Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA19
Dengan langkah tergesa, Shela menembus lorong-lorong hotel menuju lift. Sesekali ia menoleh, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Senyum tipis muncul di wajahnya, ia merasa aman. Rencananya berjalan sempurna sedangkan Maya tidak pernah menyadari jebakan yang sudah menantinya.
Maya, yang baru selesai dari toilet, sempat merapikan lipstiknya. Tapi tiba-tiba, tubuhnya terasa ringan dan kepalanya berputar. Ia mengira hal itu terjadi karena gerakan berdiri terlalu cepat.
“Shela baik banget... Gaji pertama nanti aku traktir dia makan enak,” gumam Maya polos, mencoba berjalan keluar toilet.
Namun langkahnya lambat, setelah mendapati Shela tidak lagi menunggunya, sesekali ia memanggil, “Shel? Shela, kamu di mana?”
Suasana ruangan cukup hening. Maya mulai panik dan terkejut bukan main saat melihat Cale, salah satu pria tadi, sudah bertelanjang dada berdiri dihadapannya. Belum sempat Maya bereaksi, Brayan memeluknya dari belakang.
“Lepaskan! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Maya panik, berontak keras dalam cengkeraman Brayan.
“Shela sudah menjual mu pada kami. Tugasmu malam ini wajib memuaskan kami berdua,” jawab Cale dengan tawa bengis.
Ucapan itu bagai petir menyambar Maya, sejenak terpaku, serasa tercekik dengan kenyataan. Maya berusaha berontak dengan keras, sampai menginjak kaki Brayan.
“Argh, sial!” teriak marah pria itu, tangannya refleks melepaskan tubuh Maya.
Maya berusaha lari, tapi tubuh besar Cale sudah menghadang di depan pintu. Ia mencoba menendang, tapi…
“Plak!”
Sebuah tamparan keras dari Cale menghantam pipi Maya. Belum sempat Maya mengatur napas, tamparan kedua menyusul, membuat tubuhnya terhuyung. Dahinya terbentur ujung bufet, dan ia pun jatuh lemas ke lantai.
"Tolong! Tolong!"
Maya terisak histeris, mencoba menyeret tubuhnya menjauh dari dua pria hidung belang itu. Tubuhnya gemetar, pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir deras. Ia panik, ketakutan luar biasa. Semua yang terjadi benar-benar di luar dugaan, mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi nyata.
Cale menyeringai, “Mau ke mana kamu, cantik? Haha, di sini, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, kau sudah milik kami.”
Maya masih berjuang bangkit dengan kaki dan tangan gemetar, wajahnya pucat ketakutan, keringat pun bercucuran, ia berusaha berlari memutari ruangan, tapi Brayan berhasil menangkapnya dengan mudah karena kamar hotel itu kecil, semua pintu dan jendela telah dikunci rapat.
Maya menjerit histeris minta tolong, namun hal itu sia-sia.
"Tolong... lepaskan aku! Apa yang kalian lakukan?! Aku cuma ingin bekerja di sini!"
Maya menangis tersedu, tubuhnya gemetar ketakutan. Saat itu juga, hatinya remuk, ia baru menyadari betapa jahatnya Shela, sahabat yang selama ini ia percaya, telah mengkhianatinya tanpa belas kasihan.
Kepala Maya makin berdenyut. Pandangannya perlahan buram. Obat yang tadi dicampur dalam jus mulai bekerja.
Tawa dua pria itu menggelegar, penuh kemenangan.
Tubuh Maya lemah, matanya berkedip pelan menahan pusing yang semakin parah. Dalam kondisi nyaris tak berdaya, Brayan dengan mudah mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas kasur.
Brayan dan Cale sempat bersitegang. Keduanya sama-sama ingin lebih dulu mendekati Maya yang masih tak berdaya.
“Aku duluan!” bentak Cale dengan mata menyala penuh hasrat. Brayan mendecak, akhirnya memilih mundur.
Cale perlahan mendekat, menyentuh pipi Maya yang basah oleh air mata. Tatapannya penuh niat jahat. Tangan pria itu mulai bergerak melepas sabuk, tapi belum sempat bertindak lebih jauh—
"Grrrrr!"
Terdengar suara getaran keras dari pintu kamar. Suara mesin bor pembobol pintu mendadak menggema memecah ketegangan.
Cale dan Brayan terlonjak panik.
“Sial! Kita dijebak Shela!” pikir mereka bersamaan.
Dengan panik, Cale merapikan pakaiannya. Brayan pun buru-buru menyambar bajunya. Mereka bergegas bersembunyi di balik tirai dan lemari.
Sementara itu, di luar hotel, Shela melangkah santai menuju mobil. Tapi belum sempat duduk, tiga pria bertubuh besar berpakaian polisi langsung mengepung dan mengacungkan senjata.
“Shela Nadine?” tegur salah satu petugas polisi.
“Kami terpaksa membawa Anda ke kantor polisi. Ada laporan keterlibatan Anda dalam jaringan aborsi ilegal dan kasus perdagangan wanita,” ucap salah satu polisi.
“Jacob?!” Shela terkejut, Jacob asisten kepercayaan Alan muncul di antara polisi. Tatapannya dingin.
“Itu fitnah! Aku tidak melakukan itu!” teriak Shela panik, mencoba melawan.
“Nanti dijelaskan di kantor,” sahut polisi tegas.
Dengan wajah pucat, Shela memandang Jacob, masih belum percaya.
“Semua ini... karena Alan, ya?”
Jacob tersenyum dingin. “Akhirnya kamu sadar juga.”
“Aku salah apa sama Alan?!”
“Nanti juga kamu akan tahu,” jawab Jacob santai.
Polisi menggiring Shela ke mobil tahanan. Jacob memandang ke arah hotel lalu menepuk-nepuk tangannya seperti membersihkan debu.
“Masalah selesai,” gumamnya dingin.
Akhirnya pintu kamar berhasil terbuka dengan satu tendangan keras dari bodyguard. Alan dan dua pengawalnya langsung masuk menyergap cepat.
Suasana kamar hening, namun terasa mencekam.
"Maya!" teriak Alan, langsung mencari keberadaan wanita itu.
Tiba-tiba, Cale menyerang Alan dengan benda tumpul. Namun salah satu bodyguard berhasil menahan serangan itu sebelum mengenai sasaran. Sementara itu, Brayan menendang bodyguard lainnya hingga pecahlah perkelahian sengit di dalam kamar hotel. Suasana kamar menjadi porak-poranda.
Tak lama, petugas keamanan hotel berdatangan setelah mendapat laporan kegaduhan dari kamar 506D. Dengan sigap, Brayan dan Cale berhasil dilumpuhkan dan diamankan.
Alan segera memerintahkan Jacob dan para pengawalnya untuk menyerahkan dua pria itu ke pihak berwajib. Mereka dikenal sebagai pelaku yang kerap memanfaatkan wanita muda, terutama model yang sedang mencari pekerjaan di dunia fashion.
Di atas kasur, Maya tampak tergeletak lemah, gelisah, dan tubuhnya tampak kepanasan.
"Maya!" Alan langsung menghampiri. Ia cepat mengambil tisu dan membersihkan pelipis Maya yang berdarah dan lebam.
"Alan... tubuhku panas sekali... tolong aku..." ucap Maya dengan suara lemah, matanya berkaca-kaca, tubuhnya menggigil dan berkeringat.
Alan mencium aroma tajam dari gelas jeruk yang ada di meja.
"Tidak mungkin Maya minum alkohol... pasti ada yang dimasukkan Shela," pikir Alan geram.
"Biadab kamu, Shela! Kau campurkan obat ke minuman Maya. Kau akan menanggung akibatnya!" geram Alan dengan suara tertahan.
"Tolong... Alan..." Maya kembali memanggil lirih, tangannya berusaha meraih Alan, tubuhnya jelas dalam pengaruh obat yang tak dia sadari.
Alan dengan cepat menyelimuti tubuh Maya dan memanggil tim medis hotel.
"Tenang, Maya... kamu aman sekarang. Aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi," bisiknya dengan penuh perasaan dan rasa bersalah.
Maya mencium Alan, seolah seluruh rasa rindu dan luka tumpah dalam satu sentuhan. Hasrat Alan ikut tersulut, tapi saat ia menatap mata Maya yang berkaca-kaca dan melihat tubuhnya yang masih lemah, hati nuraninya menahan langkah. Meski keinginan untuk bercinta kembali begitu kuat, Alan sadar Maya masih berada di bawah pengaruh obat.
Beberapa menit kemudian, petugas medis datang dengan membawa tandu. Tubuh Maya makin lemah, kesadarannya memudar. Alan menggenggam erat tangannya, tidak ingin berpisah sedetik pun. Sepanjang jalan menuju klinik hotel, ia terus menatap wajah Maya yang pucat, matanya memancarkan kecemasan mendalam.
Tiba-tiba tubuh Maya mulai kejang hebat.
"Maya! Maya!" seru Alan panik, jantungnya serasa diremas. “Cepat bawa dia ke rumah sakit besar!” perintahnya tegas namun gemetar.
Tanpa membuang waktu, tim medis segera beraksi. Alan ikut berlari di samping tandu, berharap waktu belum terlambat untuk menyelamatkan wanita yang paling ia cintai.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga