Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Bertukar Cerita
"Aaarghhh..., mengapa burungku masih saja loyo seperti ini?"
Pai berteriak kesal ketika satu-satunya pusaka yang ia miliki tetap terdiam dan menunduk layu. Meskipun wanita cantik di hadapannya ini telah berusaha untuk tampil menggoda dengan pakaian tipis dan sexy, namun tetap saja tidak dapat membuat pusaka miliknya tegak berdiri. Jangankan berdiri tegak, menggeliat pun seakan juga enggan.
Ranum yang masih berada di atas ranjang, hanya bisa menatap Pai dengan tatapan yang tiada terbaca. Ingin rasanya ia menertawakan keadaan Pai namun tak bisa dipungkiri jika ada rasa iba yang turut menggelayuti hati. Sehingga, ia pun hanya bisa menatap dengan ekspresi yang sulit dimengerti.
"Apa kita coba sekali lagi Om? Siapa tahu kali ini berhasil."
Ranum memberikan satu penawaran untuk mencoba sekali lagi. Meski dalam hati ia merasa begitu lega karena malam ini ia tidak jadi melayani Pai, namun jauh di sudut batinnya merasa tak enak hati. Bagaimana tidak enak hati? Pai sudah memberinya kalung berlian yang harganya berjuta-juta, masa tidak ada sedikitpun timbal balik darinya sama sekali? Tentu hal itu seakan membuat Ranum seperti tidak tahu diri.
Pai yang sebelumnya berdiri di depan jendela apartemen dengan membelakangi Ranum, kini sedikit ia geser tubuhnya. Netra pria tua itu menyipit dengan dahi mengerut sembari menatap Ranum.
"Coba lagi?" tanya Pai memastikan.
Ranum mengangguk pelan. "Iya Om, kita coba lagi. Siapa tahu milik Om berdiri."
Pai hanya bisa menggelengkan kepala sembari membuang napas kasar. Pandangan matanya tiba-tiba nyalang ke langit-langit kamar.
" Tidak mungkin milikku bisa berdiri. Bukankah sudah dua jam kamu memberikan rangsangan dan stimulus? Tapi nyatanya tetap letoy bukan?"
"Tapi siapa tahu kali ini berhasil Om?"
Entah apa yang terjadi pada Ranum. Wanita itu begitu kekeuh membujuk Pai untuk mencoba sekali lagi. Mungkin kalung berlian yang harganya selangit itu yang membuatnya merasa berhutang budi dan berniat untuk menyenangkan hati Pai.
Sorot mata Pai kembali tertuju pada Ranum. Kali ini, pria itu tersenyum getir sembari menikmati kecantikan paras wanita di depannya ini.
"Sudahlah Cantik, kamu tidak perlu membujukku untuk mencobanya sekali lagi. Sampai kapanpun, punyaku ini memang tidak akan pernah berdiri lagi."
"Tapi Om...."
"Sudahlah, kamu tidak perlu merasa bersalah atau berhutang budi kepadaku karena aku sudah memberimu kalung berlian itu. Anggap saja itu rasa terima kasih dariku karena kamu sudah menemaniku dari beberapa hari yang lalu."
Ranum sedikit terpaku mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Pai. Tak dapat dipungkiri jika ia sedikit terkesima dengan sifat pria yang usianya sudah menginjak paruh baya ini. Ranum merasa jika Pai adalah salah satu sosok pria yang memiliki hati yang tulus.
"Pakailah kembali pakaianmu Cantik!" titah Pai yang seketika membuat Ranum terperanjat.
"Maksud Om?"
"Iya kenakan kembali pakaianmu. Aku hanya ingin ngobrol sama kamu," jawab Pai menyampaikan maksudnya.
Ranum bergegas mengenakan kembali pakaiannya. Begitu pula dengan Pai, pria itu juga segera mengenakan piyamanya.
Pai meraih dua kaleng soft drink. Satu ia lemparkan ke arah Ranum dan satu ia buka sehingga muncul suara desisan khas kaleng minuman bersoda itu. Pai pun memilih untuk duduk di sofa kecil yang ada di sana.
"Bagaimana ceritanya kamu bisa kerja ikut Helena, Cantik?" tanya Pai membuka pembicaraan sembari menikmati soft drink-nya.
"Saat itu aku kecelakaan Om, dan mami Helena lah yang menolongku dan memberikanku tempat tinggal juga pekerjaan."
"Memang sebelumnya kamu mau ke mana? Mengapa bisa berada di kota ini?" lanjut Pai yang sepertinya mulai tertarik dengan cerita hidup wanita cantik yang ada di depannya ini.
Ranum terkesiap. "A-aku? Emmm...itu Om... Emm."
Mendadak jantung Ranum berdenyut nyeri. Ada satu dorongan emosi yang berasal dari dalam diri yang membuat lidahnya kelu dan mulut terkunci. Jika mengingat dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang sudah ia lewati sungguh membuatnya merasa berdosa sekali.
"Maaf jika pertanyaanku menyinggung hatimu, Cantik. Kamu boleh tidak menjawabnya," timpal Pai seakan menarik pertanyaannya kembali.
Ranum membuang napas kasar. Meskipun ada gejolak emosi dalam diri, namun ia berpikir bahwa sampai kapanpun cerita kelam yang lewati pasti akan selalu ada mengiringi langkah kaki. Sehingga mau diceritakan atau tidak kepada Pai, tetap sama saja.
"Aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar dalam hidup, Om. Kesalahanku itu mungkin tidak akan pernah bisa dimaafkan."
"Kesalahan besar? tanya Pai dengan dahi mengerut. "Apa itu, Cantik?"
Ranum tersenyum getir dengan tatapan nyalang ke sembarang arah. Hatinya sudah jauh terasa lebih lapang untuk menceritakan semuanya kepada Pai.
"Sebelumnya aku pernah memiliki kekasih, Om. Kami pacaran selama enam bulan. Selama enam bulan itu dia memperlakukanku layaknya seorang putri sampai pada akhirnya hubungan kami terlampau jauh. Aku berikan keperawananku kepadanya. Hingga akhirnya aku ...."
"Kamu hamil dan kekasihmu tidak mau bertanggungjawab?" timpal Pai memotong ucapan Ranum.
Ranum menggeleng pelan. "Dia tidak mau bertanggungjawab karena dia tidak tahu jika saat ini aku sedang mengandung benih cintanya."
Pai semakin penasaran. "Dia tidak tahu kamu hamil? Lantas kenapa kamu tidak memberitahunya, Cantik?"
Senyum getir kembali menghias bibir Ranum. "Dia sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan teman masa kecilnya, Om. Jadi, aku bisa apa? Semua akan sia-sia karena orang tua kekasihku pun tidak merestui hubunganku dengannya."
Pai mengangguk-anggukkan kepala. Sebagai isyarat jika ia sedikit mengerti dengan jalan hidup Ranum.
"Ternyata burungku yang letoy ada manfaatnya," celetuk Pai yang sedikit menggelitik hati Ranum.
"Maksud Om bagaimana?"
"Aku akan merasa sangat bersalah jika sampai kamu melayaniku di atas ranjang di saat kamu sedang hamil, Cantik. Aku sungguh tidak tega."
Senyum tipis tersungging di bibir Ranum. Ternyata pria yang ada di depannya ini benar-benar memiliki hati yang baik.
"Kalau memang itu pekerjaanku, bukankah harus aku kerjakan Om? Jadi, tidak masalah meskipun saat ini aku tengah hamil."
Pai menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak tega. Lalu, mengapa kamu malah justru pergi, Cantik? Bukankah kamu masih memiliki keluarga?"
Kali ini Ranum tidak dapat lagi membendung air matanya. Jika sudah menyangkut keluarga terlebih mengingat sang ibu, ia tidak bisa lagi menahan rasa sesak yang semakin menusuk dada.
"Aku sudah membuat malu keluargaku, Om. Aku sudah melemparkan kotoran ke wajah mereka. Aku tidak mau melihat mereka semakin terpuruk karena menanggung malu akibat perbuatanku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari kota kelahiranku."
Suara Ranum bergetar. Berkali-kali suara itu tercekat di tenggorokan. Sungguh seperti menguras energi ketika menceritakan kisah-kisah pahit yang pernah dilalui akibat kesalahannya.
Pai menatap iba Ranum yang sudah berurai air mata itu. Ia ayunkan tungkai kakinya dan duduk di ranjang dekat Ranum.
"Om minta maaf jika membuatmu sedih ya, Cantik. Berjanjilah pada Om kalau kamu akan tetap bertahan demi anak yang ada di dalam rahimmu. Bagaimanapun juga ia tidak bersalah dan pantas mendapatkan masa depan yang jauh lebih baik."
Ranum mengusap air matanya seraya mengedikkan bahu. "Entahlah Om, aku bahkan merasa tidak sanggup untuk menjalani semua ini."
"Kamu harus bisa, Cantik. Pokoknya, jika kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa memintanya dariku. Terlebih jika itu untuk kebutuhan anak yang ada di dalam kandunganmu."
Kehangatan tiba-tiba menjalar memenuhi relung-relung hati Ranum. Penilaiannya terhadap Pai ternyata benar adanya. Pria paruh baya ini seakan menjadi sosok orang tua untuk menuntun langkahnya kembali.
Ranum menatap wajah Pai dengan perasaan yang dipenuhi oleh kebahagiaan. Entah mengapa, dia bisa melihat dan menemukan sosok ayah dalam diri Pai. Wajah yang berbinar sungguh menghiasi parasnya yang cantik.
"Kamu boleh menganggapku sebagai ayahmu. Karena memang pada dasarnya aku ingin memiliki seorang anak," sambung Pai.
"Maksud Om?"
Pai hanya tersenyum kecil sembari menghela napas panjang. "Dua puluh tahun aku menikah, aku sama sekali tidak memiliki anak. Sampai akhirnya kondisiku seperti ini dan istriku pergi meninggalkanku."