“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan Belas
Pagi itu Elena terbangun dengan rasa hangat yang masih menempel di kulitnya. Cahaya matahari menembus tirai hotel, menimpa wajahnya yang masih setengah mengantuk. Untuk sesaat, dia lupa di mana dirinya berada. Lalu suara laptop yang ditutup pelan membuatnya sadar.
Axel sedang duduk di tepi ranjang, sudah rapi dengan kemeja putih dan celana panjang. “Pagi,” ucap Axel sambil tersenyum.
Elena meraih bantal, memeluknya. “Kamu udah bangun dari jam berapa?”
“Jam enam. Ada email yang harus aku jawab.” Axel bangkit, mendekat ke sisi tempat tidur, mengusap pelan rambut Elena yang berantakan. “Tidurmu kelihatan nyenyak banget.”
Elena menunduk, malu. Ada rasa bersalah yang samar tapi juga rasa nyaman yang enggan ia lepaskan. “Nyenyak. Mungkin karena kamu ada di sebelahku.”
Axel tersenyum tipis. “Bagus. Hari ini kita balik ke kota. Tapi sebelum itu, kita beli oleh-oleh dulu. Tim di kantor pasti nunggu.”
Mereka bersiap dengan santai. Ada momen kecil yang membuat Elena senyum sendiri, Axel membantu mengancingkan jam tangan di pergelangan tangannya, tangan pria itu terasa hangat dan dia sangat hati-hati seolah benda itu sangat berharga.
Di bandara, nasib berkata lain. Hal yang tak diharapkan bagi semua penumpang terjadi pada mereka.
“Delay dua jam,” gumam Axel setelah membaca layar pengumuman. Ia memijat pelipis. “Ya sudah, kita tunggu. Enggak bisa apa-apa.”
Elena duduk di kursi tunggu, menyandarkan kepala di kursi. Axel membeli dua cangkir kopi, lalu duduk di sebelahnya.
“Kamu pasti capek,” ucap Axel sambil menyerahkan kopi.
Elena menerima. “Capek. Tapi kayaknya aku pengen tidur daripada minum kopi.”
Axel tersenyum, menepuk bahunya. “Tidur aja di sini.”
Elena ragu sebentar, tapi akhirnya bersandar. Kepala Elena jatuh di bahu Axel, membuat pria itu menahan napas sesaat. Rambutnya menyentuh rahang Axel, aroma shampoo-nya samar tapi bikin tenang.
Axel duduk tenang, menatap wajah Elena yang perlahan terlelap. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Dia hampir mengangkat tangan untuk menyibakkan rambut Elena, tapi menahan diri.
Dua jam berlalu. Panggilan boarding terdengar.
“Bangun, Lena,” ucap Axel pelan, mengguncang bahunya lembut.
Elena membuka mata, menguap kecil. “Udah waktunya, ya?”
“Iya.”
Mereka lalu naik pesawat. Elena duduk di dekat jendela, menatap awan. Keduanya terdiam. Pikirannya perlahan kembali ke kota, ke apartemen, ke Aldi. Rasa bersalah sedikit menyelinap, tapi ia menepisnya.
Sore hari mereka mendarat. Langit sudah oren. Mobil menjemput mereka ke bandara. Di perjalanan, Axel melirik Elena yang terlihat termenung.
“Kamu enggak kabarin suamimu?” tanya Axel dengan suara pelan.
Elena menoleh, sedikit kaget dengan pertanyaannya. “Enggak. Aku … enggak tahu harus ngomong apa.”
Axel mengangguk, tidak menekan. Mobil berhenti di depan apartemen Elena. Axel turun, membukakan pintu.
“Terima kasih, Axel. Untuk semuanya.” Elena menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.
Axel hanya mengangguk. “Besok aku jemput. Istirahatlah, Lena.”
Elena melangkah masuk. Lift naik pelan. Sesampai di lantai apartemennya, ia berjalan dengan langkah ragu. Hatinya berdebar tanpa sebab.
Kunci berputar. Pintu terbuka. Langkah Elena terhenti.
Ada Lisa sahabatnya. Gadis itu berbaring santai di sofa. Kepala Lisa bersandar di paha Aldi, suaminya, yang tengah memegang ponsel. Pemandangan itu seperti pukulan telak di dada Elena.
Aldi yang baru menyadari kehadiran istrinya, segera meletakkan ponsel. “Elena.”
Elena berdiri terpaku, napasnya tercekat. “Apa ini?”
Lisa buru-buru bangun, wajahnya memerah. "Elena ... jangan salah paham. Apa yang kamu lihat ini, tak seperti yang kamu pikir."
"Tak seperti yang aku pikirkan?” Elena mengulang kata itu dengan nada getir. "Memangnya kamu tau apa yang aku pikirkan?"
Aldi berdiri, langkahnya santai seolah tak ada yang salah. “Elena, Lisa cuma mampir. Dia sedang ada masalah. Jadi tadi aku mencoba menghiburnya."
“Menghiburnya? Di sini? Di apartemen kita, berdua saja?” suara Elena meninggi.
Lisa gelisah. “Elena ... jangan membesarkan masalah. Aku tak melakukan apa-apa dengan Aldi. Kami cuma mengobrol."
Elena menatap Lisa tajam, lalu matanya kembali ke Aldi. “Kamu pikir aku bodoh? Dua orang dewasa ada dalam satu rumah dan hanya mengobrol?"
Aldi menghela napas. “Elena, kamu baru pulang. Kamu pasti capek. Jangan bikin ribut sekarang.”
“Bikin ribut?” Elena tertawa pahit. “Kamu duduk santai sama dia, di sofa kita, di rumah kita, dan kamu pikir aku enggak akan marah?”
Lisa terlihat semakin salah tingkah. Pipinya memerah. “Aku … aku pulang aja, Aldi. Kamu selesaikan dengan Elena.”
Elena melangkah mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Lisa. “Iya, kamu memang sebaiknya pulang. Ini rumahku. Jika kamu sudah tak tahan ingin merebut suamiku, tunggu hingga akta cerai ada ditanganku. Tahan napsu dulu, atau jika tak bisa menahannya kalian bisa sewa hotel. Jangan bermain di sini!" teriak Elena.
"Elena, cukup! Harus berapa kali aku katakan, jika aku dan Lisa tak ada hubungan apa-apa. Kami dekat karena dia sahabatmu!'
"Sahabat sekaligus teman tidur!"
Tangan Aldi terangkat ingin menampar pipi Elena. Tapi, dia mengurungnya. Tangannya hanya mengudara.
"Kenapa? Tampar saja. Biar aku tambah bukti untuk menggugat cerai."
Aldi tersenyum sinis. Dia mendekati Elena.
"Jangan sok suci, Elena. Apa yang kamu lakukan dengan Axel di luar kota juga tak ada yang tau. Mungkin kamu dan dia telah tidur dan melakukan hubungan badan!"
"Kamu benar, Mas. Aku dan Axel memang telah melakukan hubungan badan. Aku bahagia bersamanya. Dia bisa memuaskan aku!"
Tangan Aldi kembali terangkat dan kali ini dia langsung melayangkan tam'paran ke pipi Elena.
Elena memegang pipinya yang terasa panas. Sedangkan Lisa yang berdiri di belakang Aldi tampak tersenyum tipis.
Elena berdiri kaku. Pipinya perih, matanya panas. Tapi kali ini dia tidak menangis.
“Aku capek,” ucap Elena dengan lirih tapi jelas. “Capek, Mas. Capek pura-pura jadi istri baik yang diem aja waktu suaminya jalan sama sahabatnya sendiri.”
Aldi terdiam sesaat, napasnya berat. “Jadi sekarang kamu mau nyalahin aku?”
Elena menatapnya tajam. “Aku enggak nyalahin siapa-siapa. Aku cuma bilang aku udah enggak kuat. Jadi, kalau kamu merasa rumah ini terlalu sesak buat kita bertiga, kamu bisa keluar. Malam ini juga.”
Lisa terlihat panik. “Elen … aku ....”
“Diam, Lis.” Elena menatapnya tajam. “Kamu udah cukup ambil bagianku. Malam ini, biar aku ambil bagianku lagi. Silakan keluar dari rumahku.”
Lisa menggigit bibir, menatap Aldi seolah minta persetujuan. Aldi hanya menghela napas kasar. “Kamu pulang aja, Lis.”
Lisa langsung mengambil tasnya dan keluar, menutup pintu pelan. Suasana menjadi hening.
Elena melangkah ke kamar tanpa menoleh. “Aku tidur di kamar. Kalau kamu mau tidur sama dia, silakan susul dia ke rumahnya.”
Aldi meraih tangan Elena. “Kamu pikir kamu hebat ngomong gitu? Kamu pikir aku enggak bisa cari tau apa yang kamu lakukan sama Axel?”
Elena menoleh, matanya berkilat. “Silakan cari tau. Aku enggak takut. Justru biar semua orang tau kamu bukan satu-satunya yang bisa menyakiti pasangannya.”
Aldi terdiam, rahangnya mengeras. Elena melepaskan tangannya kasar, masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Di balik pintu, tangisnya pecah. Air mata turun deras, tapi ada juga rasa lega. Seolah beban yang ia tahan dari kemarin akhirnya pecah.
Ia rebah di tempat tidur, menatap langit-langit. “Tuhan … apa salahku? Selama ini aku telah berusaha menjadi istri yang baik, jika akhirnya aku bosan dan melakukan hal yang tak semestinya dengan Axel, apa semua itu salahku?” bisik Elena pelan. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara detak jam dan jantungnya sendiri yang terdengar.
Di ruang tamu, Aldi duduk di sofa, menatap kosong. Tangannya mengepal. Malam itu, apartemen terasa seperti medan perang yang baru selesai meledak.
**
Selamat Pagi. Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk. 😘😘😘
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2