NovelToon NovelToon
Pendekar Naga Bintang

Pendekar Naga Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Misteri / Action / Fantasi / Budidaya dan Peningkatan / Anak Genius
Popularitas:44.9k
Nilai: 5
Nama Author: Boqin Changing

Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.

Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.

Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Pertama Berlatih

Keesokan paginya, kabut pagi belum sepenuhnya terangkat dari lembah ketika Gao Rui membuka kedua matanya. Rasa kantuk masih sedikit menahan kelopak matanya, namun semangatnya jauh lebih besar dibanding rasa malas yang tersisa. Hari ini, ia berniat melakukan sesuatu sebelum gurunya bangun. Memasak sarapan yang benar, tanpa cela, tanpa alasan, tanpa kegagalan.

Ia bangkit dari pembaringannya, merapikan selimut seadanya, lalu melangkah menuju dapur kayu sederhana yang masih remang. Udara pagi terasa dingin, tapi ia tidak peduli. Dengan gerakan tenang namun penuh keyakinan, ia menyalakan tungku, mengisi panci dengan air, dan mulai menyiapkan bahan-bahan.

Pagi ini,  ia berniat membuat bubur ayam dengan bola-bola daging. Menu yang sederhana tapi membutuhkan kesabaran dan teknik. Ia memotong daging ayam secara presisi dan bawang putih sangat tipis, seperti yang pernah diajarkan gurunya. Tumis kecil di wajan harus merata, minyak tidak boleh terlalu banyak, aroma harus keluar pelan dan lembut, bukan hangus dan menusuk.

"Suhu api harus dijaga." gumamnya mengingat salah satu arahan gurunya. "Jika air kaldu meluap, itu pertanda kau bukan koki, tapi pemalas."

Ia tersenyum tipis. Pelajaran memasak dari gurunya ternyata lebih keras dibanding latihan bela diri.

Dengan sabar, Gao Rui mulai mengaduk panci bubur, membentuknya perlahan agar teksturnya lembut. Ayam sudah direbus, tinggal disuwir. Bola-bola daging buatan tangan semalam ia keluarkan dari wadah kayu kecil, dan mulai menyiapkan kuahnya. Aroma kaldu yang sedap mulai memenuhi dapur.

Hampir setengah jalan memasak, ia sempat berhenti sejenak untuk memeriksa rasa kuah. Ia menyesap sedikit, kurang garam. Ia tambahkan sejumput.

Saat ia kembali menyalakan tungku untuk memanaskan bola-bola daging, tiba-tiba terdengar suara dari arah kamar gurunya. Suara pelan, terdengar seperti igauan tidur.

Gao Rui menoleh heran. Dari dalam kamar itu terdengar gumaman aneh, seperti seseorang yang sedang memesan makanan di warung.

"Tuan Nei, aku pesan mienya satu… yang pedas ya…"

Gao Rui terdiam, alisnya terangkat.

"…pakai bola daging dua… ah tidak, tiga… mie jangan terlalu matang. Dan… jangan lupa kuahnya yang panas…"

Mulut Gao Rui terbuka perlahan.

“Apa-apaan itu…?”

Ia menatap pintu kamar dengan ekspresi sulit dipercaya.

“Guru… mengigau pesan mie?”

Belum sempat ia memproses pikiran itu, suara igauan gurunya terdengar lagi, lebih jelas, lebih… dramatis.

"Kalau mienya kurang sedap… aku hancurkan kedainya…."

Gao Rui hampir tersedak ludahnya sendiri, batinnya gemetar. Mendengar ancaman kasar itu, walau diucap dalam igauan, jantung Gao Rui seperti ditarik ke lehernya. Wajahnya memerah, pipinya panas. Ia tahu, gurunya bisa bersikap kejam ketika marah, dan walau itu hanya mengigau, ia tak mau mengambil risiko terbangun dengan mukanya yang murka.

"Buat mie, cepat." gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya yang tadi sudah sibuk dengan bubur kini bergerak lebih cepat, hampir panik. Ia menyeka telapak tangannya, mengambil selembar adonan tepung dan mengasah teknik membuat mie. Ini saatnya menunjukkan kalau ia tidak sekadar murid yang dipandang sebelah mata.

Ia menaburkan sedikit tepung di papan kayu, menggulung adonan, menekan dan meregangkannya dengan teliti. Jari-jarinya bergetar, tapi gerakannya tetap rapi. Setiap tarikan menggulung serat mie tipis-tipis, seperti urat-urat pohon yang lentur. Ia memotong dengan pisau kecil, satu, dua, tiga, irisan demi irisan meluncur ke meja dan menumpuk rapi.

"Jangan terlalu matang." ia mengingat ucapan igauan itu, lalu tersenyum kecut. " Berarti kurangi waktu rebus." Ia melempar mie ke dalam panci berisi air mendidih, suara berdesis memenuhi dapur. Waktu terasa melambat. Satu menit, dua menit, ia mengintip, mengangkat sejumput mie, mencicipi teksturnya. Pas. Masih kenyal.

Selanjutnya adalah kuah yang dipilih gurunya dalam tidurnya. "Yang pedas." Gao Rui tak pernah membuat kuah pedas. Namun sekarang ia harus menepati pesanan igauan itu. Ia meraih cabai kering yang disimpan, menghancurkannya bersama bawang putih tumis, menambah sedikit cuka untuk menonjolkan rasa. Ia menimbang dengan cepat agar tidak terlalu menyengat. Gurunya kuat, tapi kalau pedas berlebihan, bisa membuatnya batuk di tengah makan. Itu juga buruk.

Sambil mengaduk bubur agar tetap lembut, ia memasukkan bola-bola daging ke dalam kuah yang mendidih. Aroma rempah dan daging segera menguap, menyelimuti dapur dengan kehangatan. Gao Rui menambahkan daun bawang, sedikit minyak wijen, sejumput gula untuk menyeimbangkan pedas dan terakhir, memeras sedikit jeruk nipis, tidak banyak, hanya untuk memberi gesekan segar.

Piring-piring disiapkan, mangkuk besar untuk mie pedas, mangkuk kecil untuk bubur. Ia menyusun dengan cepat, mie di satu sisi, bubur di sisi lain. Di atas mie, ia letakkan tiga bola daging seperti yang dipesan sang guru, dan menaburkan bawang goreng serta irisan seledri. Tangannya semakin lincah, seolah pikiran gurunya yang ngigau memacu langkahnya.

Ketika semuanya hampir siap, jantungnya melonjak lagi, suara langkah di lantai kayu. Pintu kamar terbuka perlahan. Gao Rui menahan napas, menepuk-nepuk tangannya dengan gerakan yang lebih tenang daripada perasaannya.

Gurunya muncul, rambut kusut, mata setengah terpejam. Wajahnya masih menyisakan bekas tidur, namun hidungnya mengerut saat mengendus aroma di udara. Ia melangkah ke dapur dengan langkah berat, menatap meja penuh hidangan.

"Apa ini?" suaranya parau, seperti membangunkan dirinya dari mimpi.

Gao Rui menunduk, menahan senyum dan gemetar di bibirnya. Ia mengangkat panci kecil berisi kuah pedas, dan dengan suara yang hampir tak terdengar menjawab.

"Hari ini aku memasak bubur dan mie guru."

Boqin Changing berdiri diam beberapa detik menatap meja itu. Ada bubur ayam dengan tekstur lembut dan aroma kaldu yang menenangkan, dan di sebelahnya semangkuk mie pedas dengan tiga bola daging sapi, masih mengepulkan uap panas.

Ia mengangkat kepalanya perlahan dan menatap Gao Rui. Ada kilatan kecil yang sulit dijelaskan di matanya, bukan amarah, bukan pula kritik. Sesuatu yang… berbeda.

“Hmm.” Boqin Changing mengusap dagunya, lalu duduk tanpa berkata apa-apa. Ia mengambil sumpit, memutar mie di mangkuk, lalu meniupnya pelan. Gao Rui menahan napas.

Slurruup......

Suara seruputan mie yang panjang terdengar. Boqin Changing tidak bereaksi. Ia menyendok kuah merahnya, meneguk sedikit. Masih tidak bereaksi.

Kemudian ia menggigit bola daging. Masih diam.

Gao Rui tiba-tiba kering tenggorokannya sendiri. Tangannya mencengkeram sisi meja, siap menerima komentar tajam apa pun yang mungkin keluar sebentar lagi.

Namun yang keluar justru…

“Bagus.”

Kata itu meluncur pelan, nyaris santai, seperti mendesah, tapi juga mengandung bobot penuh makna. Mata Boqin Changing sedikit menyipit, bibirnya terangkat membentuk sesuatu yang sangat langka, sebuah senyuman samar.

“Walaupun rasanya belum sempurna. Tekstur mie ini elastis. Tidak terlalu matang.” Ia memeriksa mie dengan sumpitnya. “Kuahnya pedas, tapi tidak asal pedas. Ada keseimbangan rasa. Kau menggunakan sedikit cuka dan gula untuk menekan  rasa kasar dari cabai, ya?”

Gao Rui langsung mengangguk cepat.

“Be-Benar guru.”

“Dan bawang putihnya kau tumis pelan, bukan digoreng. Itu menjaga aromanya tetap melekat di kuah.” Boqin Changing menatapnya lebih dalam. “Kau memikirkan hal itu, bukan memakai cara cepat.”

Gao Rui mengangguk lagi. Napasnya sedikit lega, tapi tetap menunggu lanjutan kalimat, biasanya pujian dari sang guru selalu diiringi sesuatu yang lain.

Boqin Changing menatapnya sejenak, kemudian berkata pelan.

“Bagus sekali, pagi ini entah mengapa aku ingin makan mie.”

Gao Rui terbelalak.

“S-Sungguhan guru?”

Boqin Changing menyenderkan punggungnya ke kursi kayu, mengangkat alis dengan ekspresi tak terbaca.

“Hm. Tidak kusangka muridku bisa membaca pikiranku.” Ia mengambil mangkuk bubur sambil bicara ringan. “Bagus. Sangat bagus.”

Gao Rui tidak bisa menahan senyum lebar yang muncul di wajahnya.

“Berarti… masakanku sudah meningkat?”

Boqin Changing mengunyah bubur, lalu mengangguk pelan.

“Ya. Kau mulai memahami sesuatu yang penting.”

“Apa itu?”

Boqin Changing menatapnya dalam-dalam.

“Mengikuti keinginan pelanggan.” katanya datar. “Itulah dasar dari memasak.”

Ia mengangkat sumpit lagi, menyeruput mie pedasnya pelan, lalu menambahkan dengan nada yang lebih serius.

“Ayo kau ikut makan juga. Bukankah pagi ini kau harus berlatih.”

Gao Rui terpaku. Lalu ia menundukkan kepala dalam-dalam, menahan senyum yang hampir pecah di wajahnya.

“Terima kasih, guru!”

“Jangan terlalu senang dulu.” Boqin Changing menambahkan santai. “Besok aku ingin sarapan yang berbeda.”

“Baik guru!” jawab Gao Rui penuh semangat.

Boqin Changing menatapnya sebentar lalu tiba-tiba menyipitkan mata curiga.

“Omong-omong…” ia mengangkat alis. “Kenapa kau menyiapkan bubur juga?”

Gao Rui langsung tersenyum kaku.

...******...

Selesai makan, keduanya keluar menuju halaman. Kabut pagi mulai mengangkat, menampakkan lembah yang hijau dan udara yang sejuk menggigit kulit. Di sana, terdapat tanah lapang kecil yang biasa digunakan Gao Rui untuk latihan fisik seorang diri.

Boqin Changing berdiri dengan tangan di belakang punggung, pandangannya menyapu sekeliling tempat latihan itu.

“Mulai hari ini,” katanya tanpa menoleh, “latihanmu akan berbeda.”

Gao Rui berdiri tegak di hadapannya.

“Aku siap, guru.”

“Tidak.” Boqin Changing menggeleng pelan. “Kau belum siap. Tapi kau akan dimulai dari mana seorang murid seharusnya dimulai.”

Gao Rui tidak mengerti.

“Maksud guru?”

Boqin Changing menatapnya dengan tenang.

“Apa pun yang kau pelajari di sektemu dulu, lupakan. Di hadapanku, kau akan mengulang dari awal.”

Gao Rui terdiam. Tidak protes. Tidak bertanya kenapa. Ia hanya menunduk dalam-dalam.

“Aku mengerti.”

Boqin Changing menunjuk dadanya.

“Fondasi. Tanpa fondasi yang benar, ilmu apa pun hanya akan menjadi beban tubuhmu. Kau ingin kuat, tapi kekuatan tanpa pondasi adalah ilusi.”

Ia kemudian duduk bersila di atas tanah dan memberi isyarat pada Gao Rui untuk mengikuti.

“Untuk awal latihan, aku akan memberimu teknik pernapasan dasar milikku. Dengan teknik itu, kau dapat menyerap esensi alam di sekitarmu dan mulai memperbaiki rotasi energi di dalam tubuhmu.”

Gao Rui menahan napas. Akhirnya latihan kultivasi yang sesungguhnya.

Namun sebelum Boqin mulai menjelaskan, Gao Rui ragu-ragu mengangkat tangan.

“Guru, boleh aku bertanya sesuatu sebelum kita mulai?”

Boqin Changing mengangguk sekali.

“Guru… tidak akan mengecek dulu kekuatanku dan kualitas tulangku?” tanya Gao Rui. “Biasanya… sebelum berlatih, guru akan memeriksa tubuh murid dengan memegang pergelangan tangan mereka. Seingatku… dulu Guru Ciang Mu melakukan itu padaku.”

Sesaat Boqin Changing terdiam. Lalu ia tertawa pelan.

“Tanganmu?” katanya sambil menatap Gao Rui dengan ekspresi geli bercampur dingin. “Untuk apa aku memegang tanganmu?”

“Ah… bukan begitu maksudku, guru,” Gao Rui tampak kebingungan. “Maksudku untuk memastikan apakah tubuhku cocok untuk latihan dan....”

“Aku tidak perlu melakukannya.” potong Boqin Changing singkat.

“Eh?”

“Aku sudah tahu segalanya tentang tubuhmu sejak pertama kali bertemu.”

Gao Rui terpaku.

Boqin Changing menatapnya, tenang namun tajam.

“Kekuatan kultivasimu sekarang berada di ranah Pendekar Pertama. Kualitas tulangmu baru mencapai tulang besi.” katanya datar. “Benar sejauh ini?”

Gao Rui membeku di tempat. Matanya melebar. Ia bahkan lupa bernapas sejenak.

“Ba-bagaimana guru tahu…?”

Boqin Changing menyeringai tipis.

“Kalau murid sekecil ini saja tak bisa kutebak kekuatannya, lebih baik kubuang pedangku dan berhenti disebut pendekar.”

Angin pagi berembus pelan, namun jantung Gao Rui bergetar keras. Gurunya memang bukan orang biasa.

1
opik
mantap
Dewi Kusuma
bagus
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Tooooooops 🍌🍒🍅🍊🍏🍈🍇
Anonymous
makin seruuuu 😍
John Travolta
jangan kendor updatenya thor
hamdan
thanks updatenya thor
Duroh
josssss 💪
Joko
go go go
Wanfaa Budi
😍😍😍😍
Mulan
josssss
y@y@
🌟💥👍🏼💥🌟
Zainal Arifin
mantaaaaaaaappppp
y@y@
👍🏾⭐👍🏻⭐👍🏾
y@y@
👍🏿👍🏼💥👍🏼👍🏿
Rinaldi Sigar
lanjut
opik
terimakasih author
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
berjaga
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
Dialog tag kan ini? Diakhiri pake koma ya thor (bukan problem besar sih, pembaca lain juga banyaknya pada gak sadar 🤭)
A 170 RI
mereka binafang suci tapi mereka lemah..yg kuat adalah gurumu
Joko
super thor 🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!