. “Aku dengar.”
Reymon menarik napas panjang. “Aku tahu dulu aku sering jahil, sering ganggu kamu. Tapi aku gak pernah benar-benar benci kamu. Gak pernah.”
Clara menunduk, tersenyum samar.
Reymon melanjutkan, “Dan sekarang… aku gak mau cuma lewat-lewat depan rumah kamu lagi. Aku gak mau cuma nunggu pesan kamu. Aku pengen kita… bener-bener mulai lagi.”
Clara terdiam.
Jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut Reymon bisa mendengarnya.
“Mulai lagi?” bisiknya.
Reymon mengangguk.
“Tapi dari awal, Clar. Tanpa masa lalu yang nyakitin. Tanpa saling ninggalin. Bener-bener dari awal.”
Clara butuh beberapa detik untuk menyerap kata-kata itu.
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, hatinya terasa tenang.
“Rey…” Clara tersenyum kecil, “…aku mau.”
Mata Reymon berbinar.
Namun ia menghela napas, menatap langit sore.
“Kalau gitu… nanti malam. Aku mau ngomong sesuatu. Sesuatu yang penting.”
“Kenapa nanti malam?” tanya Clara, bingung namun penasaran.
Reymon tersenyum miring—senyum yang dulu sering membuat Clara kesal saat kecil.
“Soalnya aku pengen bilangnya di bawah langit malam. Di bawah bulan.”
Clara terpaku.
Hatinya memanas.
Pikirannya penuh pertanyaan.
Namun tubuhnya terasa ringan.
Reymon memasang helm, lalu naik kembali ke motor.
“Nanti malam, ya?” katanya sambil menatap Clara penuh makna.
Clara mengangguk.
Reymon melajukan motor, meninggalkan debu tipis dan senyum yang tidak bisa Clara tahan.
BERSAMBUNG…
Malam akan datang.
Langit akan dipenuhi bintang.
Dan di bawah cahaya bulan yang indah—
Reymon akan menyatakan sesuatu yang telah ia simpan terlalu lama.