Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
Bima duduk di lantai beton, hanya ditemani cahaya buram dari satu bohlam yang berkedip di atas kepalanya. Suara sirkuit listrik yang ia buka menjadi satu-satunya melodi malam itu. Ia telah memilih enam monitor LED bekas sebagai target operasi pertamanya. Monitor jenis ini memang memiliki permintaan tinggi di pasar, maka percepatan likuiditas dapat diraih darinya.
{Monitor LED adalah jembatan tunai terpendek. Aku harus menjualnya paling lambat besok sore agar siklus modal ini segera berputar.}
Secara sistematis, Bima mulai membongkar unit pertama. Pertama-tama, ia mencabut semua kabel dan melepaskan panel belakang monitor dengan hati-hati. Kemudian, ia langsung menuju papan sirkuit inverter. Dalam sebagian besar kasus monitor LED yang mati total, masalah utamanya seringkali terletak pada kapasitor yang membengkak atau transistor daya yang hangus.
Benar saja, pada monitor pertama, ia menemukan dua kapasitor kecil di area suplai daya telah melembung. Kerusakan ini termasuk kategori non-fatal. Bima mengambil kapasitor pengganti dari kotak persediaan yang ia bawa dari gubuk lama, lalu menggunakan solder panas untuk mencabut dan memasang komponen baru itu dalam waktu kurang dari lima menit.
Ia mencolokkan kabel power. Layar monitor itu menyala, menampilkan lampu backlight yang terang, menunjukkan keberhasilan restorasi. Bima mengangguk puas. Kecepatan adalah segalanya saat ini. Waktu adalah mata uang yang lebih berharga daripada uang tunai.
{Aku tidak sedang memperbaiki, melainkan menciptakan nilai baru dari aset yang dinilai nol. Setiap unit yang pulih mengurangi utang Rp 2.500.000 itu.}
Ia melanjutkan pekerjaan itu tanpa henti. Satu per satu, monitor kedua, ketiga, dan keempat berhasil dihidupkan dengan metode yang serupa. Untuk dua unit terakhir, masalahnya sedikit lebih rumit, melibatkan unit power supply internal yang perlu dibersihkan dari korosi parah. Namun, berkat ketangkasan yang diasah di gubuknya, masalah itu juga dapat diselesaikan sebelum tengah malam.
Selesai dengan monitor, Bima beralih ke temuan tersembunyi: kartu grafis bekas di dalam CPU kotor. Ia dengan hati-hati melepaskan kartu itu dari slotnya. Setelah dibersihkan dengan kuas halus dan cairan pembersih khusus, kartu grafis tersebut terlihat masih dalam kondisi baik, hanya mengalami penuaan kosmetik biasa.
{Kartu grafis ini adalah aset premium tersembunyi. Nilai jualnya di pasar barang seken, bahkan untuk model tahun 2022 ini, mencapai setidaknya Rp 800.000. Itu adalah bantalan modal darurat yang luar biasa.}
Bima memutuskan untuk menjual kartu grafis ini secara daring melalui forum jual-beli komunitas. Ia mengambil foto yang jelas, menulis deskripsi singkat tentang kondisinya, dan menetapkan harga jual yang agresif. Strategi ini dirancang untuk segera menarik pembeli yang serius, mengubah aset digital menjadi tunai yang tidak terikat waktu pengiriman fisik.
{Kartu grafis adalah likuiditas instan. Penjualan ini akan menutup hampir sepertiga utang kepada Tuan Banu. Ini adalah keajaiban kecil dari manajemen risiko dan aset tersembunyi.}
Pagi buta menjelang. Enam monitor LED yang telah bersih dan berfungsi kini tersusun rapi di etalase sementara di dekat pintu. Total nilai jual keenam monitor tersebut diperkirakan mencapai Rp 2.400.000 hingga Rp 3.000.000, tergantung kecepatan penawaran. Di saku Bima, ada janji penjualan kartu grafis dari seorang pembeli online yang ingin mentransfer dana pagi itu juga.
Toko baru itu kini tidak lagi terasa kosong. Meskipun hanya berisi monitor berkilauan dan tumpukan rongsokan lainnya, aura keseriusan dan potensi kekayaan terpancar dari setiap sudutnya. Bima menyandarkan punggungnya ke dinding, menghirup napas lega sekaligus lelah. Ia telah berhasil melipatgandakan nilai aset mentah dalam semalam.
{Langkah selanjutnya: penjualan cepat dan negosiasi. Aku harus memastikan keenam monitor ini terjual habis hari ini. Kredibilitas kemitraan jangka panjangku bergantung pada kecepatan pelunasan utang dua juta lima ratus ribu rupiah.}
Mentari pagi mulai menyentuh jalanan. Bima segera bangkit dan membersihkan sisa-sisa pekerjaan semalam. Debu restorasi ia sapu bersih, menjadikan area etalase terlihat profesional. Kemudian, ia mengambil papan karton kecil dan menuliskan "Elektronik Seken – Garansi 7 Hari" dengan spidol hitam, menempelkannya di pintu ruko untuk mengumumkan operasinya secara resmi.
Tidak lama setelah itu, ponsel Bima bergetar, menunjukkan notifikasi transfer bank masuk. Pria yang membeli kartu grafis semalam telah menepati janji. Jumlah Rp 800.000 tunai kini telah tersedia di rekeningnya.
{Delapan ratus ribu rupiah masuk. Utang Rp 2.500.000 kepada Tuan Banu kini hanya tersisa Rp 1.700.000. Aset tersembunyi itu telah menjadi bantalan yang sempurna.}
Bima tidak berpuas diri. Ia tahu uang tunai harus segera diubah menjadi pelunasan. Ia harus menarik pembeli. Untuk memancing minat, ia memasang dua monitor LED yang telah direstorasi di depan toko, menyalakannya agar layarnya yang bersih menarik perhatian para pejalan kaki.
Sekitar pukul sepuluh pagi, seorang pria paruh baya mengenakan kemeja rapi dan membawa tas kerja kecil berhenti di depan tokonya. Pria itu, yang terlihat seperti manajer kantor kecil, mengamati monitor yang menyala itu dengan seksama.
"Monitor ini berfungsi normal, Anak Muda? Berapa harga per unitnya?" tanya pria itu, nadanya lugas.
Bima segera menyambutnya. "Tentu saja, Tuan. Baru saja selesai direstorasi. Saya berikan garansi tujuh hari penuh. Harga normal Rp 500.000 per unit. Tapi, jika Tuan ambil dua unit sekarang, saya berikan Rp 900.000."
{Strategi harga cepat: Diskon volume untuk mempercepat likuiditas. Kecepatan modal kembali lebih penting daripada laba maksimum per unit.}
Pria itu berpikir sejenak. "Dua unit Rp 900.000? Kondisinya mulus. Baiklah. Saya butuh segera untuk kantor. Saya ambil dua."
Kesepakatan tercapai dalam waktu kurang dari dua menit. Pria itu menyerahkan uang tunai pecahan seratus ribuan. Bima dengan sigap membungkus monitor itu dan membantunya memuat ke mobilnya.
Setelah pembeli pergi, Bima kembali menghitung dengan mata berbinar. Uang tunai Rp 900.000 dari dua monitor, ditambah transfer Rp 800.000 dari kartu grafis, menghasilkan total pendapatan Rp 1.700.000.
{Satu juta tujuh ratus ribu rupiah terkumpul dalam waktu kurang dari dua belas jam sejak aku membuka pintu toko. Utangku kepada Tuan Banu yang semula Rp 2.500.000 kini hanya tersisa Rp 800.000. Aku hampir melunasi total utangku hanya dari dua unit aset dan satu temuan tersembunyi.}
Bima merasa energi baru mengalir dalam dirinya. Markas operasional barunya telah membuktikan fungsinya sebagai pusat rotasi aset cepat. Empat monitor tersisa masih berdiri tegak, menunggu pembeli berikutnya, sementara ia masih memiliki tumpukan CPU dan printer laser sebagai cadangan untuk penjualan hari-hari berikutnya. Ia mengeluarkan ponsel, menghubungi Tuan Banu, dan meminta izin untuk datang menemuinya sore ini.
"Aku akan membawakan sebagian besar pelunasan sore nanti, Tuan Banu. Itu akan menjadi bukti keseriusan dan kredibilitas markas baruku," ucap Bima melalui sambungan telepon, suaranya dipenuhi keyakinan.
Menjelang pukul empat sore, setelah berhasil menjual satu monitor lagi senilai Rp 500.000, Bima segera mengunci tokonya. Penjualan itu berarti utangnya kepada Tuan Banu kini hanya tersisa Rp 300.000. Ia membawa uang tunai Rp 2.200.000 yang terbungkus rapi, bertekad untuk melunasi semuanya hari itu juga. Motor maticnya melaju cepat menuju gudang rongsokan Tuan Banu.
{Rp 2.200.000 diserahkan hari ini, tiga hari lebih cepat dari batas dua minggu. Ini akan menetapkan standar kredibilitas tertinggi untuk kemitraan jangka panjang. Kualitas hubungan bisnis lebih berharga daripada modal yang tersisa.}
Setibanya di gudang, suasana tampak lebih hening dari biasanya. Tuan Banu sedang duduk di kursi plastik lusuh, mengamati tumpukan ban bekas di depannya. Di sampingnya, berdiri seorang pria berjaket kulit hitam yang bertubuh besar dan memiliki tatapan dingin.
Tuan Banu tersenyum tipis saat melihat kedatangan Bima. "Nah, datang juga kau, Bima. Tepat waktu sekali," sapanya, namun sorot matanya tampak lebih serius.
"Aku datang untuk menunaikan janji, Tuan Banu," jawab Bima tenang. Ia melangkah maju, tetapi pandangannya tidak lepas dari pria berjaket kulit di sebelah Tuan Banu.
Pria besar itu memandang Bima dari ujung kaki ke ujung kepala, seolah mengukur potensi pemuda itu, lalu berdeham keras. Tuan Banu terlihat sedikit tidak nyaman dengan kehadiran pria tersebut.
"Kenalkan, ini Pak Tejo. Dia adalah salah satu mitra dagangku yang cukup lama, Bima," ujar Tuan Banu.
"Pedagang aset restorasi yang baru buka toko permanen, kan?" sela Pak Tejo dengan nada meremehkan. "Kau meminjam aset Tuan Banu dengan janji pelunasan dua minggu. Itu janji yang berani untuk anak baru."
Ketegangan terasa menusuk. Jelas, Pak Tejo menganggap Bima sebagai ancaman atau setidaknya sebagai pemain kecil yang tidak layak mendapatkan kemitraan istimewa dari Tuan Banu.
"Toko adalah jaminan kredibilitas, Pak Tejo," jawab Bima, mempertahankan nada hormat, tetapi dengan suara yang tegas. Ia langsung mengeluarkan amplop berisi uang tunai yang ia bawa.
Bima meletakkan amplop itu di meja Tuan Banu. "Ini adalah pembayaran Rp 2.200.000. Total utangku Rp 2.500.000. Sisanya Rp 300.000 akan lunas dalam dua hari ke depan setelah empat monitor tersisa terjual."
Tuan Banu mengambil amplop itu. Matanya melebar sedikit kaget saat melihat jumlah uang yang hampir melunasi utang itu, hanya dalam waktu kurang dari 72 jam sejak aset dikirim.
"Tiga hari? Padahal batasmu adalah dua minggu, Bima. Kau… sangat cepat," ujar Tuan Banu, terkesan.
Namun, Pak Tejo tertawa sinis. "Hanya Rp 2.200.000, artinya masih ada sisa utang. Jangan terlalu bangga, Anak Muda. Bisnis adalah tentang penyelesaian total, bukan janji sisa."
{Intervensi pihak luar. Ada vested interest yang terancam oleh efisiensi modal cepat ini. Pak Tejo melihatku sebagai pesaing dan mencoba menekan Tuan Banu.}
Bima menoleh sepenuhnya ke arah Pak Tejo. "Dalam akuntansi, hutang jangka pendek yang tersisa Rp 300.000 bukanlah masalah, melainkan modal kerja yang efektif. Sisanya itu adalah bukti bahwa aset-aset lain sedang diolah dan akan segera berputar kembali. Aku telah melunasi 88% utang dalam kurang dari tiga hari. Aku datang ke sini bukan hanya untuk membayar, tetapi untuk menaikkan level kemitraan."
Bima kemudian kembali menghadap Tuan Banu. "Aku butuh dua kali lipat inventaris yang kemarin, Tuan. Aku akan bayar tunai Rp 1.500.000 di muka sekarang, dan sisa Rp 6.000.000 akan lunas dalam sepuluh hari. Toko permanenku memungkinkan kecepatan rotasi ini. Aku jamin, Tuan akan mendapatkan aliran kas lebih cepat dariku daripada mitra dagang Tuan yang lain."
Tuan Banu terdiam. Di satu sisi, ia terkesan dengan keberanian dan kecepatan Bima. Di sisi lain, ia merasakan tekanan dari Pak Tejo yang jelas tidak menyukai proposal kemitraan besar ini. Wajah Tuan Banu menunjukkan perjuangan antara bisnis jangka panjang yang menjanjikan dari Bima, dan kenyamanan hubungan lama dengan Pak Tejo yang berpotensi menimbulkan konflik.