Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan
Anna tidak pernah menyukai perjalanan pulang kampung. Bukan karena ia benci tempat lahirnya, bukan. Ia justru rindu sawah, suara jangkrik, dan angin lembut yang selalu berhembus dari bukit kecil di dekat rumah. Tapi perjalanan kali ini terasa berbeda—penuh rasa kalah, penuh kegagalan yang terasa seperti menempel di seluruh tubuhnya.
Ia memeluk tas ranselnya erat-erat di bus ekonomi yang ia tumpangi. Kursinya keras, AC-nya mati sejak berangkat, dan jendela dibiarkan terbuka sehingga debu masuk bersama angin. Tapi Anna tidak peduli. Ia hanya ingin sampai.
Uang di dompetnya bahkan bukan miliknya—itu pinjaman dari Lusi, teman sekelas yang selalu bawel tetapi entah bagaimana selalu muncul ketika hidup Anna sedang paling gelap.
“Lo yakin mau pulang?” tanya Lusi sebelum ia berangkat tadi pagi.
“Nggak yakin,” jawab Anna jujur. “Tapi kalau gue tetap di kota, gue bisa mati kelaparan, Lus.”
Lusi hanya merangkulnya. “Kalau ada apa-apa, kabarin gue. Uang itu nggak usah lo pikirin dulu.”
Anna tidak menjawab, hanya menahan tangis.
Sekarang, menatap jalanan berliku yang mulai memasuki wilayah kabupatennya, Anna berharap segala rasa sesak yang ia tinggalkan di kota bisa luruh begitu saja. Ia berharap bisa tidur nyenyak, makan masakan ibunya, dan menenangkan diri selama libur satu minggu ini.
Ia berharap… meskipun bagian terdalam hatinya sudah tahu:
Masalah tidak hilang hanya karena kita berpindah tempat.
⸻
Sesampainya di Rumah
Mentari hampir tenggelam saat bus berhenti di depan warung tua dekat tikungan. Anna turun, memanggul ranselnya. Rumah orang tuanya hanya lima menit berjalan kaki dari sana.
Begitu melangkah masuk pekarangan, ia melihat ibunya sedang menjemur kuaci buatan sendiri di tampah. Wanita itu menoleh, dan wajahnya langsung merekah.
“Anna! Astaghfirullah, kaget Ibu. Kok kamu nggak bilang mau pulang?”
Anna langsung memeluk ibunya. Pelukan yang hangat. Namun entah kenapa, ada beban terselip di sana. Ibunya memeluk lebih erat dari biasanya, seolah takut Anna hilang.
“Nanti Ibu masak, ya. Kamu pasti capek.”
Ayahnya muncul dari dalam rumah, membawa segelas teh. Senyumnya hangat, tapi ada garis lelah di matanya yang semakin dalam sejak toko mereka tutup.
“Kamu pulang sendiri? Nggak apa-apa, Nak?”
“Capek dikit aja, Yah.”
Ayahnya mengelus kepala Anna, sesuatu yang jarang ia lakukan ketika hidup mereka masih stabil. Waktu itu, ayah terlalu sibuk, terlalu keras, terlalu fokus pada toko. Sekarang, sentuhan itu terasa rapuh.
Anna masuk ke kamar lamanya. Kamar itu tampak lebih sempit dari terakhir ia tinggalkan, atau mungkin hidupnya yang sudah terlalu penuh beban. Ia duduk di ujung kasur, menarik napas panjang.
Rumah ini seharusnya memberinya rasa aman.
Tapi entah kenapa… malam itu ia tidak merasa aman sama sekali.
⸻
Masalah Baru yang Tak Disangka
Keesokan paginya, Anna bangun dengan suara dua orang dewasa di ruang depan. Suara rendah ayahnya, dan suara seorang pria lain yang asing. Anna berdiri pelan, mengintip dari balik tirai kamarnya.
Di ruang tamu duduk seorang lelaki berumur sekitar 40-an, berkemeja lusuh tapi rapi. Wajahnya keras, rahangnya tegas, sorot matanya tajam seperti selalu mencari kesalahan orang lain. Di sampingnya, ayah Anna duduk dengan postur terlalu sopan, terlalu hati-hati.
“Anna sudah bangun, Pak?” tanya ibunya dari dapur.
Ayahnya melirik kamar Anna. “Belum. Biar nanti dipanggil.”
Lelaki itu tersenyum tipis. Senyum yang tidak hangat, lebih mirip senyum orang yang sedang menilai barang di etalase.
Anna merinding.
Sekitar setengah jam kemudian, ketika lelaki itu sudah pergi, ibunya memanggil.
“An, sini sebentar. Ada yang mau Ayah dan Ibu bicarakan.”
Nada itu… Anna tahu nada itu. Nada berat. Nada yang biasanya muncul ketika sesuatu buruk akan disampaikan.
Ia duduk di kursi ruang tamu. Ayah ibunya saling pandang seakan sedang menentukan siapa yang harus bicara dulu.
Akhirnya ayah Anna menarik napas.
“An… Ayah sama Ibu sudah mikir panjang. Kondisi kita sekarang berat. Kamu tahu sendiri.”
Anna mengangguk hati-hati.
“Dan… Pak Kades menawarkan bantuan.”
Anna mengernyit. “Bantuan apa?”
Ayahnya menelan ludah. “Beliau… ingin menjodohkan kamu dengan putranya.”
Hening.
Sangat hening.
Seolah udara berhenti bergerak.
Anna mengedip pelan, memastikan ia tidak salah dengar. “Menjodohkan… Anna?”
Ibunya mengangguk pelan. “Kamu tahu sendiri, An… kita… kita benar-benar nggak punya pegangan lagi.”
“Aku kuliah, Bu,” suara Anna melemah tapi nada protes jelas. “Aku mau lulus. Mau cari kerja.”
Ayahnya mengangkat tangan, menyela. “Makanya! Kalau kamu menikah dengan putra Pak Kades, kuliahmu bisa dibantu. Hidupmu terjamin. Dia laki-laki mapan. Punya dua toko bangunan besar. Orang kaya, An.”
“Tapi dia duda anak dua!” desis Anna, tak percaya.
Ayahnya menepuk pahanya, kesal. “Duda bukan dosa! Dan dia bercerai karena istrinya nggak patuh!”
Anna mematung.
Ibunya buru-buru menenangkannya, tapi wajahnya jelas menyimpan kecemasan yang sama.
Ayah melanjutkan dengan suara lebih keras, “Zaman sekarang kalau istri keras kepala, wajar suami tegas! Itu cara laki-laki mendidik!”
Anna berdiri perlahan, jantungnya seperti diremas. “Ayah serius? Ayah pikir aku mau? Ini bukan zaman Siti Nurbaya. Ini hidup aku!”
Ayahnya ikut berdiri, nada meninggi. “Kalau kamu menikah dengannya, ekonomi keluarga kita bisa selamat! Hutang kita bisa lunas! Kamu nggak usah mikir makan!”
Anna merasakan darahnya naik ke kepala. “Jadi aku harus ngorbanin hidupku buat nyelametin ekonomi keluarga?”
“Ini bukan pengorbanan! Ini kesempatan!” bentak ayahnya.
Ibunya menutup mulut, menahan tangis. “An… Ibu cuma nggak mau lihat kamu susah terus…”
Anna memejamkan mata. Rasanya dikhianati oleh dunia sendiri.
“Aku… bukan barang dagangan,” suaranya melemah tapi tegas. “Aku nggak mau dijual demi harta.”
Ayahnya menatapnya tajam. “Kalau kamu menolak… kamu pikir kamu bisa apa? Kamu mau hidup pakai apa? Ibu kamu sudah capek! Ayah juga sudah berusaha!”
Itu menusuk lebih dalam.
Anna menahan napas, lalu berkata pelan, tapi dengan ketegasan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
“Mulai sekarang… aku nggak akan minta sepeser pun dari Ayah sama Ibu. Aku nggak mau nikah sama orang itu. Aku akan cari jalan sendiri.”
Ibunya terisak, ayahnya tampak terpukul, namun tetap keras.
“Baik,” kata ayahnya tajam. “Kalau itu keputusanmu… tanggung sendiri hidupmu.”
Anna mundur, dan tanpa sadar air matanya mengalir.
Bukan karena dia takut hidup susah.
Tapi karena rumah yang selama ini ia kira tempat kembali… justru menjadi tempat yang ingin menjual masa depannya.
⸻
Di Kamar, Malam Hari
Anna duduk memeluk lutut, menatap jendela yang gelap. Suara televisi dari ruang depan terdengar samar. Orang tuanya tidak bicara banyak malam itu. Rumah terasa beku.
Ternyata pulang tidak selalu berarti pulih.
Ia menarik napas panjang. Dalam hati, ia berkata pada dirinya sendiri:
“Kalau dunia menutup semua pintu, aku akan cari jendela. Kalau jendelanya tidak ada, aku akan buat sendiri.”
Besok pagi, ia akan kembali ke kota. Ia tidak tahu bagaimana hidupnya nanti, tapi satu hal pasti:
Ia tidak akan menyerahkan hidupnya hanya karena uang.
Tidak hari ini.
Tidak pernah.