Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan dengan ratu es
Tiga hari berlalu sejak kecelakaan itu, dan waktu di ruang observasi khusus ini bergerak seperti cairan kental, lambat dan menyesakkan.
Aluna telah menetapkan dirinya dalam peran baru, sebuah rutinitas yang brutal dalam kepalsuannya.
Setiap pagi, ia membuang Aluna yang ingin bebas ke belakang, dan setiap malam, ia menghidupkan kembali Aluna yang penuh harapan dari tahun 2015, tahun yang Erick ingat sebagai puncak cinta mereka.
Rutinitas ini mengharuskannya untuk berhati-hati dan detail.
Senyum itu, begitu polos dan tanpa beban, bebas dari bayangan saham dan hutang korporat, adalah satu-satunya sumber energi dan kelemahan Aluna.
“Sayang, coba kau ulangi lagi cerita tentang toko bukumu yang akan kita buka di Bandung,” pinta Erick suatu sore, matanya bersinar lembut, bebas dari ketegangan finansial yang biasanya ada di mata Erick Wijaya.
Aluna menanggapi dengan antusiasme yang sama, menceritakan tentang tata letak toko, aroma kopi yang akan mereka sediakan, dan rak buku yang akan dibuat dari kayu daur ulang.
Ia harus menciptakan dialog tentang janji-janji masa depan yang sederhana, bisnis kecil yang akan mereka bangun bersama, perjalanan backpacking keliling Eropa setelah Erick mendapat pekerjaan yang layak, dan rencana memiliki rumah kecil yang nyaman.
Di setiap kata yang diucapkannya, Aluna harus menyembunyikan realitas yang menghancurkan, mereka memiliki mansion mewah yang sepi, Erick adalah CEO perusahaan multinasional yang sedang krisis, dan Aluna telah meninggalkan surat cerai di kantor pengacara.
Setiap hari adalah pertunjukan, dan Aluna adalah aktris utama yang mengorbankan jiwanya sendiri demi kesehatan penonton tunggalnya.
Kehadiran tuan Hartono dan Karina, yang sesekali datang membawa laptop dan dokumen, terasa sangat mengganggu. Mereka menjaga jarak, terlalu sibuk dengan krisis bisnis untuk campur tangan, tetapi mereka mengamati Aluna. Tatapan mereka penuh dengan jijik dan curiga.
Mereka melihat wanita yang seharusnya sudah menjadi mantan istri, kini memainkan peran sebagai perawat yang setia.
Di mata mereka, Aluna pasti sedang merencanakan sesuatu yang lebih jahat daripada sekadar merawat suaminya.
Ketegangan di ruangan itu, yang sudah menumpuk, tiba-tiba memadat menjadi es.
Pintu ruang observasi terbuka dengan desisan pelan. Udara di ruangan itu terasa dingin seketika, seolah-olah suhu tiba-tiba turun drastis tanpa peringatan. Bau antiseptik bercampur dengan aroma parfum mahal yang dominan, aroma yang tajam, formal, dan berkuasa.
Sosok yang masuk adalah Ibu Dewi, ibu Erick.
Ia mengenakan setelan desainer berwarna abu-abu arang yang begitu rapi sehingga tampak kaku, seolah ia bisa memecahkan kaca jika ia bergerak terlalu cepat.
Jika Erick yang dulu adalah pangeran es, maka ibu Dewi adalah si ratu es di istana Wijaya, dan kehadirannya membawa aura ancaman yang mutlak.
Dia tidak tampak lelah atau sedih, ia tampak berkuasa. Matanya menyapu ruangan seolah sedang mengevaluasi kualitas kamar hotel bintang lima, menilai kerapian tempat tidur dan efisiensi mesin medis.
Matanya akhirnya tertuju pada Aluna, yang saat itu sedang memegang tangan Erick dan membacakan sebuah bab dari novel lama yang Erick sukai di masa kuliah, sebuah novel yang telah lama dilarang di Mansion itu.
Aluna merasakan tekanan fisik di seluruh tubuhnya. Itu adalah tekanan dari ekspektasi sosial yang dingin dan tak termaafkan. Ia berdiri, bersiap.
Ibu Dewi mendekat ke tempat tidur, mengamati putranya dengan tatapan tajam, tidak ada air mata, tidak ada kehangatan, hanya penilaian.
“Tanganmu kotor, Aluna!” kata Ibu Dewi, suaranya rendah, dingin, dan sangat menusuk. Itu adalah serangan terhadap statusnya, pernyataan bahwa Aluna adalah noda.
Aluna menyingkirkan tangannya dari tangan Erick. Ia menunduk sebentar. Ia tahu, Ibu Dewi pasti sudah tahu tentang surat cerai itu, berkat laporan setia dari tuan Hartono atau Karina.
“Dia baru sadar sebentar, Bu,” ujar Aluna, berusaha menjaga ketenangan yang baru ia latih.
Ibu Dewi mengabaikan jawaban Aluna, memindai wajah Erick yang damai. Ia kembali menatap Aluna, sorot matanya seperti kristal es.
“Aku ingat, kau seharusnya sudah terbang ke luar kota dua hari yang lalu,” sindir Ibu Dewi, suaranya setajam belati baja. “Karina bilang kau sudah mengosongkan kamar. Perubahan rencana yang menarik, bukan? Apa yang hilang sehingga membuatmu kembali? Kekuatan penandatanganan cek?”
“Aku tahu semua yang terjadi, Aluna.” Ibu Dewi berbisik, matanya menembus topeng ketenangan Aluna.
“Aku tahu betapa dinginnya pernikahan ini, dan aku tahu Karina sudah memberitahuku tentang map cerai yang kau tinggalkan di meja Erick. Jangan kira aku bodoh. Aku tahu kau kembali karena ini adalah kesempatan, bukan kesetiaan.”
Aluna menahan nafas. Ini adalah momen krusial. Ia harus ingat aturan emas Dokter Bayu, jaga rahasia amnesia.
Jika Ibu Dewi tahu Erick tidak ingat, dia akan melihatnya sebagai celah, kelemahan yang dapat memengaruhi harga saham. Dia akan memaksa pengembalian ingatan yang brutal, tanpa memperdulikan kesehatan mental Erick.
“Kau melihat anakku terbaring di sini, dan kau tiba-tiba menjadi istri yang paling setia di dunia,” lanjut Ibu Dewi, suaranya seperti pecahan kaca yang digiling.
“Kau memanfaatkan kelemahannya.”
“Aku di sini karena ini adalah tempatku,” balas Aluna, berusaha keras agar suaranya tidak bergetar. Ia berbicara bukan untuk membela diri, tetapi untuk membela Erick yang pernah ia cintai kembali.
Ibu Dewi tersenyum dingin.
“Tempatmu? Tempatmu bukan disini, Aluna. Dengarkan aku baik-baik. Jangan pernah memanfaatkan anakku yang sedang sakit untuk mendapatkan uang, simpati, atau kendali atas asetnya. Aku tahu bagaimana cara bermain. Aku sudah bermain lebih lama darimu.”
Ibu Dewi menyentuh bahu Aluna, cengkeramannya kuat dan menusuk, mengancam untuk menembus kulit.
“Jika kau berpikir amnesia ini memberimu kesempatan kedua untuk menjadi menantu yang kau gagal capai, kau salah besar. Jika Erick sembuh dan mengingat segalanya, dia akan membencimu karena memanfaatkan kelemahannya.”
Jeda yang singkat dan dramatis, bisikan itu menjadi lebih gelap.
“Dan jika dia tidak sembuh... Aku akan memastikan kau tidak mendapatkan sepeser pun dari kami. Aku akan menyeret namamu ke pengadilan, mencopot gelar istrimu, dan membiarkanmu hancur. Kau mengerti?”
Ancaman itu jelas, brutal, dan sangat sesuai dengan karakter Ibu Dewi. Itu adalah ultimatum yang bertujuan untuk menyingkirkan Aluna dari permainan kekuasaan Wijaya, dan Aluna merasakan gelombang sakit dan kemarahan yang luar biasa.
Ia ingin membongkar semua, berteriak.
“Aku tidak peduli dengan uangmu! Aku di sini karena Erick yang kalian tinggalkan sudah kembali! Karena dia memanggilku 'Sayang' dan mengira aku adalah kekasihnya! Kalian tidak akan pernah mengerti pengorbanan yang kubuat!” Ia ingin melempar topengnya dan membiarkan air mata dan kebenaran mengalir.
Namun, ia memilih keheningan, menguatkan dirinya dengan ingatan tentang catatan kusut di sakunya.
‘Tunggu aku, Aluna.’
Ia hanya memiliki satu senjata, kebohongan yang ia ciptakan, yang kini berfungsi sebagai perisai.
“Anda tidak perlu khawatir, Bu Dewi.” jawab Aluna, suaranya sangat tenang, berlawanan dengan gejolak batinnya.
“Aku tidak menginginkan uang ataupun properti Wijaya.”
Aluna menarik nafas, menegaskan posisinya.
“Aku sudah membatalkan jadwal perjalanan, tidak akan pergi ke mana-mana sampai Erick sehat. Dan akupun berjanji, tidak akan menyentuh aset apa pun.”
Aluna mengakhiri konfrontasi itu dengan elegan, tanpa emosi, membuat ibu Dewi terkejut oleh ketenangan barunya dan kurangnya reaksi emosional. Ratu Es itu tidak mengharapkan pengabaian total terhadap uang.
Aluna tersenyum pada Erick, senyum palsu yang terasa menyakitkan.
‘Aku sudah lama menunggu, Erick muda kembali, sebelum Erick berusia tiga puluh tahun kembali.’